Dana Desa Merefleksikan Sumber Pembangunan Asimetris Yang Pincang5 min read

Apa yang terlintas dibenak kalian jika anda mendengar kata desa? Telah lama desa menjadi sebuah isu yang termarginalkan dan isu pinggiran yang mungkin tidak menarik untuk dikaji. Membicarakan tentang desa selalu akan membawa cara pikir kita ke dalam sebuah tempat yang pelosok, jauh tertinggal, akses sarana dan prasarana yang terbatas, serta serba tertinggal dari berbagai aspek jika dikomparasikan dengan wilayah perkotaan.

Berbagai argumen kita tentang desa yang selalu cederung menempatkan desa sebagai sebuah unit yang sangat jomplang tentu harus kita akui jika secara realita memang benar apa adanya. Namun paradigma kita tentang desa yang begitu negatifnya harus kita geser kembali. Bagaimana keadaan desa setelah ada kucuran dana desa yang dimulai pada tahun 2015 silam oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan? Oleh karena itu penulis mencoba untuk menggeser pola pikir kita semua tentang desa.

Semenjak dikucurkanya dana desa pada awal 2015 lalu oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan maka desa telah mengalami perubahan yang begitu signifikan. Tahun 2015 yang bertepatan dimulainya pengucuran dana desa menjadi sebuah babak baru bagi desa. Hal tersebut memang benar adanya karena dana desa telah membuat desa menjadi isu yang unik dan menarik untuk tetap diperbincangkan.

Hadirnya dana desa sebagai langkah awal bahwa desa memiliki potensi kekuatan strategis dalam membangun Indonesia. Desa yang awalnya dipandang sebagai entitas yang dekil dan miskin namun semenjak kucuran dana desa maka desa dipandang menjadi entitas yang sangat potensial dan menjanjikan lebih-lebih keuangan desa yang sangat besar setiap tahunya.

Jika kita cermati terkait kucuran dana desa yang telah digelontorkan oleh Pemerintah Pusat maka setiap tahun ada peningkatan yang begitu fantastis. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, pada tahun 2015 dana desa yang dikucurkan sebanyak Rp 20,67 triliun dan meningkat pada tahun 2016 sebesar Rp 46,98 triliun. Jumlah dana desa tersebut meningkat kembali di tahun 2017 menjadi Rp 60 triliun, dan Rp 60 triliun untuk tahun 2018 serta terakhir Rp 70 triliun untuk tahun 2019 (Kemendes PDTT, 2020).  Sementara itu data terbaru terkait kucuran dana desa di tahun 2020 jumlahnya mencapai angka 72 triliun rupiah. Sungguh dana yang sangat besar dan juga potensial untuk membangun desa yang lebih baik dan berkualitas.

Namun di tengah melimpah ruahnya dana desa apakah selama ini penggunaanya sudah efektif?  jika iya apa capaian dan keberhasilanya bagi desa? Itu adalah pertanyaan utama yang harsu dipecahkan secara analitis.

Dilematis Penggunaan Dana Desa

Pembangunan desa merupakan aspek yang paling penting untuk dilakukan. Hal itu dikarenakan pembangunan menjadi kunci untuk kemajuan, kesejahteraan, kemerataan, dan kemakmuran masyarakat. Namun yang terjadi di tengah-tengan implementasinya seolah-oleh pembangunan hanya dimaknai secara sempit.

Pembangunan hanya diartikan sebagai pembangunan fisik (Physical development) sehingga implikasinya yakni mengabaikan pembangunan non fisik (Non-physical development). Tentu ini membawa dampak yang sangat jompalng di dalam konsep pembangunan apalagi dengan adanya dana desa yang begitu banyak. Mayoritas desa yang ada di Indonesia membelanjakan dana desa hanya pada pembangunan fisik semata dan itu fakta yang terjadi.

Mereka berlomba-lomba menggunakan dana desa hanya berorientasi pada pembangunan fisik misalnya membangun parit, gorong-gorong, jalan, jembatan, gapura, saluran irigasi atau semacanya yang mengarah ke pembangunan fisik. Namun di sisi lain tidak mempedulikan pembangunan non fisik yang ada.

Pembangunan tidak semata-mata melulu pada persoalan fisik semata. Oleh karena itu dalam konsep pembangunan yang ideal maka harus seimbang (balances) antara pembangunan fisik dengan pembangunan non fisik. Keseimbangan dalam pembangunan tersebut sangat diperlukan untuk membawa desa menjadi benar-benar maju dan berkualitas.

Tidak hanya berkualitas dari luarnya saja namun juga harus berkualitas dari dalam. Fakta yang terjadi justru konsep pembangunan tersebut sunnguh pincang karena kalau digambarkan antara pembangunan fisik dengan pembangunan non fisik jika dikomparasikan antara 90% dan 10%. Tentu jumlah presentase tersebut sangatlah jomplang bukan?

Tidak salah memang jika pembanguna  fisik menggunakan dana desa. Bagaimana pun keberadaan pembangunan fisik sebetulnya juga menjadi bagian dari stimulus atau katalisator untuk mengantarkan keadaan desa yangg lebih baik. pembangunan sarana prasarana atau insfrastruktur desa menjadi jalan untuk memberikan ruang agar semua sektor dapat bergerak dan beroperasi sebagaimana mestinya.

Misalnya ialah pembangunan jembatan yang menghubungkan antar desa. Melalui jembatan maka itu akan menjadi akses untuk menggerakkan roda ekonomi lokal sehingga terjadi perputaran ekonomi desa yang sehat. 

Penulis tidak menyalahkan bahwa memang pembangunan fisik sangat dibutuhkan. Akan tetapi itu bukan serta merta mengindahkan pembangunan non fisik bukan? Apalagi desa sebagai sebuah pemerintahan di tingkat bawah yang berurusan langsung dengan persoalan masyarakat. Tentu ini menjadi kesempatan yang sangat besar agar desa menggunakan dana desanya untuk mengatasi persoalan yang ada di tingkat grass root.

Diharapkan dengan adanya dana desa makan desa berkontribusi untuk menyelesakan masalah bangsa yang begitu kompleks dan rumit. Namun lagi-lagi desa sudah terjebak dan terperangkap dalam sebuah sistem yang menjadikan desa tidak berkutik untuk mengkontribusikan dirinya dalam partsisipasi penyelesaian persoalan bangsa.

Pembangunan fisik sebenarnya menjadi perangkap bagi desa sehingga muncul paradigma kalau yang dinamakan pembangunan ialah pembangunan fisik. Penulis ingin menganalogikan jika desa hanya menganggap jika pembangunan hanya beriorientasi fisik maka tidak jauh dari sebuah strategi perang di mana pemimpin perang hanya disibukkan untuk memnabgun benteng-benteng pertahanan perang yang masif namun tidak menyiapkan pasukan perang yang tangguh di dalamnya.

Terlihat sangat bagus dan kuat dari luar namun sejatinya di dalam sangatlah rapuh dan keropos. Begitulah kira-kira penulis menggambarkan potret pembangunan dengan dana desa yang sangatlah jomplang.

Mari kita lihat dan amati seberapa jauh desa dengan sumber dana desanya yang ada menyentuh aspek pembangunan non fisik. Boleh kita amati dari implementasi dan praktik penggunaaan dana desa di wilayah masing-masing. Sudahkan anda puas dengan penggunaan dana desa untu pembangunan yang ada? Jujur penulis kurang puas dengan penggunaan dana desa yang memang sangat kontras dengan kebutuhan yang ada.

Kejompangan yang begitu asimetris dalam pembangunan desa hendaknya sudah mampu menggeser bahwa dana desa sudah saatnya digunakan pada pembangunan non fisik. Keberadaan pembangunan non fisik menurut penulis sangatlah penting karena sebenarnya itu merupakan aspek yang sangat dasar dan krusial untuk menciptaka pembangunan yang benar-benar kokoh.

Secara sederhana pembangunan non fisik dapat dipahami sebagai sebuah pembangunan yang menciptakan kualitas sumber daya manusia yang unggul. Persoalan pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, budaya inilah yang dapat dipecahkan melalui pembangunan non fisik. Penguatan sumber daya manusia sebenarnya menjadi penekanan yang penting sebagai kunci membangun Indonesia dari basis desa. Oleh karena itu sudah saatnya ada perubahan dari pembangunan yang mengarah ke fisik ke pembangunan yang mengarah ke non fisik. Melalui hal tersebut maka pembangunan ideal dengan dana desa akan terjadi keseimbangan yang hingga akhirnya desa benar-benar mampu berpartisipasi menyelesaikan masalah bangsa.

Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like