Pelaksanaan pemilihan kepala daerah Tahun 2020 yang dilakukan serentak merupakan bagian dari sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Pada hakekatnya masyarakat adalah seorang “majikan” dan pemerintah adalah “pembantunya” yang tentunya sebagai pembantu tugasnya hanyalah melayani majikan. Lalu bagaimana pembuktian masyarakat Indonesia yang merupakan “majikan”, kita lihat salah satunya adalah menggunaan hak pilih untuk memilih wakilanya, dengan aturan yang berlaku seperti wajib terdaftar sebagai pemilih, dan salah satu syarat sebagai pemilih adalah minimal berusia 17 Tahun pada saat pencoblosaan pada tanggal 9 Desember 2020.
Pelaksanaan pemilihan serentak yang dilakukan di tengah pandemi saat ini merupakan pengalaman baru, terutama KPU selaku penyelenggara dan pihak terkait seperti pemerintah. Saat ini dengan keluarnya Peraturan KPU No 5 Tahun 2020 tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menandai dicabutnya pemberhentian sementara tahapan dikarenakan kondisi non alam (Covid-19).
Sebelum pelaksanaan jatuh pada tanggal 23 September 2020 hingga diadakanya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan penyelenggara, DPR, dan Kemendagri yang menyepakati tahapan akan dilanjutkan dan memundurkan hari H pelaksanaan pencoblosaan menjadi 9 Desember 2020, tentunya dengan dasar pemberitahuaan dari gugus tugas penanganan covid-19 yang menyatakan bahwa tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dapat dilanjutkan.
Setelah waktu pelaksanaan dimundurkan disinilah terjadi ketidakpastian. Sebelumnya anggaran pilkada telah dialihkan untuk penanganan covid-19 di masing-masing daerah, lantas bagaimanakah nasib anggaran pilkada desember nanti?, hingga saat ini KPU sebagai penyelenggara belum mendapat kejelasan dari pemerintah terkait pencairaan anggaran pada saat tahapan dilanjutkan.
KPU sendiri dalam melaksanakaan tahapan diwajibkan menggunakan standar penanganan kesehatan covid-19 dengan tujuan menghindari penyebaran atau membuat cluster baru covid. Hal ini tentu akan menambah kalkulasi anggaran melebihi dari yang disepakati dalam Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebelum penundaan tahapan pelaksanaan. Dalam hal anggaran tentu seluruh pihak yang terkait wajib duduk bersama dan membahas, kosekuensi yang dihadapi adalah tahapan yang telah dijalankan tentu tidak dapat di undur apalagi batal untuk dilaksanakan. Hal itu tentu akan menjadi bomerang kepada pihak penyelenggara dan akan menjadi bahan gugatan oleh pihak yang tidak puas akan kinerja pihak penyelenggara.
KPU yang melaksanakan tahapan tentu memerlukan aturan terkait teknis pekerjaan atau tatacara serta Juknis yang dikeluarkan untuk penyelenggara disetiap tingkatan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan DPR, sebab ketika tahapan telah keluar tentu harus bersamaan dengan terbitnya aturan terkait pelaksanaanya.
Seperti yang diungkapan peneliti senior kepemiluan di Indonesia Haddar Nafis Gumay, yang mempertanyakan keseriusan pemerintah dan DPR dalam melanjutkan Pilkada 2020. Sebab didalam Perppu No 2 tahun 2020 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dilakukan pada bulan Desember dan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam Perpu tersebut terlihat bahwa penentuan pelaksanaan pemilihan serentak atas persetujuan bersama Pemerintah dan DPR. Hingga saat ini KPU selaku penyelenggara belum mengeluarkan peraturan terkait tata cara pelaksanaan tahapan, sementara penyelengara ditingkat bawah melakasanakan tahapan tentunya harus berdasarkan panduan, jika tidak hal tersebut akan menjadi celah untuk mengugat penyelenggara.
Sementara di sisi lain dalam Perpu tersebut pembahasan bersama pemerintah, DPR, dan KPU dalam peraturan KPU tentu harus secepatnya dibahas, mengingat tahapan disemua tingkatan telah berjalan. Terbaru ini adalah pelantikan badan Adhoc di tingkat kelurahan/desa atau PPS, dan yang akan dihadapi tahapan selanjutnya adalah rekrutmen petugas verfak dan pelaksanaan verfak untuk pasangan calon persorangan yang tentunya akan berhubungan dengan masyarakat.
Namun yang terjadi sampai saat ini Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR untuk konsultasi draf PKPU Penyelenggaraan Pilkada pada Masa Pandemi baru dijadwalkan Senin, 23 Juni. Jika melihat tahapan tanggal 24 Juni kerja di lapangan oleh penyelenggara harus dijalankan, padahal peraturan tata cara ini sangat diperlukan. Dimanakah dukungan penuh dan cepat dari DPR? Tentu hal tersebut menjadi pertanyaan seluruh penyelenggara mulai dari tingkat PPS sampai dengan KPU.
Penyelenggaraan pemilihan di tengah pandemi merupakan ujian dalam meningkatkan kualitas sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Tidak ada yang mampu memperediksi serangan dari musuh yang tak terlihat ini kapan akan berakhir, tetapi disisi lain sebagai penyelenggara inilah pengabdian terhadap Indonesia yang sedang sakit. Pihak penyelenggara di tingkatan Adhoc rata-rata berusia 45 tahun ke atas hal ini perlu menjadi perhatian serius di masa pandemi, menurut ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengklaim banyak warga yang berusia 45 tahun ke bawah tidak termasuk dalam kelompok rentan Covid-19.
Dalam pelaksanaanya bisa saja dibeberapa daerah para anggota Adhoc dengan tulus melaksanakan kewajibanya tanpa terlalu berat memikirkan resiko yang ada, disinilah dibutuhkan perhatian lebih, terutama pihak penyelenggara dan pemerintah, untuk memberikan perlindungan entah berupa APD dengan level sedang ataupun vitamin untuk menjaga ketahanan tubuh, apapun itu tentu akan sangat membantu para pejuang demokrasi kita di garda terdepan dan secara tidak langsung kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pilkada ini akan lebih baik mengingat pelaksanaan di tengah pandemi.