Gonjang Ganjing Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila, Perlukah?5 min read

Konsensus nasional telah menyepakati jika Pancasila menjadi dasar negara yang bersifat final. Keberadaan Pancasila dalam negara ini telah menuntun kita menjadi bangsa yang bermartabat dengan memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Lahirnya Pancasila yang kemudian disahkan pada 18 Agustus Tahun 1945 sebagai dasar negara mengalami sejarah pasang surut yang begitu panjang. Para founding fathers telah merumuskan dasar negara ini dengan mengerahkan seluruh jiwa dan pikiranya agar bangsa ini memiliki arah dan pandangan yang jelas dalam membawa cita-cita luhur bangsa ini.

Pancasila menjadi perekat terhadap kemajemukan atas berbagai suku, bangsa, agama, ras, etnis, bahasa, budaya yang membuat bangsa ini menjadi kokoh. Pancasila adalah harga mati tidak ada satupun seorang yang bisa mengubahnya. Sila kelima Pancasila merupakan satu kesatuan dan menjadi filosofi luhur yang tetap sesuai dengan perkembangan zaman.

Profesor Notonegoro dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Pancasila” mengutarakan jika Pancasila menjadi dasar negara yang sangat ampuh dan digali sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa ini. Membicarakan Pancasila tidak bisa dipahami sekali duduk saja. Selama negara ini masih tegak dan kokoh berdiri maka Pancasila akan tetap membumi bagi NKRI.  

Apabila Pancasila kita kaitkan dengan kondisi yang terbaru ini, nampaknya Pancasila menjadi isu yang sedang hangat diperbincangkan di tengah-tengah publik. Betapa tidak, di tengah kondisi bangsa ini sedang berjuang melawan NCoV-19 namun di sisi lain justru DPR membuat kegaduhan publik dengan mengajukan draf RUU HIP (Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila).

RUU HIP sebenarnya telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) bagi DPR bersama Pemerintah. Sebenarnya proses pembahasan dari  RUU HIP sendiri telah diawali dengan rapat dengar pendapat sejak bulan Februari 2020 lalu.

Namun RUU HIP menjadi polemik dan kegaduhan publik tatkala draf RUU HIP  bocor dan di dalamnya terdapat kejanggalan-kejanggalan yang memunculkan ragam interpretasi (tafsiran) publik yang liar. Bocornya RUU HIP menjadi babak baru polemik atas produk inisiatif DPR yang diusulkan oleh fraksi PDI-Perjuangan ini.

Terjadinya selisih argumen terhadap pembahasan RUU HIP dalam proses berbangsa dan bernegara adalah proses yang sangat lumrah. Apalagi isu yang dibicarakan menyangkut dasar-dasar negara seperti halnya Pancasila. 

Mereka yang pro berdalih jika RUU HIP  bertujuan untuk menguatkan kembali Pancasila secara dasar hukum atas pembentukan BPIP yang memang sampai saat ini masih diatur melalui Perpres. Namun bagi pihak yang kontra berargumen jika RUU HIP membuka kesempatan atas paham komunisme, memecah belah bangsa, dan mengingkari konsensus nasional yang telah dicetuskan oleh para founding fathers kita. Ada beberapa poin yang diperdebatkan atas RUU HIP yang saat ini drafnya masih dikaji oleh pemerintah. Poin-poin yang mengundang kegaduhan publik yakni:

Pertama, adanya upaya untuk memeras kembali pemikiran sila-sila kelima Pancasila menjadi Trisila, Ekasila, serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Adanya opsi memeras kelima sila Pancasila menjadi gotong royong menjadi titik tekan atas kegaduhan publik.

Tentu ini bukanlah perkara yang mudah untuk diimplementasikan. Sila kelima Pancasila telah membumi di NKRI ini bahkan sudah puluhan tahun Pancasila membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik di tengah keberagaman dan kemajemukan ini. Wajar jika publik menaruh curiga terhadap elit politik dan pemerintah yang terkesan diam-diam membahas RUU HIP.

Kedua, jika RUU HIP membuka celah bagi paham komunisme. Hal tersebut dikarenakan dalam draf RUU HIP yang diajukan oleh DPR kepada pemerintah tidak mencantumkan TAP MPRS yang berkaitan dengan pelarangan ajaran komunisme. Tentu ini membuka celah dan berbagai kemungkinan sehingga isu komunisme yang selalu muncul ini menjadi hal yang lumrah.

Ketiga, adanya upaya mengancam jati diri bangsa yang telah tumbuh dalam perbedaan saat ini. Pancasila sudah final dan tidak perlu diungkit kembali karena yang terpenting adalah bagaimana kita mengimplementasikan Pancasila yang sudah  membawa bangsa ini menjadi bermartabat. Mengungkit kembali Pancasila justru akan membawa bangsa ini kepada perpecahan karena secara Konsensus semua sudah menyepakati tak tidak perlu dijadikan perundang-undangan seperti halnya UUD 1945.

Keempat, tidak dilibatkanya publik atas pembuatan draf RUU HIP. Banyaknya masyarakat yang menolak justru menjadi peringatan terhadap pemerintah dan DPR agal membatalkan dan tidak meneruskan draf RUU HIP. Jika hal tersebut tetap diteruskan maka DPR dan Pemerintah harsu menghadapi penolakan publik yang begitu besar atas penolakan draf tersebut.

Dikutip dari kaltim prokol.co.id (13/06/2020) menyatakan jika NU, Muhammadiyah , dan MUI secara kompak menolak RUU HIP yang saat ini telah dikaji oleh pemerintah. Bahkan Muhammadiyah sendiri telah membentuk tim jihat konstitusi dengan menunjuk orang-oarng yang ahli dalam sisi hukum untuk mengawal dan mengawasi RUU HIP.

Di sisi lain MUI seIndonesia mengeluarkan maklumat untuk menolak RUU HIP. Besarnya penolakan publik tersebut mengindikasikan jika publik telah mampu berdaptasi dengan Pancasila yang telah disahkan pada 18 Agustus 1945. Tidak bisa dipungkiri Pancasila telah mampu merawat kemajemukan nasional dan menjadi mufakat bersama. Mengubah Pancasila sebagai dasar negara sama halnya dengan membubarkan negara NKRI.

Oleh karena itu berdasarkan penolakan publik yang begitu masif maka seyogyanya pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan kembali RUU HIP. Saat ini kita dalam situasi yang serba tidak memungkinkan akibat pandemi NCoV-19. Negara harus fokus memulihkan keadaan ini menjadi lebih stabil dan normal kembali.

Jangan sampai dengan alasan RUU HIP peristiwa 1998 di mana saat itu gedung Senayan Jakarta yang mampu diduduki masa kembali terulang. Masa lalu menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua terutama elit politik agar tetap mengedepankan asas kehati-hatian di dalam menentukan program ataupun kebijakan apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apalagi berkaitan dengan Pancasila itu sangat beresiko tinggi terhadap kemajemukan ini. RUU HIP ini jangan menjadi babak baru penurunan kepercayaan publik terhadap negara. Ada yang lebih penting yang bisa dilakukan oleh DPR dan Pemerintah dibanding menciptakan kegaduhan publik. Pekerjaan besar telah menanti lembaga tersebut di mana kita akan menyongsong Indonesia emas pada usia 100 tahun. Jangan sampai energi bangsa ini di eksploitasi dan dikuras hanya mengungkit persoalan yang sebetulnya tidak perlu dipertentangkan kembali. Paling penting saat ini ialah kita tata kehidupan negara ini dengan baik untuk menyongsong Indonesia pada tahun 2045.

Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like