Metafisika Politik: Sebuah Tinjauan Sosio-Politis Dalam Ranah Kontestasi Hegemonik6 min read

Kondisi politik di Indonesia, kerap kali memanas dikarenakan ada suatu proses transisi kepemimpinan yang di mana memaksa para calon untuk masuk ke dalam arena kontestasi politik. Hal ini adalah suatu hal yang lumrah dikarenakan Demokrasi beratensi kepada seluruh warga negaranya yang berhak ikut mengatur pemerintahan dan didasarkan pada kebebasan dan kesetaraan hak.  

Fenomena ini sekiranya dapat ditilik melalui sejarah di mana menurut Abraham Lincoln “Demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, meskipun terdapat banalitas dalam praktik implementasinya. Hal ini dinilai oleh masyarakat sangat cocok dengan falsafah kita, yaitu Pancasila karena menjunjung tinggi nilai pluralitas dan kebebasan. Kemudian metafisika, yakni studi terkait dengan hak ikat fundamental sisi ontologis suatu entitas beserta realitasnya. Metafisika tentu tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia, karena masyarakat Indonesia mempunyai kebudayaan yang kaya akan hasrat metafisik. Mungkin analisis seperti ini jarang ditemui, namun saya di sini akan memaparkan sejumlah analisis bahwsannya ada aktivitas metafisik yang masuk dalam ranah politik.

Untuk titik tolak teoretis, saya akan menggunakan teori politik dari seorang ilmuan Islam, yaitu Al-Farabi. Teori politik Al-Farabi dimulai ketika dia mencerminkan hubungan yang akrab antara metafisika dengan ilmu politik. Dalam konteks ini, Al-Farabi bermaksud menggambarkan bahwa ada hubungan organik antara manusia dengan tuhan. Dia mengatakan bahwasannya ada suatu hubungan trasendentalitas antara politik dengan tuhan yang di mana Al-Farabi beraksioma bahwa politik adalah suatu ranah kekuasaan yang berasal dari tuhan dan oleh karenanya, harus mengikuti syariat agama.

Beranjak dari teori Al-Farabi tadi, saya ingin menganalisis dalam konteks ke-Indonesiaan. Jika Al-Farabi menggambarkan ada hubungan organik anatar manusia dengan tuhan, saya di sini akan menggambarkan pula, bahwasannya beberapa praktik politik di Indonesia erat kaitannya dengan hal berbau metafisik. Atensi saya berikan pada sistem Demokrasi, yang di mana terdapat suatu peristiwa transisi atau pergantian kekuasaan yang rutin diadakan 5 tahun sekali entah untuk pergantian kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Wali kota, Bupati, Camat, serta Kepala Desa.

Dalam fenomena 5 tahunan tersebut, terjadi suatu kontestasi politis yang ditujukan untuk menghegemoni dan mengagitasi massa yang luas dengan domein sugestif, yaitu agar memilih dia sebagai penguasa baru atau agar terjadi suatu repetisi kekuasaan sebelumnya . Bercermin dari hal tersebut, maka kita harus mengetahui bahwasannya dalam kontestasi politis tersebut, terjadi sebuah hubungan struktural didalamnya. Michel Foucault menyebutnya dengan relasi kuasa. Perlu diketahui bahwasannya menurut Foucault, kekuasaan itu “ada di mana-mana” dan kekuasaan “selalu ada di sana”. Pandangan ontologis ini yang akan membawa kita ke dalam kesadaran kekuasaan dan relasinya tersebut.

Saya membuat polarisasi tentang relasi kuasa dalam konteks ini, yaitu relasi kuasa politis dan relasi kuasa budaya. Relasi kuasa politis mengandaikan bahwa subjek atau orang tidak pernah berada diluarnya dan mereka juga tidak bisa mendestruksi relasi kuasa tersebut, meskipun meloncat dengan jauh didalamnya. Hal ini nantinya akan membawa kita ke konsep hegemoni dari Antonio Gramsci yaitu ketika terjadi dominasi terhadap suatu ranah (dalam konsep ini: Politik), maka akan terjadi suatu dominasi yang mengkonstruksi paradigma kita akan hal itu. Hegemoni tidak akan berjalan tanpa adanya suatu dominasi. Ketika suatu ranah terdominasi dan akhirnya terkonstruksi, maka subjek atau orang tidak akan bisa atau mampu untuk berada diluar kesadaran kekuasaan tersebut dan mengandaikan subjek terjebak dalam arus sirkumstansial, dan kalah (lebih tepatnya diharuskan kalah) setiap saat dalam apa pun keadaannya.

Relasi kuasa dalam fenomena transisi pergantian kekuasaan harus kita ketahui dikarenakan dia merupakan fenomena struktural yang jarang diketahui oleh masyarakat. Pun dengan kebudayaan, yang di mana sudah saya jelaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki beragam kebudayaan. Beragam kebudayaan memiliki beragam penafsiran atau pemahaman yang selanjunya akan saya sebut hermeneutika. Ketika terjadi perbedaan hermeneutis dalam masyarakat, terjadi pula relasi kuasa didalamnya. Ketika kebudayaan menjadi sebuah wacana bagi masyarakat, wacana tersebut tidak hadir dan berkembang pada ruang kosong. Wacana tersebut akan dikonstruksikan melalui relasi kuasa. Relasi kuasa dalam konteks kebudayaan ini mengandaikan suatu wacana tertentu asosiatif dengan kebudayaan dan sub-kebudayaan entitas tertentu. Di sini saya akan mengambil contoh kekayaan kebudayaan masyarakat Indonesia, yaitu metafisik dalam bentuk ilmu gaib.

Muncul pertanyaan, di mana titik temu antara metafisika dan politik? ditinjau dari segi ontologis, metafisika bersifat non-empiris atau diluar rasio, sedangkan yang politik bersifat konkret dan empiris. Dalam hal ini, terjadi suatu strukturisasi oposisi biner dan kondisi idiosinkretis, yaitu non-empiris dan empiris. Titik pertemuannya adalah ketika para politikus, menggunakan jasa seseorang yang ahli dalam bidang metafisika, untuk menghegemoni, mengagitasi, dan mendominasi suatu khalayak ramai dengan tujuan memilih dirinya. Ketika dia menggunakan jasa seorang ahli metafisik, ada relasi kuasa antara kepentingan politis dan kebudayaan.

Sebelum masuk lebih jauh, saya akan melakukan polarisasi ilmu gaib yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan J. Frazer. Frazer melakukan polarisasi ilmu gaib menjadi dua, yaitu imitative magic yang meliputi semua perbuatan ilmu gaib yang meniru keadaan sebenarnya, contohnya upacara adat yang mengikutsertakan hal-hal gaib, sedangkan yang kedua adalah contagious magic yaitu perbuatan ilmu gaib yang berdasarkan pendirian bahwa suatu hal itu bisa menyebabkan hal lain yang ada hubungannya dengan lahir, contohnya guna-guna atau santet1. Hubungan kausalitas antara metafisika dan politik pada polarisasi yang dilakukan J. Frazer terletak pada contagious magic yaitu dengan menggunakan guna-guna sebagai domein agitasi dan dominasi massa.

Saya ambil permisalan contoh seperti ini. Pada saat pemilihan kepala desa, wajah orang-orang ceria dan seakan-akan mereka sangat antusias dalam pemilihan kepala desa. Kondisi ini terjadi ketika mereka berada di luar ini. Namun semua berubah ketika mereka mulai memasuki TPS. Mendadak, wajah mereka bingung atau ling-lung. Atau fenomena calon penguasa yang tidak terpilih dan dia melakukan terapi (alih-alih peredam stres) dengan menggunakan kembang-kembang yang dipercayai mempunyai kekuaatan magis. Pun pada saat kampanye, dalam diri calon seakan-akan memancarkan aura kharismatik yang mengsugesti secara tak sadar, untuk tertarik dan memilih sang calon.

Polarisasi yang sama dilakuakan oleh Hutton Webster dalam bukunya Magic, A Sociological Study. Menurutnya, ilmu gaib dibagi menjadi 2, pertama adalah public magic yang berkaitan dengan upacara-upacara menolak bencana, memanggil hujan, mengharap hasil tangkapan ikan melimpah, mengusir hama, menolak badai di lautan, yang pada intinya berskala luas. Yang kedua adalah private magic yang berhubungan dengan ilmu perdukunan, guna-guna, sihir, ilmu gaib jahat yang berskala kecil2. Pada konteks ini, metafisika politik berjalan dalam kerangka epistemologi public magic, dikarenakan cakupan subjek yang ekstensif.

Kedua relasi ini bergabung dikarenakan suatu aksioma bahwa relasi kuasa tidak hanya memiliki bentuk sinkret satu saja, melainkan memiliki beragam bentuk. Relasi di antara mereka mengambarkan kondisi umum dominasi, dan dominasi ini diatur dalam bentuk strategi instrumental yang koheren, dan prosedur relasi kuasa tersebut meyebar, dipersenjatai kembali serta diregenerasi dengan asumsi bahwa integrasi dari dua relasi ini bergantung atau rentan terhadap strategi-strateginya dalam setiap sisi superordinatnya sehingga tidak mendapati suatu celah.

Kedua relasi kuasa ini bersifat reaktif (melayani), namun kereaktifan mereka lebih bertendensi pada layanan yang memiliki kepentingan koheren dengan mereka yang di mana suatu potensi akan dimanfaatkan dalam ranah strategi mereka. inilah jawaban ketika kita bertanya mengapa metafisika yang bersifat non-empiris dan melampaui rasio (transenden) dan politik yang bersifat konkret dan empiris dan awalnya membentuk oposisi biner (bahkan suatu bentuk yang sama sekali tidak terpikirkan untuk berkorelasi), nyatanya dapat berelasi membentuk susunan struktur yang holistis. Dengan menggunakan terminologi dari Weber tentang tipe ideal, maka relasi kuasa di atas berbentuk zweckrational action yaitu tindakan yang berorientasi pada tujuan3.

Tindakan yang berada pada ranah ini, adalah tindakan rasional menurut Weber. Ketika orientasi dari tindakan diatensikan penuh pada tujuan, dimungkinkan terjadi bias pada suatu nilai karena pada dasarnya suatu nilai ada untuk dipertimbangkan. Namun menurut Weber, ketika suatu tindakan di didasarkan pada nilai, hal ini kurang rasional, meski dapat dipahami. Oleh karenanya praktik metafisika politik di Indonesia, meskipun melenceng dari suatu nilai atau peraturan, tetap dilakukan karena berorientasi pada tujuan. Inilah yang saya sebut sebagai banalitas implementasi Demokrasi.

Referensi:

  1. Pujileksono, Sugeng. 2015. Pengantar Antropologi Memahami Realitas Sosial Budaya. Malang: Intrans Publishing.
  2. Webster, Huttom. 1973. Magic: A Sociological Study. California. Stanford University Press.
  3. Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press.

Pemuda berkelahiran Banyuwangi 18 tahun silam. Suka menulis dikarekan ketika kita menulis, maka kita dituntut untuk membaca. Ya Koleksi buku saya mulai dari filsafat, politik, sosial budaya, psikologi, dan teologi islam. Sering menjadi "Musuh Masyarakat" dikarenakan daya kritis dan suku berbicara secara "sarkastik".

3 thoughts on “Metafisika Politik: Sebuah Tinjauan Sosio-Politis Dalam Ranah Kontestasi Hegemonik

    • Yup, benar mas bahwasannya para politisi akan menggunakan segala cara, baik rasional maupun irrasional untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini terjadi karena ada semacam penciptaan ruang yang melibatkan semacam kesadaran dan membentuk suatu konsepsi akan sesuatu (dalam hal ini: Kekuasaan). Bahkan filsuf Prancis, Gaston Bachelard, menulis suatu analisis yang ia sebut sebagai poetic of space, yang dimana ia mengatakan bahwasannya inside space yang ada dalam rumah, tak jarang memperoleh suasana keakraban, kerahasiaan, keamanan yang nyata maupun khayal, sedangkan ruang objektif menurutnya seperti sudut-sudut, gang-gang, kamar atau loteng, dianggap kurang memiliki arti. Jadi sebuah ruang, menurut Bachelard, hanya akan memperoleh arti emosional dan rasional ketika ada suatu pengalaman spasialitas akan ruang tersebut. Dari penjelasan diatas, saya mengemukakan sebauh premis bahwasannya dalam wacana kekuasaan, wacana tersebut tidak dilempar dan hadir dalam ruang kosong, melainkan ada suatu kesadaran dan relasi kuasa atasnya yang membentuk konstruk pemikiran. Konstruk pemikiran itu seperti “ketika kita mempunyai kuasa, kita bisa melakukan segalanya” atau “ketika kita mempunyai kuasa, maka kita akan disembah”. Hal ini yang saya rasa membuat seorang politisi kerap kali menggunakan cara yang rasional (meskipun cara ini sudah mainstream digunakan) dan cara irrasional (seperti tulisan saya diatas).

      • Dengan menggunakan premis saya diatas, maka (dimungkinkan) terjadi machiavelianisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like