Seperti diwartakan oleh beberapa media, Pelaku penyerangan Ronny Bugis dan Rahman Kadir, menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada hari kamis (11/6/2020). Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan penganiayaan terhadap Novel Baswedan dengan perencanaan yang mengakibatkan korban mengalami luka berat. Dua terdakwa penyerang penyidik KPK tersebut mendapat tuntutan 1 tahun penjara. Berbagai respon ditunjukan publik setelah mengetahui ringannya tuntutan hukum oleh jaksa bagi pelaku penyerangan Novel Baswedan. Bagaimana tidak, tindak pidana yang membuat kerusakan permanen itu dituntut hanya satu tahun kurungan penjara saja!
Jika kita coba melihat kembali penegakan hukum kasus penyerangan tersebut terbilang lamban, hingga munculnya distrust (ketidakpercayaan) masyarakat terhadap institusi kepolisian. Sehingga bukan hal yang mengejutkan lagi jika kita mendengar sesuatu yang “aneh” dalam penuntasan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Kejanggalan demi kejanggalan yang mewarnai kasus ini mulai dari awal hingga penangkapan pelaku. Terasa sudah paham akan akhir kasusnya, namun jalan ceritanya rumit untuk ditebak.
Dakwaan penuntut umum dirasa janggal dengan kasus yang berakibat kerusakan permanen pada mata kiri korban. Dalih Jaksa adalah terdapat unsur ketidaksengajaan saat Rahmat menyiram cairan asam sulfat yang mengenai dan melukai mata Novel. Menurut Jaksa, Rahmat sebenarnya berniat menyiramkan cairan tersebut ke badan Novel. Beberapa kalangan sontak menyebut hal ini sebagai kedunguan, merobek-robek keadilan, hingga sandiwara hukum.
Sepertinya memang penuntut umum terlihat efek kerugian yang dirasakan langsung oleh korban dimana Novel harus mengalami kerusakan mata permanen, selanjutnya terhambatnya penyidikan kasus korupsi yang diemban oleh korban, dan efek penurunan kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum terkait pengungkapan kasus yang lambat maka para pelaku penyiraman lebih dari pantas untuk mendapatkan tuntutan hukuman yang jauh lebih berat ketimbang yang diajukan oleh Jaksa itu.
Kuasa hukum korban menyebut sejak awal terdapat berbagai kejanggalan dalam proses persidangan kasus ini. Pertama, upaya untuk menafikan fakta-fakta kejadian yang sesungguhnya yang mana kasus penyiraman tersebut berpotensi menyebabkan seseorang meninggal dunia. Sehingga pasal yang yang didakwakan seharusnya bukan pasal tentang penganiayaan, melainkan pasal pembunuhan berencana.
Kedua, kuasa hukum korban menyebut beberapa saksi “kunci” tidak dihadirkan dalam persidangan. Padahal saksi-saksi tersebut sebelumnya sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, hingga Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan kepolisian. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi dari kasus ini.
Keadilan telah kehilangan martabatnya apabila kita melihat fakta-fakta sebelum persidangan dan tuntutan Jaksa atas kasus Novel Baswedan ini. Kasus yang membuat publik risau karena dinilai mencederai semangat penegakan hukum ini justru antiklimaks. Seperti ada banyak hal yang mengganjal dan ditutup-tutupi dari kasus ini. Kasus yang begitu menjadi misteri begitu lama untuk menemukan titik terang, tiba-tiba seperti tersingkap begitu saja.
Beberapa kalangan juga menduga adanya keanehan dibalik penangkapan kedua pelaku oleh pihak kepolisian. Kini, keanehan itu kembali berlanjut dengan pemberian tuntutan yang hanya 1 tahun penjara oleh Penuntut Umum. Sulit untuk berkata dalam menyikapi perkembangan kasus ini. Antara ingin mengelus dada atau ingin memaki-maki.
Memang kita masih harus menunggu seperti apa nanti vonis yang akan dijatuhkan oleh hakim dalam memutus perkara ini. Apabila vonisnya memang sesuai tuntutan Jaksa atau bahkan lebih ringan lagi, maka Novel dan juga juga semua orang yang kecewa terhadap penuntasan kasus ini hanya bisa berharap keadilan Tuhan di Hari Penghakiman kelak “aamiin”. Hari dimana kesalahan sebesar covid saja mendapatkan balasan setimpal.
Namun jika ternyata hakim membuat “kejutan” dalam vonisnya yang membuat kita semua bersorak gembira maka mungkin itu akan menjadi titik balik kembalinya keadilan di negeri ini (jika tidak dapat penjara khusus seperti Setia Novanto). Dan untuk saat ini kita hanya bisa menunggu kapan vonis itu dijatuhkan hakim persidangan sembari menahan kepedihan atas tuntutan Jaksa yang sungguh ringan. Satu lagi, jangan berharap Pemimpin Negeri ini menggunakan hatinya untuk menilai penuntasan kasus ini.
Buruh negara yang memperhatikan demokrasi, sosial dan ekonomi