Kontroversialnya pengesahan revisi UU Minerba, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU KUHP, dan Pengungkapan beragam kasus pidana serta merebaknya penyimpangan sosial yang dilakukan oleh mereka yang berkecukupan secara materi mengindikasikan mewabahnya “affluenza“, penyakit sosial yang muncul akibat melubernya harta benda dan kenikmatan jasmaniah namun hampa jiwa. Kata ini saya pinjam dari judul buku John De Graaf, Affluenza (2002). Mereka yang dilanda affluenza mendefinisikan jiwa mereka lewat kepemilikan atas sistem benda, dan menghidupkan jiwa mereka dengan benda-benda mati.
Meski umumnya diidap orang kaya, affluenza bisa menyerang siapa saja yang menerjemahkan diri mereka lewat benda yang dipakai dan status yang disandang. Virus ini berkembang biak akibat pola hidup yang hanya sibuk memenuhi kebutuhan ragawi. Sementara klaim penguatan jati diri, karakter, atau hal-hal yang berhubungan dengan pematangan potensi kejiwaan hanya pro forma, sebatas ritus badaniah yang hampa makna.
Affluenza akan hidup subur di tengah masyarakat yang dilanda kegilaan untuk memiliki. Bila sudah memuncak, virus ini akan membutakan mata penderitanya. Pengidap affluenza akan menabrak apa saja yang menghalanginya untuk memiliki sesuatu, memperdaya hukum sebagai pembenar atas tindakan yang salah, bahkan mengorbankan orang demi menguasai sesuatu yang dicintainya (using people, loving thing). Inilah ekses pola hidup yang tidak mengenal kata cukup, yang membungkus keindahan tubuh dengan kepalsuan, dan menukar kejujuran dengan kepura-puraan.
Kekuasaan Politik Seakan-akan
Menguatnya nafsu memiliki menjadikan orang makin konsumtif dan hanya menimbulkan ketidakpuasan berkepanjangan, kecemasan, bahkan keputusasaan yang mendalam. Seseorang yang konsumtif ibarat seorang kaisar yang gemar membangun benteng pertahanan yang megah, namun malas menyiapkan pasukan tempur yang berani berperang, Mereka hanya tampak kokoh dari luar, namun keropos di dalam.
Mewabahnya virus affluenza dimanfaatkan betul oleh para pebisnis ulung dan disuntikkan terus-menerus oleh media. Meski kepemilikan atas benda-benda jebolan baru tidak menambah kemaslahatan secara signifikan, namun tetap dikejar karena diasumsikan sebagai menguatnya pengakuan, meningkatnya kepuasan, kesenangan, dan dalam batas-batas tertentu, mendatangkan kekuasaan.
Lihat mereka yang keranjingan nafsu berbelanja fashion. Kemana pun mereka pergi selalu memburu busana model baru, meski kadang tidak sempat memakainya. Tengok pula kemunculan varian baru telepon genggam atau mobil, yang hanya mengubah tampilan atau sekedar menambahkan asesori baru yang tidak begitu berarti, namun tetap diburu karena penguasaan atasnya melambangkan kemenangan. Paling tidak, menang merebut trend pasar dan bangga menyandang gelar trend setter.
Budaya memiliki tidak hanya berlaku dalam bidang ekonomi. Wabah ini pun merembet ke wilayah politik berupa penguasaan jabatan, ataupun ranah budaya dalam bentuk dominasi atas simbol-simbol kebudayaan. Seperti halnya kegilaan memiliki produk komersial, nafsu menguasai jabatan pun sebatas bagaimana caranya agar bisa menduduki, namun jarang mempertanyakan seberapa dampaknya bagi kemaslahatan diri dan orang banyak.
Nafsu menumpuk kekuasaan hanya menimbulkan pendangkalan (banalitas) makna kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan diterjemahkan sebagai penguasaan sumber daya politik, terperangkap kepentingan jangka pendek, dan menduduki jabatan sebagai tujuan akhir. Politik sebagai alat transformasi sosial akan menemui jalan buntu, sebab aktivitas politik hanya berkutat pada soal siapa mendapat apa.
Banalitas kekuasaan makin atraktif di tengah panggung “politik pertunjukkan”. Mereka yang berkuasa hanya sibuk merangkai kata tentang bagaimana sebuah kepatutan diungkapkan, bukan tentang bagaimana sebuah perkara dikerjakan. Karena itu, banalitas kekuasaan identik dengan “politik seakan-akan”. Klaim politik demokratis seakan-akan responsif padahal penguasa sekadar membangun tabir kepentingan, dan praksis politik pun seakan-seakan dari, oleh, dan untuk rakyat padahal yang terjadi dari rakyat, oleh dan untuk segelintir orang. Praksis politik terakhir yang mengukuhkan kehadiran dinasti politik.
Banalitas kekuasaan hanya melahirkan pejabat dengan jiwa yang keropos namun dibalut dengan dramaturgi yang sempurna. Jabatan hanya menjadi kendaraan untuk mengangkut kekayaan duniawi. Sedangkan massa rakyat hanya diperankan sebagai pemandu sorak kepura-puraan.
Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mengubah kepemilikan menjadi ajang untuk menyatakan komitmen kemanusiaan dalam wujud yang saling mencintai dan berbagi. Karena itu, kepemilikan atas benda (dan penguasaan atas jabatan) tidak boleh menghapus cinta antarsesama.
Menduduki jabatan bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk merawat kepentingan bersama dan kendaraan untuk mewujudkan perbedaan dalam kehidupan massa yang dipimpinnya. Komitmen ini hanya akan terwujud bila setiap orang tidak merelakan hatinya tertawan oleh harta benda atau jabatan, melainkan menjadikan keduanya sebagai alat untuk mewujudkan tujuan eksistensial kemanusiaan.
Buruh negara yang memperhatikan demokrasi, sosial dan ekonomi