Maxim Gorky; Konvensi Sastra dalam Politik6 min read

Alexei Maximovich Peshkov seorang pengarang asal Uni Soviet, menjadi yatim di usianya yang masih sembilan tahun. Selanjutnya dibesarkan oleh neneknya, seorang pencerita handal yang selepas kepergiannya mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupannya, setelah ia berusaha untuk bunuh diri pada Desember 1887 akibat kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Sebagai seorang pengarang, ia pernah mengenyam ilmu-ilmu jurnalistik dengan bekerja di koran-koran daerah. Pada tahun 1892 ia bekerja di sebuah koran di Tiflis, Kaukakus dan mulai menggunakan nama samarannya Gorky (harfiah berarti ‘pahit’). Buku pertamanya yang berjudul Esai dan Cerita mendapat kesuksesan besar pada tahun 1898 dan kariernya pun sebagai seorang pengarang mulai terkenal.

Maxim Gorky, nama itu yang cukup dikenal oleh belahan dunia. Penentang rezim Tsar ini telah beberapa kali ditangkap. Dan dikenal sebagai sahabat Lenin pada pertemuannya tahun 1902. Sebagai seorang revolusioner pada 26 Oktober 1931 di Jalan Malaia Nikitskaia Nomor 6, Moskow, tepat di rumah megahnya diadakan sebuah pertemuan mengenai kanun kesenian yang kelak dikenal dengan sebutan realisme sosialis. Nama yang didapat dari usulan juru bicara sastra, Ivan Gronsky tersebut sebenarnya merupakan kanun penyatuan realisme dan romantisisme.

Goerge Lukacs salah satu kritikus marxis mengatakan, “Realisme merupakan pengenalan fakta bahwa suatu karya sastra bukan hanya hasil daripada prinsip individual, yang menjerumuskannya ke dalam kehampaan dan ketiadaan arti.” Bahkan pengarang dan kritikus non-Marxis, kata Lukacs, sering memandang puisi semata-mata sebagai hasil dari ilham dan cerapan lubuk batin. Karya-karya mereka tidak revolusioner dan patriotis, karena tidak memberikan arah akan adanya kehidupan sosial yang mengandung harapan (Abdul, 2020; 116).

Perkembangan realisme sosialis sebagai kanun kesenian baru merupakan perkembangan dari kanun sebelumnya yang dimulai dari Kesusastraan Rusia Kuno, Kesusastraan Abad XVIII, Kesusastraan Rusia Abad XIX, Kesusastraan Rusia Peralihan (zaman Tsar ke masa komunisme) lalu Kesusastraan Uni Soviet. Pada era masa peralihan ini ada satu aliran sastra yang berkembang hingga mendunia. Aliran sastra tersebut dikenal dengan nama realisme sosialis (Yanto, 2016). Menurut Pramoedya, perbedaan antara realisme sosialis dan realisme Eropa (realisme borjuis) terletak pada bagaimana pandangan seorang seniman atau sastrawan terhadap realitas yang dalam realisme borjuis, pandangan terhadap realitas bersifat an sich tanpa adanya kritik, sedangkan dalam realisme sosialis realitas dipandang dalam sifatnya yang dialektis (Pramoedya, 2003: 18).

Mas Marco Kartodikromo anak seorang priyayi kecil ini lahir pada 25 Maret 1980. Kepenulisannya dimulai pada usia lima belas tahun sebagai juru tulis di perusahaan kereta api di Semarang. Enam tahun kemudian ia pindah ke Medan Prijaji yang dipimpin oleh Tirto Adhi Soeryo. Dan akhirnya menjadi jurnalis di surat kabar Sarotomo milik Sarekat Islam (SI).

Artikelnya yang berjudul Soerat Terboeka membuatnya mendekam di penjara akibat kritiknya atas kolonial sekaligus Tjokroaminoto yang disebutnya sebagai ‘satria palsu’ karena membela politik etis kolonial Belanda. Bahkan syair adiluhungnya, ‘Sama Rasa, Sama Rata’ dibuatnya dalam keadaan berada di balik jeruji besi. Sehingga syairnya pun menjadi slogan perjuangan komunis di Indonesia. Dan novelnya Mata Gelap dan Student Hidjo adalah salah satu dari karyanya yang mengandung kanun realisme sosialis.

Terlebih di masa Tirto hidup, nyai mengalami pergeseran kultur dari abad-19. Di abad-19 nyai hanya sebatas menjadi pemuas nafsu tuannya, sementara di abad-20 nyai merambah dunia perbisnisan. Seorang nyai kerap mengurus perusahaan milik tuannya. Dengan kemampuannya dalam mengurus perusahaan sebenarnya nyai sudah mampu hidup mandiri[2]. Seperti yang terlihat dalam beberapa karyanya yang berjudul, Tjerita Nyai Ratna, Membeli Bini Orang, Seitang-Koening, Nyai Isah, yang semuanya menceritakan tentang sosok nyai.

Sosok terakhir adalah Semaoen, sosok bumiputera pertama yang menjadi propagandis serikat buruh, merupakan anak dari seorang buruh kereta api yang lahir di Mojokero pada 1899. Sekalipun bukan keturunan priyayi, Semaoen yang hidup di zaman etis dapat mengenyam pendidikan seperti ala barat. Ia lulus dari Sekolah Bumiputra Angka Satu dan bergabung dengan SS sebagai juru tulis pada 1912 di usia tiga belas tahun. Tahun berikutnya, ia bergabung dengan SI afdelling Surabaya. Kemudian ia bertemu dengan kaum Marxis Sneevliet. Dari sneevliet ia belajar membaca, menulis, dan berbicara bahasa Belanda (Takashi Siraishi, 1990:134).

Sehingga pertemuannya dengan seorang Marxis membuatnya menjadi agitator dalam pemogokan buruh dan ia merupakan salah satu pengarang yang selalu menuliskan pemberontakan terhadap kolonial Belanda dan kapitalisme bahkan ia tidak peduli dengan standar-standar yang ditetapkan oleh Balai Pustaka. Semaoen pun merupakan orang yang benar-benar paham akan sastra realisme sosialis dibandingkan dengan kedua di atas yang sebatas melepas belenggu dari penjajahan dan kemiskinan.

Pada dekade 1950-an aliran itu pun tampil kembali dengan wajah baru. Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) yang keluar dengan harapan menciptakan kebudayaan baru yang lain dari sebelumnya menyebabkan pada tahun itu pula Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dengan Mukaddimah Lekranya tampil sebagai antitesis dari SKG tersebut. SKG yang menghendaki penilaian baru dengan sifat universal membuat Lekra menyosong seni untuk rakyat, politik adalah panglima. Dan pada saat ini pun penerjemahan terhadap karya-karya yang beraliran realisme sosialis mulia dilakukan oleh Lekra.

Pram yang disebut-sebut sebagai bapak realisme sosialis Indonesia telah menerjemahkan beberapa karya salah satunya karya Maxim Gorky, sebagai bapak realisme sosialis dunia, yang berjudul Ibunda. Bahkan tetralogi pulau buru yang ditulis oleh Pram dianggap meniru gaya Maxim Gorky dalam sebuah otobiografinya. Namun dalam sebuah wawancara dengan Oka Sukanta, ia mengatakan bahwa dalam Lekra tidak ada realisme sosialis, yang ada hanya realisme revolusioner. “……Apa yang saya pernah kenal sewaktu bergaul di lingkungan Lekra adalah realisme revolusioner, bukan realisme sosialis. Bahwasanya ada orang Lekra yang pernah berbicara tentang realisme sosialis, ya itu urusan mereka lah. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, atau Bachri Siregar. Tetapi Lekra sendiri tidak menganut realisme sosialis. Dia menganut realisme revolusioner,” jawabnya saat diwawancarai.

Akan tetapi yang sangat penting untuk diluruskan adalah semboyan ‘politik sebagai panglima’. Banyak orang menganggap bahwa kata ‘politik’ dalam konteks tersebut adalah sebagaimana adanya politik itu sendiri, namun menurut Oka Sukanta yang merupakan anggota Lekra, ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘politik’ adalah cara berpikir. Ia pun mengatakan, “…Anda punya cara berpikir, anda punya arah berpikir, itulah politik Anda. Entah darimana dapat, ya itu urusan Anda sendiri.” Dan hal inilah yang selalu diselewengkan oleh golongan non-Lekra yang dianggapnya politik hanya sebatas sebuah partai.

Dan pada Konfernas Lekra 1962, mengenai perumusan pedoman gerak Lekra, yang terkenal dengan asas 1-5-1:

Dengan Berlandaskan azas politik sebagai panglima, menjalankan 5 kombinasi, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu arstistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner, memadukan kreativitet individuil dan kearifan massa, dan memadukan Realisme Sosialis dan romantik revolusioner, melalui cara kerja turun ke bawah .

Asas itu pun terlihat seperti empat aturan realisme sosialis dalam kongres Soviet 1934. Keempatnya ialah: 1. Proletarian: kesenian yang relevan terhadap kelas pekerja dan dapat dimengerti oleh mereka; 2. Tipikal: gambaran adegan-adegan kehidupan rakyat sehari-hari; 3. Realistis: dalam arti masuk akal, dan; 4. Partisan: mendukung maksud dan tujuan Negara dan Partai. Namun setelah terjadi Gestapu 30 September, paham realisme sosialis merupakan aliran yang seakan tidak mendapatkan ruangnya.

Bahkan sering menjadi korban dari pembakaran buku dan pelarangan terbit. Akan tetapi, realisme sosialis yang dikait-kaitkan dengan Lekra dan humanisme universal yang dianut Manikebu. Pada dekade 1950-an hanya menjadi pertarungan politik di atas kebudayaan dan tak terlihat seperti polemik kebudayaan pada dekade 30-an, dimana terjadi pertentangan antara paham timur dan barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like