Pendidikan Multikultural: Alat Ikhtiar Mencegah Perpecahan6 min read

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang unik. Bangsa yang dianugerahi ribuan suku, ras, etnis, bahasa dan adat istiadat ini semua menjadi satu kesatuan dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perjalanan historisnya, negara ini memang lahir dari rahim kemajemukan. Maka dari itu bisa dibilang negara ini merupakan negara yang sangat plural. Dengan berbagai macam perbedaan yang tercantum didalamnya. Maka dirumuskan lah semboyan yang dijadikan falsafah dalam menjalankan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Bhinneka Tunggal Ika yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Dari kalimat tadi sejatinya bangsa ini merupakan tempat yang sangat nyaman dan bersahabat dengan segala perbedaan yang ada dan dalam bentuk apapun.

Namun bak menulis dibibir pantai semboyan yang seharusnya menjadi nafas gerak didalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara, banyak sekali fenomena-fenomena di negara ini yang tak mencerminkan nilai-nilai toleransi dan pada akhirnya bertolak belakang atau menyelisihi semboyan negara itu sendiri. Kemajemukan pada satu sisi memang merupakan bentuk keragaman yang khas dan indah sekaligus menjadi kekuatan sosial jika satu sama lain mengedepankan nilai gotong royong, bahu membahu dan bersinergi bersama dalam membangun kemajemukan tersebut. Namun disisi lain jika kemajemukan tersebut tidak dikelola dan dibina dengan baik dan tepat, maka akan menjadi pemicu timbulnya konflik dan kekerasan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Masih membekas dalam ingatan kita mengenai tragedi yang terjadi pada kisaran bulan Agustus 2019 tahun lalu, yaitu tindakan represif dan diskriminatif oleh pihak aparat serta beberapa ormas reaksioner terhadap puluhan mahasiswa papua yang berada di Surabaya Jawa Timur. Peristiwa yang berawal dari perusakan Bendera Pusaka yang terletak di depan asrama mahasiswa papua di Surabaya itu kemudian disusul oleh pengepungan beberapa pihak karena diduga Bendera Pusaka tersebut dirusak oleh oknum mahasiswa yang berada didalam asrama. juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP),

Surya Anta lebih jauh mengatakan “pengepungan dan penyerangan ini juga diiringi perusakan berbagai fasilitas asrama. Para pengepung juga beberapa kali melontarkan makian bernada rasis kepada mahasiswa Papua.”  Sangat disayangkan sekali kejadian yang bisa dikatakan terjadi dibulan sakral bangsa Indonesia karena bertepatan dengan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 2019 belum mampu dijiwai dengan spirit kebangsaan dan kesatuan yang akhirnya menimbulkan perpecahan. Contoh peristiwa tadi hanyalah setetes sampel dari sekian banyaknya konflik berbau SARA yang terjadi di indonesia, dan merupakan indikator dari buruk dan merosotnya pendidikan multikultural yang ada di indonesia sampai saat ini.

Tiga Pandangan Menyoal konflik

Menurut Jalaluddin dalam Teologi Pendidikan (2001), ada tiga kelompok pandangan yang mempunyai perspektif terhadap konflik yang sering kali muncul akibat perbedaan.

  1. Pandangan kaum primordalis. Mereka menganggap bahwa perbedaan-perbdeaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (termasuk agama) adalah sumber utama yang melahirkan benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
  2. Pandangan kaum instrumentalis. Mereka menjadikan suku, agama dan identitas-identitas lain lain sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materil maupn non-materil. Perspektif ini lebih banyak digunakan oleh para politisi dan para elite untuk mendapatkan dukungan dari kelompok  identitasnya. Misalnya dengan meneriakkan “Islam” dan “Kristen” diharapkan semua orang Islam atau Kristen bersatu mendukung kepentingan politiknya. Pandangan kaum instrumentalis menjadi sangat populer saat mendekati pilkada atau pilpres, seperti yang terjadi ditahun 2019 kemarin. Banyak konstituen yang merasa satu identitas dengan para politisi terjebak pada justifikasi kebenaran, hingga tanpa sadar akhirnya terkelabui. Karena itu dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap individu mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elite, selama itu pula benturan antarkelompok identitas dapat dihindari.
  3. Dan yang terakhir yaitu kaum konstruktivitas, mereka mempunyai pandangan bahwa identitas kelompok sangat dinamis, sama sekali tidak bersifat kaku. Tidak seperti yang dibayangkan kaum primordialis atau instrumentalis. Etnisitas, bagi kelompok ini dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Etnisitas adalah aset berharga yang dimiliki manusia sebagai individu untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi kaum konstruktivitas, persamaan menjadi anugerah dan perbedaan menjadi berkah. Dalam pandangan kaum terakhir, masih terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman.

Dari ketiga bentuk paradigma diatas tentu peran pendidikan yang merupakan alat doktrin paling utama sangatlah vital dalam membentuk pola perilaku yang dianut masyakat. Seperti kata Muhammad Iqbal atau seorang filsuf dari Pakistan yang menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya proses belajar mengajar semata dalam rangka mentransformasikan pengetahuan belaka yang berlangsung secara sederhana dan mekanistik. Namun, pendidikan adalah keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan  perseorangan maupun kelompok masyarakat.

Dan untuk membentuk suatu bangsa yang masyarakatnya sadar akan pentingnya membangun spirit toleransi demi kemajuan dan keutuhan bangsa, tentu peran Pendidikan Multikultural menjadi suatu konsep yang urgen. Seperti yang diungkapkan oleh Musa Asya’rie bahwa pendidikan multikultural mempunyai makna sebagai proses pendidikan untuk bagaimana menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya dalam lingkungan yang plural, sehingga peserta didik kelak memiliki mental yang tangguh dalam menyikapi konflik sosial ditengah masyarakat, dimana ia hidup dan berkembang bersama yang lain.

Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi juga mengatakan: pendidikan multikultural harus diajarkan sejak sekolah dasar (SD). Hal tersebut penting untuk menanamkan nilai-nilai kemajemukan dalam berbudaya dan bermasyarakat untuk mencegah sikap yang mempersoalkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di kemudian hari. Prinsip multikulturalisme mengajarkan kepada kita untuk mengakui berbagai potensi dan legitimasi keragaman dan perbedaan sosio-kultural tiap kelompok etnis.

Berangkat dari prinsip demikian maka individu maupun kelompok dari berbagai etnik dalam pandangan ini bisa bergabung dalam masyarakat, terlibat dalam societal cohesion tanpa harus kehilangan identitas etnis dan budaya mereka, sekaligus tetap memperoleh hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat. Sehingga keberagaman budaya yang ada di belakang, di depan dan disekeliling kita bisa memberikan sumbangan yang paling berharga bagi semua orang.

Pendidikan multikultural sekurang-kurangnya memiliki lima tujuan. Pertama, meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik. Kedua, meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap berbagai kelompok budaya di negaranya sendiri dan Negara lain. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami kemajemukan, dapat menginterpretasikan tentang kebangsaan dan budaya yang kadang-kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai dan perilaku. Keempat, membuka pikiran ketika merespon isu. Kelima, memahami latar belakang munculnya pandangan klise atau kuno, menjauhi pandangan stereotype dan mau menghargai semua orang.

Konsep pendidikan yang mengandung nilai-nilai pluralis seperti inilah yang  harus kita bumikan diseluruh pelosok negeri ini agar bisa meminimalisir akan terjadinya  peristiwa-peristiwa yang mencoreng semboyan negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika.  Semangat kesatuan dan persatuan sudah seharusnya kita junjung bersama dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara yang kita cintai ini, dengan hidup rukun berdampingan satu dengan yang lain maka akan menjadi suatu senjata untuk bisa menghantarkan bangsa ini kedepan pintu gerbang kemanusiaan yang Adil dan Beradab.  Terakhir mengutip penggalan ayat dalam Al-Qur’an “Hai manusia, sesungguhnya kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Selanjutnya kita dapat mengambil pesan moral bahwa

“Patut disyukuri perbedaan dan keragaman di negeri ini merupakan anugerah, pada hakikatnya semuanya sama dan perbedaan itu merupakan spirit kebangsaan sebagai perekat kesatuan.”

(Jusuf Kalla)

3 thoughts on “Pendidikan Multikultural: Alat Ikhtiar Mencegah Perpecahan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like