Ancaman terhadap Kebebasan Pers Menciderai “Soko Guru” Demokrasi5 min read

Isu kebebasan pers sampai saat ini masih menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan, apalagi dalam konteks negara demokrasi. Kebebasan pers memegang peranan yang sangat vital dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan berkualitas. Dapat dikatakan kebebasan pers telah menjadi salah satu “soko guru” demokrasi. Oleh sebab itu kebebasan pers menjadi kaki demokrasi yang sangat dibutuhkan agar sistem demokrasi ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan jika keberadaan media atau pers tidak bisa dipisahkan dengan demokrasi. Pentingnya pers bagi keberlangsungan sistem demokrasi tentu harus diimbangi dengan jaminan terhadap kebebasan pers itu sendiri. Jaminan kebebasan pers untuk berekspresi harus didukung oleh payung hukum atau dilindungi oleh konstitusi sehingga keberlangsungannya tidak terancam. Oleh karena itu dasar hukum menjadi penting agar pers dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengekangan media dalam demokrasi akan menciderai keberlangsungan demokrasi.

Kebebasan berekspresi media yang dirampas fungsi dan perananya secara otomatis akan meruntuhkan “soko guru” demokrasi yang sehat. Dapat dikatakan jika rusaknya media atau pers sama halnya dengan pincangnya demokrasi yang berlangsung. Membaca situasi media atau pers dalam saat pandemi NCoV-19 saat ini ada sedikit hal yang sangat dikhawatirkan. Betapa tidak? Media nampaknya berada dalam titik kritisnya. Adanya kasus penekanan, pengekangan, intimidasi, dan sebagainya terhadap media yang terjadi akhir-akhir ini sangat membahayakan masa depan demokrasi di waktu mendatang.

Kalau kita amati secara seksama nampaknya kebebasan pers kita dalam keadaan yang sangat mencemaskan. Dikutip dari okezone.com (26/04/2020) Indeks Kebebasan Pers (IKP) Indonesia dalam keadaan yang dapat dikatakan sedang tidak baik-baik saja.

Berdasarkan catatan Lembaga Pemantau Reporters Without Borderrs (RSF) menempatkan posisi IKP Indonesia pada peringkat 119 dari 180 negara di dunia di tahun 2020, sementara di tahun 2019 IKP Indonesia berada pada posisi 124. Walaupun mengalami peningkatan lima point namun nampaknya tidak menunjukkan jika kebebasan pers dalam keadaan baik. hal tersebut diperparah dengan situasi pandemi NCoV-19 yang membuat kebebasan pers menjadi tersudut dan bahkan akan mengalami kelumpuhan.

Situasi pandemi NCoV-19 yang melanda negara diberbagai dunia telah membuat kebebasan berekspresi pers mengalami penurunan. Tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hal tersebut juga dialami oleh negara-negara di dunia yang terjangkit pandemi NCoV-19. 

Salah satu misalnya negara Inggris, di mana justru antara media dan pemerintah terlibat perselisihan. Dikutip dari pemberitaan voaindonesia.com (28/05/2020) dapat diketahui jika situasi ketegangan antara pemerintah dan media yang semakin panas setelah pengungkapan dalam sebuah surat kabar bahwa Penasehat Utama Perdana Menteri, Dominic Cummings yang dinilai melanggar regulasi penutupan wilayah ketia dia sedang mengidap virus NCoV-19 dan kemudian mengemudi beberapa ratusan kilometer untuk mengunjungi keluarganya.

Kasus yang terjadi di Inggris hanya gambaran kecil saja atas peristiwa pengekangan media yang terjadi. Di negara sistem presidensial yang mapan sekalipun seperti Amarika Serikat kebebasan pers masih menjadi persoalan yang sangat serius. Dalam konteks Indonesia tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Inggris.

Persoalan kebebasan pers di Indonesia jika kita runut lebih jauh ternyata ini bukan menjadi isu baru. Kalau kita amati dalam proses pengesahan beberapa RKUHP tahun lalu ternyata ada beberapa pasal yang dinilai membungkam, mengkebiri, dan menganeksasi peran media. Adanya dugaan jika pengesahan RKUHP yang memuat pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi pers tentu bukan sesuatu yang baru.

Oleh karena itu penting penting bagi kita untuk memahami bahwasanya kebebasan pers dalam demokrasi harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Demokrasi tanpa “soko guru” kebebasan pers maka akan cenderung menimbulkan pemerintahan yang tidak sehat, dan penuh dengan patologi birokrasi.

Pers berfungsi untuk selalu memberikan informasi kepada publik terkait apa saja yang dilakukan oleh pemerintah secara transparan, akuntabel, dan proporsional. Namun demikian, adanya kebebasan pers membuat penyelenggaran negara ataupun legislator merasa diawasi gerak geriknya dalam melakukan tindakan-tindakan yang anormal.

Mari kita lihat kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada wartawan atau jurnalis saat meliput berita tertentu. Kasus-kasus seperti ini bukan hal yang baru lagi, bahkan publik pun tau. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk pemberangusan kebebasan pers dan itu tentu dapat mengancam demokrasi secara langsung atau tidak langsung.

Sudah barang tentu pemerintah terlibat jika hal tersebut terbukti dilakukan oleh para penegak hukum. Hal tersebut dikarenakan para penegak hukum merupakan alat pemerintah untuk menindak hukum, tetapi bukankah kebebasan pers dijamin oleh konstitusi kita? jika kita semua sepakat dan mengakui kebebasan pers harus dijamin lantas mengapa kasus kekerasan kepada peliput berita sering terjadi di Indonesia?

Ada beberapa kemungkinan mengapa kebebasan pers sering dibungkam, ditindas, dan diberangus. Pertama, harus kita pahami jika pers memiliki peran untuk mengumpulkan data dan informasi yang kemudian diolah sebagai konsumsi publik. Jika pemberitaan tersebut menyangkut sebuah kasus yang dinilai besar, tidak terlalu etis diketahui publik, mengancam kewibawaan negara maka secara otomatis pers akan diberangus dan dibungkam.

Tujuanya pembungkaman ini ialah agar pers tidak berusaha memberikan informasi dan data sebagai konsumsi publik, karena akan mengancam kepercayaan publik. Tentu itu bukan hal yang fair, karena memang publik memiliki hak untuk mengetahui seluruh aktivitas penyelenggara negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Kemungkinan kedua ialah bahwa pers sebagai intermediary antara pemerintah dengan rakyat. Seperti halnya partai politik dan NGO (Non Government Organization) pers digambarkan sebagai penghubung.

Keberadaan pers sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah kemudian yang dikhawatirkan akan merusak patologi birokrasi yang sampai saat ini telah terbangun dan mengakar. Tentu didalam benak oknum pelanggar hal ini tidak boleh diketahui oleh pers agar praktek-praktek patologi birokrasinya tidak terancam. Sudah tidak menjadi rahasia lagi jika patologi birokrasi menjadi bagian dari penyakit kronis penyelenggaraan negara.

Banyaknya pejabat publik yang terlibat korupsi tentu harus menjadi pembelajaran kepada masyarakat jika dalam menggunakan hak pilihnya dapat dilakukan sesuai hati nuraninya, secara cermat dan teliti. Oleh karena itu peran pers harus menampilkan informasi kepada publik secara aktual dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya dua kemungkinan tersebut, kemerdekaan dan kebebasan pers harus dilindungi tidak hanya dengan upaya formalitas semata tetapi juga bukti konkret.

Segala bentuk pelemahan apalagi pemberangusan dan pembungkaman kepada kebebasan pers tentu akan menciderai “soko guru” demokrasi yang kurang lebih 22 tahun pasca reformasi telah ada. Era reformasi seharusnya harus menguatkan dan menjamin kebebasan pers demi kehidupan demokrasi yang sehat dan terminimalisir dari praktik patologi birokrasi yang mungkin selama ini tidak mau luput dari bidikan pers.

Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like