Berperang dan tak mendapatkan gelar ofisiel seperti layaknya seorang “pahlawan” atau “tokoh pergerakan”, mereka tak memperdulikan, layaknya seorang pemeran figuran yang berkorban dalam kesenyapan namun sebenarnya punya peran sentral yang tak terekspos dalam pandangan, Ya benar, mereka adalah para tenaga medis yang gugur di medan pertempuran dengan lawan yang tak tertampikkan. Hiruk pikuk peperangan melawan Covid-19 mungkin sudah sayup-sayup terdengar, bukan karena Covid-19 ini mulai mereda tetapi sepertinya masyarakat sudah terlalu jenuh dengan kondisi yang kian tidak pasti. Peperangan memang telah sayup nampaknya, namun pertempuran di lini depan terus tanpa henti memakan korban.
Dampak yang ditimbulkan dari pandemi ini adalah ekonomi Indonesia terjun bebas, kehidupan masyarakat menikung tajam sehingga banyak yang harus merelakan pendapatan-nya menurun dan lebih extreme lagi adalah kehilangan pekerjaan akibat perusahaan tidak mampu membayar gaji karyawan-nya sendiri dan menyebabkan gelombang PHK masal dibeberapa daerah. Itulah sebagian yang saya istilahkan sebuah “Desain Corona” yang memporak-porakan Indonesia bahkan negara-negara lain di dunia.
Sampai saat ini, kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, dan belum bisa dipastikan kapan berakhirnya. Jika kita melihat pergerakan kurvanya terus bergerak naik dari hari ke hari. Dari data yang disampaikan oleh gugus tugas percepatan penganan covid-19, Per 27 Mei 2020 sudah 23.851 yang terpapar dan 1.473 yang meninggal dunia. Kemudian per 29 Mei 2020 ada 24.538 yang terpapar dan 1.496 yang meninggal. Per 30 Mei ada 25.773 yang terpapar dan 1.573 meninggal. Kemudian per 1 Juni 2020 ada 26.940 yang terpapar dan 1.641 meninggal Pertanyaannya, dengan kondisi demikian apakah sudah pas kita memberlakukan New Normal dalam perhelatan Pilkada?
Kualitas penyelenggaraan Pilkada 2020 menjadi perhatian tersendiri terutama penyelenggara Pemilu yang akan menghadapi kompleksitas pelaksanaan di tengah pandemi, kita tau bahwa tahapan Pilkada 2018 dengan tahapan Pemilu 2019 yang saling beririsan saja, kompleksitasnya sangat dirasakan oleh penyelenggara, oleh karena itu tantangan yang dihadapi pada sekarang ini akan lebih besar dibandingkan sebelumnya dan menjadi catatan tersendiri didalam sejarah Indonesia berhasil atau tidaknya pelaksanaan Pilkada
Gembira dan Kecewa dengan hasil Pemilu 2019 kemarin mungkin masih berbekas, begitu pula dengan penundaan Pilkada akibat kurvanya selalu meningkat, namun KPU, Bawaslu, Pemerintah, DPR dan DKPP telah menyepakati untuk melanjutkan, dengan catatan apabila kondisi kembali tidak memungkinakan maka pelaksanaan Pilkada ditunda kembali. Disini terlihat tidak ada jaminan Pilkada 2020 pasti akan dilaksanakan karena ukuranya adalah pandemi ini. Disisi lain penyelenggara dan peserta pemilihan harus kembali mengairahkan semangat demokrasi yang sehat dimasyarakat. Gagasan seperti program sosialisasi forum warga berbasis keluarga dengan tujuan menghadirkan semangat dan kesadaran demokrasi secara sehat mulai dari rumah dan keluarga dirasa sangat mewakili kondisi saat ini.
Pilkada 9 Desember 2020 akan menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara dan pihak terkait, dengan kondisi seperti sekarang tren Golput akan meningkat, hal tersebut dipengaruhi oleh keselamatan para pemilih serta ketersediaan akses informasi. Karena itu dalam pelaksanaan tahapan dengan mengedepankan protokol Covid perlu diberi perhatian lebih kepada penyelenggara khususnya ditingkat bawah dan masyarakat. Terutama memastikan ketersediaan anggaran dalam melanjutkan tahapan dan protokol kesehatan untuk melaksanakan segala tahapan, mengingat anggaran Pilkada telah digunakan untuk penanganan pandemi ini.
Pemerintah daerah dan pihak penyelenggara perlu duduk bersama dan menjalin komunikasi yang intens untuk memastikan ketersediaan anggaran terutama pelaksanaan protokol kesehatan penyelenggara dan masyarakat. Hal tersebut berhubungan erat dengan partisipasi masyarakat. Jangan sampai yang dimaksudkan untuk menghentikan penularan malah akan menyuburkan pandemi ini.
Persetujuan para pihak dalam melaksanakan Pilkada di bulan Desember mengundang pertanyaan apakah dimaksudkan untuk memulihkan ekonomi Indonesia? semoga saja tidak, sebab hal ini akan membuat politik uang menjadi masif, masyarakat yang tidak memiliki penghasilan akan mudah memilih pasangan calon yang menggunakan politik uang, bahkan yang lebih memungkinkan akan memunculkan abuse of power atau politisasi Bansos dalam penanganan Covid-19 yang sangat mudah dilakukan oleh calon petahana, dengan memberikan bantuan ke masyarakat hal tersebut dirasa sudah cukup untuk tidak ada alasan tidak memilih calon petahana tersebut.
Pilkada adalah soal “tari ritual demokrasi”, yang dipentaskan diwaktu yang tepat, dengan serangkaian kegiatan murni untuk mewujudkan hakikat demokrasi, kesan sakralnya akan hilang jika hal tersebut bergeser, karenanya Pilkada sebaiknya jangan ditungangi untuk sebuah alibi membangkitkan ekonomi tanpa memperhatikan keselamatan rakyat itu sendiri.
Sebaiknya pilkada d laksanakan ketika situasi sudah membaik, jangan sampai ada cluster covid pilkada kedepannya.
Akan sangat merugikan ketika Pilkada menghasilkan cluster baru dalam pandemi ini, hemat saya lebih baik Pilkada ditunda dulu sampai situasi benar benar memungkinkan, akan banyak kerugian misalnya saja di Pemilu 2019 kurang lebih 894 petugas KPPS meninggal dunia jangan sampai Pilkada ini juga mengorbankan nyawa lagi, belum lagi terkait dengan Golput yang pasti angkanya akan naik selama ini penyelengara pemilu berusaha untuk terus meningkatkan partisipasi pemilih namun dalam kondisi seperti ini hemat saya akan susah menaikan partisipasi pemilih.
Hanya dua pilihan, pilkada atau nyawa.
Silakan dipilih kisanak pembuat kebijakan yang “dianggap” bijak !!