Ludwig Feuerbach: Kritik Terhadap Agama5 min read

Ludwig Feuerbach (1804–1872) semula ingin menjadi pendeta Protestan. Di Berlin ia mengikuti kuliah-kuliah Hegel. Namun, makin lama ia makin tidak dapat menerima pemikiran Hegel. Pada tahun 1841, terbit sebuah karya utama Ludwig Feuerbach Das Wesen des Christentums (Hakikat Agama Kristiani). Marx amat terkesan oleh buku itu. Melihat kembali ke waktu itu, Engels pada masa tuanya menulis: “Kami semua waktu itu menjadi penganut Feuerbach!” [Engels 1973, II, 136] Marx sendiri menyindir nama Feuer-Bach: Sungai Api. Baginya, Feuerbach menjadi aliran api yang membakar pikirannya sehingga baginya terbuka suatu pengertian baru. Karena itu, kita akan melihat secara singkat pokok filsafat Feuerbach.

Menurut Hegel, dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Kita merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita, tetapi di belakangnya “roh semesta” mencapai tujuannya. Meskipun di levelnya sendiri manusia bebas dan mandiri, tetapi melalui kemandirian itu roh semesta menyatakan diri. Hegel memakai kata “kelihaian Akal Budi” (die List der Vemunft). Melalui keputusan-keputusan dan usaha- usaha manusia masing-masing, roh semesta mencapai tujuannya. Seakan-akan kita ini wayang, wayang-wayang dengan kesadaran, pengertian, dan kemauan sendiri, namun sebenarnya tetap berada di tangan sang dalang. Jadi, roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya, tetapi seakan-akan dari belakang layar. Para pelaku manusia tidak sadar bahwa mereka didalangi olehnya.

Gagasan inti Hegel itu adalah sasaran kritik Feuerbach. Menurut Feuerbach, Hegel memutarbalikkan kenyataan. Hegel memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah wayangnya. Padahal, yang nyata adalah manusia. Bukan manusia itu pikiran Allah, melainkan Allah adalah pikiran manusia. Bagi Feuerbach, manusia indrawi tidak dapat dibantah[1] sedangkan roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia.

Dengan demikian, Feuerbach juga membantah klaim Hegel bahwa ia “mengangkat” agama ke dalam rasionalitas filsafat. Menurut Feuerbach, filsafat roh sebaliknya justru merupakan kemenangan agama terhadap rasionalitas, karena tetap diandai- kan begitu saja bahwa Allah adalah yang pertama dan manusia yang kedua. Bahwa “Allah” oleh Hegel disebut “roh semesta’ tidak mengubah kenyataan itu. Jadi, inti kritik Feuerbach adalah hakikat filsafat Hegel sebenarnya hanyalah kepercayaan agama yang terselubung.

Kritik prinsipiil terhadap posisi Hegel tersebut berdasarkan pengandaian Feuerbach (yang dianggapnya tidak perlu dibuktikan lagi) bahwa realitas yang tak terbantah adalah pengalaman indrawi dan bukan pikiran spekulatif. Kita harus bertolak dari satu-satunya realitas yang tidak dapat dibantah, dari kepastian indrawi. Realitas indrawi yang langsung menyatakan diri. Oleh sebab itu, hanya ada satu titik tolak filsafat yang sah, yaitu manusia indrawi.

Pengandaian itulah dasar ­—kritik agama­­­­­­­—­­ Feuerbach. Inti kritik tersebut adalah bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambar-gambar yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri, jadi angan-angan manusia tentang hakikatnya sendiri.

Agama bagi Feuerbach tidak lebih daripada proyeksi hakikat manusia. Namun, kemudian manusia upa bahwa angan-angan itu ciptaannya sendiri. Mirip dengan kritik nabi-nabi Israel terhadap penyembahan berhala (manusia mengerjakan sepotong kayu menjadi patung lalu menyembah ciptaan tangannya sendiri itu sebagai dewa) Feuerbach hendak mengatakan bahwa agama adalah penyembahan manusia ter- hadap hasil ciptaan sendiri, namun tidak disadari lagi sebagai itu. Yang sebenarnya hanya angan-angan dianggap mempunyai eksistensi pada dirinya sendiri, sehingga manusia lalu merasa takut dan perlu menyembah dan menghormati Tuhan. Sebenarnya manusia dengan demikian menyatakan keseganan terhadap hakikatnya sendiri, tetapi tanpa menyadarinya.

Agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Feuerbach menguraikannya begini: “Agama… adalah kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri, atau lebih tepat: terhadap hakikatnya sendiri, tetapi perlakuan terhadap hakikatnya adalah seperti terhadap makhluk lain. Hakikat ilahi tidak lain adalah hakikat manusia, atau lebih tepat: hakikat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, menjadi nyata, jasmaniah, di- objektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda darinya-karena itu semua ciri hakikat ilahi adalah ciri hakikat manusia” [dikutip dari Weger 121].

Pandangan Feuerbach ini berdasarkan suatu anggapan tentang bagaimana manusia menjadi diri sendiri, yang diterimanya dari Hegel: untuk menjadi diri sendiri manusia harus menjadi objek bagi dirinya sendiri. Jadi, ia harus mengobjektifkan diri dengan memproyeksikan diri ke luar dari dirinya sendiri supaya dapat menghadap dan melihat hakikatnya. Seperti seorang seniman, ia baru tahu bahwa ia adalah seniman apabila ia berhasil memproyeksikan bakat atau hakikatnya ke dalam bentuk sebuah karya seni, ke dalam alam objektif, misalnya sebuah lukisan.

Dengan memandang objektivasinya itulah ia mengetahui dirinya sendiri. Dalam pikiran (atau, kalau menurut Hegel dan Marx, juga dalam pekerjaan fisik) manusia harus membayangkan atau merepresentasikan diri, dan ia pun dapat melihat diri, mengenal diri, dan menemukan identitasnya. Menurut Feuerbach, itulah yang terjadi dalam agama. Agama, bagi Feuerbach, mempunyai nilai positif karena merupakan proyeksi hakikat manusia. Dalam agama, manusia dapat melihat siapa dia, misalnya bahwa dia berkuasa, kreatif, baik, berbelaskasihan, dapat saling menyelamatkan, dan sebagainya.

Namun celakanya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah diri sendiri. Ia begitu terkesan oleh proyeksi itu sehingga ia menganggapnya sebagai realitas yang mandiri. Mengingat proyeksi itu melukiskan hakikat manusia secara sempurna (kita selalu mencita-citakan diri secara sempurna), dapat dimengerti bahwa manusia lalu menjadi takut dan menyembah realitas agama yang sebenarnya tidak riil itu (bagaikan orang yang kaget karena mendadak berhadapan dengan orang gagah, selama belum menyadari bahwa ia berhadapan dengan sebuah cermin dan sebenarnya melihat dirinya sendiri).

Tetapi itu berarti bahwa manusia tidak berusaha menjadi diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Bukan mencoba merealisasikan hakikatnya, ia malah secara pasif mengharapkan berkah darinya. Dengan demikian, agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Melalui agama, apa yang sebenarnya merupakan potensi-potensi yang perlu direalisasikan manusia justru hilang karena manusia tidak mengusahakannya, melainkan mengharapkannya “dari sana”.

Bukannya berusaha menjadi kuat, baik, adil, mengetahui sendiri, ia justru mengasingkan sifat-sifat itu pada “Tuhan” dan menyembah Tuhan sebagai mahakuat, mahabaik, mahaadil, mahatahu. Secara sederhana: bukannya berusaha untuk menjadi seutuh dan sesempurna mungkin, manusia, sebaliknya, mengharapkan akan menerima keutuhan dan kesempurnaannya di surga. Menurut Feuerbach, hal itu secara khusus mencegah manusia dari merealisasikan hakikatnya yang sosial, dan karena itu manusia beragama sering tampak intoleran dan fanatik.

Oleh karena itu, Feuerbach berpendapat bahwa manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apabila ia meniadakan agama. Ia harus “menarik agama ke dalam dirinya sendiri”. Ia harus menolak kepercayaan pada Tuhan yang mahakuat, mahabaik, mahaadil, mahatahu, supaya ia sendiri menjadi kuat, baik, adil, dan tahu. Manusia harus membongkar agama agar ia dapat merealisasikan potensi-potensinya. Teologi harus menjadi antropologi?


[1] “Apa yang benar dan ilahi? Hanya yang tidak membutuhkan pembuktian, yang pasti langsung karena dirinya sendiri, yang langsung bicara dan memikat tentang dirinya sendiri, yang langsung menghasilkan pembenaran kenyataannya-yang pasti jelas, tak terbantah, terang benderang. Tetapi yang terang benderang hanyalah yang indrawi; hanya di mana keindrawian mulai, segala kesangsian dan pertengkaran berhenti. Rahasia pengetahuan langsung adalah keindrawian.” Feuerbach 1966, 200.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

One thought on “Ludwig Feuerbach: Kritik Terhadap Agama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like