Mungkinkah Penggunaan E-voting di Pilkada 2020?4 min read

Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada merupakan salah satu perwujudan demokrasi di tingakat lokal. Kabupaten dan Kota yang hari ini mempunyai otonomi untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, menjadikan pemilihan orang nomor satu di desa harus melalui proses demokrasi. Hal tersebut diamanatkan melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan dituangkan kedalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pada tahun ini, idealnya Pilkada dilakukan serentak setidaknya di 270 daerah Namun dengan terjadinya bencana non-alam masih belum bisa dipastikan bahwa akan dilaksanakan tahun ini, mengingat pandemi Covid-19 belum bisa dideteksi kapan akan berakhir

Belakangan ini dengan terjadinya pandemi Covid-19, memunculkan opini-opini publik perlunya perhelatan Pilkada dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikas (TIK) atau familiar dengan istilah E-voting. Konsep E-voting mengacu pada  metode memilih menggunakan sistem elektronik, bukan kertas suara atau mekanisme sarana suara. Setelah mendaftar, suara elektronik dicatat secara digital dan diteruskan ke sistem penghitungan dari setiap mesin pemilihan elektronik. Di Indonesia E-voting pertama kali dilakukan pada pemilihan Kepala Desa di Kabupaten  Jembrana, Bali dan dilaksanakan kembali dibeberapa daerah seperti Boyolali, Pemalang, Magetan, Berebes, dan Pemalang. Seharusnya pada bulan Maret yang lalu, Kabupaten Sleman akan mengadakan pemilihan Kepala Desa serentak mengunakan teknologi E-voting. Sejauh ini belum pernah sekalipun E-voting diterapkan pada perhelatan Pilkada di Indonesia.

Pelaksanaan E-voting bukan suatu hal yang baru, dibeberapa negara bahkan bukan kali pertama melaksanakan Pemilu menggunakan teknologi E-voting. Habibi dan Nurmandi (2018) dalam penelitiannya yang berjudul Dinamika Implementasi E-Voting di Berbagai Negara menyebutkan bahwa pertahun 2010 terdapat 43 negara yang telah menggunakan sistem E-voting. Dari jumlah 43 negara tersebut dapat dibedakan menjadi empat kategori yaitu negara dengan menggunakan mesin pemilihan elektronik sebanyak 12 negara, negara dengan internet voting sebanyak tujuh negara, negara yang masih dalam perencanaan E-voting sebnyak 24 negara dan terakhir negara yang telah meninggalkan penerapan E-voting sebanyak empat negara.

Jumlah tersebut mengartikan bahwasanya E-voting sebagai sebuah keharusan di era distrubsi dengan keunggulan-keunggulannya. Brown (2003) menyatakan keunggulan-keunggulan daripada penggunaan E-voting diantaranya adalah mempercepat perhitungan suara, lebih akurat hasil penghitungan suara, menghemat biaya pengiriman surat suara, menghemat biaya produksi surat suara, kertas dapat digunakan dalam berbagai bahasa, memungkinkan penyediaan informasi yang lebih terkait dengan pilihan suara, menyediakan aksesbilitas penyadang disabilitas, mengefisiensikan waktu kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan waktu, dan mempermudah pengawasan terhadap pemilih yang tidak berhak memilih.

Namuan, bukan berarti E-voting tidak memiliki kelemahan, Habibi dan Nurmandi (2018) merangkum beberapa kekurangan dari E-voting dari beberapa penelitian lain. Pertama, petugas E-voting harus memiliki pengetahuan terkait E-voting tersebut agar menjaga legitimasi dari proses pemilihan tersebut. Kedua, E-voting cenderung tidak digemari oleh pemilih dengan usia tua karena justru lebih menyusahkan mereka dibanding pemilihan dengan model konvensional. Ketiga, pelaksanaan E-voting harus memperhatiakan aksesibilitas para pemilih terutama kepada pemilih yang disabilitas dan telah memasuki usia tua. Keempat, kecenderungan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan TIK dapat menjamin keberhasilan, keamanan dan kebebasan. Kelima, standar penggunaan mesin E-voting harus memalui kespakatan bersama baik dari aspek spesifikasi, model dan lainnya. Terakhir adalah sejauhmana E-voting dapat memberikan penyusutan pembiayaan dalam pelaksanaan proses pemilihan.

Eforia penggunaan E-voting dalam pilkada serentak harusnya tidak hanya dijadikan sebagai sebuah kemajuan dalam ranah teknologi semata serta dijadikan sebagai solusi di tengah pandemi ini. Idealnya ketika dalam proses pelaksanaan Pilkada tersebut telah mengalami kemajuan, maka harus berbandingan dengan kemajuan dalam ranah substantive. E-voting hanya sebagai instrumen dari pada Pilkada, sedangkan substansi sebenarnya adalah bagaimana hasil Pilkada dapat menjadi wadah pendistribusian kesejahteraan bagi masyarakat. Selain itu E-voting dirasa belum mampu untuk mengatasi persoalan-persoalan populer pada pemilihan umum. Politik uang misalnya, praktik tercela yang sudah menjadi keboborokan yang telah mendarah daging dalam tradisi pemilu di Indonesia. Oleh karena itu E-voting dirasa hanya sekedar seremonial yang dilakukan dalam rangka membangun citra baik pemilihan umum dimata masyarakat, namun belum mampu menjawab dengan jelas substansi pemilihan umum itu sendiri. Efisiensi anggaran merupakan salah satu dari berbagai alasan mengapa Pilkada serentak harus menggunakan teknologi E-voting.

Namun, meragukan bahwa E-voting akan berimbas kepada efisiensi anggaran pemilihan, terlebih anggaran untuk pelaksanaan Pilkada serentak dipotong untuk penanganan serta pencegahan pandemi  Covid-19. Seperti contoh pilkades Kabupaten Sleman, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) yang menjadi vendor Pilkades Kabupaten Sleman mematok harga 40 Juta/unit alat E-voting. Harga tersebut bukan suatu nilai yang kecil, jika dikalikan dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang mencapai lebih dari 1.200 anggaran yang dikeluarkan mencapai angka 48 miliar, bagaimana dengan yang bersekala daerah, mampukah mempersiapkan diwaktu yang tersisa ini? Walaupun fasilitas tersebut masih dapat digunakan lebih dari satu kali, tetap saja nantinya akan mengeluarkan pembiayaan perawatan dari perangkat tersebut dan penyusutan (depresiasi) alat tersebut. Jika E-voting mampu untuk menjawab substansi diatas, jelas akan melahirkan pemimpin yang berintegritas memiliki kapasistas yang memadai.

Peneliti Mengeja Indonesia dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan UMY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like