Elekbilitas ibarat hantu, ia ada (bahkan ada yang memuja, atau menjauhinya) namun sulit dilukiskan rupa, bentuk, dan ukurannya. Ia akan dipuja bila memberi janji atau berwujud rupa yang menyenangkan, namun akan ditakuti bila tampil dalam wajah yang buruk lagi mengerikan.
Elektabilitas menjadi jualan utama para pollster (pelaku polling, jajak pendapat) dan konsultan politik, sehingga dianggap penting oleh sebagian kandidat atau partai politik. Uniknya, pollster kerap merilis tingkat elektabilitas yang berbeda, meski tokoh (atau partai politiknya) sama dan rentang waktu jajak pendapat yang tidak jauh beda. Dari kaca mata berbaik sangka, perbedaan hasil tersebut dapat dibaca sebagai koreksi atas kemungkinan kesalahan yang dilakukan suatu lembaga poling.
Menjadi masuk akal bila respon atas hasil poling beragam. Ada yang mengabaikannya (entah pura-pura, atau pun serius), ada pula yang merilis hasil survey tandingan dengan hasil yang berbeda. Namun tak sedikit yang mulai tak peduli, sebab curiga banyak poling pesanan, bahkan akal-akalan statistik saja.
Kemunculan poling yang buruk dan digunakan untuk cara yang tidak baik merusak demokrasi dari dalam. Kemunculannya seperti “info jongklok”, mengandung informasi yang menjebak, bahkan menjerumuskan. Tentu tidak semua hasil poling buruk, namun masyarakat perlu lebih rasional dalam membaca hasil poling, agar tidak mengikuti peta jalan sebelum tujuan akhir ditetapkan.
“Premature call”
Di Amerika pun, hasil poling kerap ditanggapi beragam. Meski di sana banyak lembaga poling kredibel, namun tak jarang muncul “pseudo polls“. Untuk mengetahui apakah sebuah hasil poling valid, Genovese and Streb, dalam Polls and Politics: The Dilemas of Democracy, 2004, menyarankan agar pembaca menelaah sekurang-kurangnya tentang bagaimana pollster memilih respondennya, menetapkan margin of error, merumuskan pertanyaan, dan bagaimana mereka mengurutkan daftar pertanyaan.
Sayangnya tidak banyak pihak sadar akan pentingnya hal-hal yang disarankan Genovese ketika menyimak hasil jajak pendapat. Celakanya, tak jarang pollster pun alfa menjelaskan metodologi jajak pendapatnya.
Terlepas dari kemungkinan adanya methodological fallacy (sesat pikir akibat kesalahan metodologis), masyarakat Indonesia perlu lebih hati-hati membaca hasil jajak pendapat melebihi orang Amerika karena beberapa alasan berikut. Kesatu, berbeda dengan masyarakat Amerika, umumnya orang Indonesia tidak memiliki ikatan emosional kuat terhadap partai politik dan kandidat. Akibatnya, preferensi politik orang Indonesia tidak terbangun jauh-jauh hari sebelum pemilihan umum dilakukan. Bahkan faktanya, banyak pemilih menjatuhkan putusannya beberapa langkah sebelum tiba pada kotak suara. Karena itu, bila poling dilakukan beberapa bulan sebelum pemilu dilakukan yang terjadi sesungguhnya adalah munculnya pertanyaan dini (premature call). Seseorang ditanya tentang sesuaru yang belum ia pikirkan.
Persis seperti orang ditanya mimpi apa malam ini padahal tidur saja belum. Dengan konstruksi pertanyaan, “Bila pemilu dilakukan hari ini, siapa tokoh yang akan Anda pilih?” maka mereka yang belum siap dengan jawaban sekalipun akan tergiring untuk menyebut tokoh yang populer, atau setidak-tidaknya sering disebut-sebut orang. Padahal, elektabilitas berbeda dengan popularitas. Elektabilitas menyangkut keyakinan seseorang untuk memilih siapa, bukan perkara ia mengetahui siapa.
Kedua, bila ditanya menyangkut orang, masyarakat Indonesia umumnya mengidap heurin ku létah (kagok, atau éwuh pakéwuh). Karena itu, bisa jadi jawaban yang diberikan tidak menggambarkan proyeksi pilihannya kelak. Demi menjaga perasaan, atau hubungan baik dengan penanya, tak mustahil jawaban yang diberikan sekadar basa-basi.
Ketiga, melihat hasil poling yang berbeda-beda, bisa jadi keterpercayaan poling sebagai “kompas” untuk membaca arah kehendak publik sudah rusak dengan sendirinya. Akibatnya, publik menganggap poling sebagai mainan “orang kelewat pintar”, dan menolak menjadi bagian darinya.
Sejatinya jajak pendapat dilakukan untuk melukiskan kehendak publik, atau respon atas sebuah kebijakan publik. Demokrasi berkepentingan dengan dua hal ini, karena umumnya pemerintahan demokratis percaya akan tugas utamanya sebagai pelayan, atau perpanjangan tangan dan kehendak publik. Karena itu amat menyesatkan bila jajak pendapat dilakukan untuk kepentingan yang menipu. Jangan mudah percaya pada hasil jajak pendapat yang tidak diketahui kredibilitas pelakunya dan bagaimana cara-cara mereka melakukannva. Untuk kepentingan pemilihan presiden, atau calon anggota legislatif, lakukanlah poling sendiri yang sederhana, dengan mengajukan pertanyaan: Seberapa kenal Anda pada sang calon, dan dapatkah ia Anda percayai?
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.