Hari ini tepat satu minggu kita berjalan di bulan syawal, bulan kemenangan setelah pada bulan Ramadhan telah melaksanakan ibadah puasa. Namun, syawal tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnnya. Jika biasanya menjelang bulan syawal kita disibukan persiapan untuk melaksanakan mudik, menyiapkan hidangan hari raya, berbelanja baik dipasar maupun pusat perbelanjaan modern, hingga pada hari 1 Syawal kita melaksanakan silahturahmi kepada keluarga, sanak saudara, kerabat, teman dan bahkan tak jarang dijadikan ajang untuk melaksanakan reuni. Namun tahun ini jangankan untuk melaksanakan reuni, untuk melaksanakan ibadah Solat Ied yang biasanya di laksanakan secara ramai dipaksa untuk dilaksanakan di rumah masing-masing, silahturahmi dilaksanakan secara daring, dan mudikpun dilarang. Ya, Pandemic Covid-19 memaksa kita untuk merekstrukturisasi tradisi-tradisi yang biasanya kita laksanakan pada hari 1 syawal. Hal ini dilakukan untuk segera memutus rantai penyebaran virus Covid-19 ini dari peredaran.
Bak sudah jatuh ketiban tangga, tidak bisa merayakan syawal secara normal ditambah diterjang banjir di hari syawal, itulah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat di daerah Samarinda dan Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Di Kutai Kartanegara, Kecamtan Sebulu dan Marangkayu menjadi wilayah yang terdampak banjir di awal bulan syawal, sedangkan untuk wilayah Samarinda terdapat delapan kelurahan yang terdampak banjir. Hadirnya Covid-19 pada saata Ramadhan dan Syawal juga harus kita maknai sebagai sebuah renungan kita bersama mengapa musibah bertubi-tubi menghampiri?, sudah sepantasnya kita mencari tahu penyebab bencana tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Haris Stiawan dkk pada Jurnal Geografi Gea menyebutkan ada dua faktor yang menyebabkan banjir di Kota Samarinda yang pertama, Faktor alam seperti tingginya curah hujan, topografi wilayah, pasang surut air sungai Mahakam, dan lainlain. Dan yang kedua, adalah manusia, utamanya bersumber pada unsur pertumbuhan penduduk akan diikuti peningkatan kebutuhan infrastruktur, pemukiman, sarana air bersih, pendidkan, serta layanan masyarakat lainnya. Selain itu pertumbuhan penduduk akan diikuti juga kebutuhan lahan usaha untuk pertanian, perkebunan, maupun industry, termasuk didalamnya industri pertambangan dan penggalian. Untuk di Kecamatan Sebulu dan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara taklepas dari ekspansi pertambangan. Bahkan sebagian beberapa dianaranya merupakan pertambangan liar. Data Jaringan Advokasi Tambang di Kalimantan Timur terdapat 1.735 lubang bekas tambang dari 1.404 perusahaan, selain itu di daerah Tenggarong Seberang terdapat 200 lebih pertambangan liar. Jelas sekali industrialisasi hari ini tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi masyarakat, justru yang dihasilkan adalah desforestrasi berlebihan. Industry sawit dan Hutan Tanaman Industri tanaman industry juga menjadi salah satu ruang terbesar alih fungsi hutan yang berujung desforestrasi.
Selanjutnya saya akan menghubungkan antara desforestrasi dan Wabah Pandemic Covid-19. Diawal pandemic beberapa ilmuan menyatakan bahwasannya virus Covid-19 berasal dari kelelawar dan hewan liar lainnya lalu menular kepada manusia. Hal ini sejalan dengan tesis yang dikemukakan oleh Bosman Batubara dalam essay yang berjudul “Revolusi COVID-19” . Dalam essay tersebut Bosman Batubara melihat pandemic Covid-19 sebagai momentum revolusi ekologi, dengan revolusionernya merupakan unsur non-manusia. Lanjutnya Bosman Batubara berpendapat bahwa Covid-19 merebak karena habitat hidup yaitu hewan-hewan liar di hutan telah berkurang populasinya akibat desforestrasi sehingga mengincar manusia sebagai alternatif inangnya. Tesis yang disampaikan oleh Bosman Batubara diperkuat dengan artikel yang ditulis oleh Jhon Timmer seorang chief science wrangler pada arstechnica.com dengan judul “SARS-CoV-2 looks like a hybrid of viruses from two different species”. Dalam artikel itu John Timmer memaparkan hasil analisis dirinya dari berbagai riset terkait coronavirus dimana covid-19 hanya satu dari banyak coronavirus. Beberapa corona virus yang menyebar terbukti murni merupakan combinasi genetika dari kelelawar dan sedikit tringgiling yang menginang di tubuh manusia. Hal ini sekaligus membantah bahwasannya Covid-19 merupakan bioweapon yang disiapkan oleh segelintir oknum. Selain itu John Timmer memprediksi masih akan banyak coronavirus yang akan menyebar. Covid-19 menjadi rambu-rambu untuk memulai melakukan pencegahan terhadap coronavirus lainnya. Penelitian terbaru oleh Stanford University, AS, menemukan bahwa berkurangnya luas hutan di Uganda mengancam peningkatan interaksi manusia dengan primata liar, meningkatkan risiko kontak manusia dengan virus yang ada pada primata liar ini.
Tentunya musibah yang dihadapi sekarang merupakan buah dari apa yang kita lakukan. Lantas pertanyaannya adalah apakah industry-industry ekstaktif tadi sudah mensejahterakan?, jawabanya telah tersaji secara actual dan natural. Banjir dan Covid-19 hanya gambaran kecil dari penderitaan dari industry ekstraktif, kekhawatiran yang muncul adalah aka nada penderitan-penderitan lain yang lebih menyakitkan akan menyusul. Lantas apa yang bisa kita lakukan?, pertama adalah buang sifat antroposentris di dalam diri. Antroposentrisme adalah filsafat etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Manusia ada hanya untuk tujuan mereka sendiri, sehingga segala sesuatu di dunia hanya digunakan sebagai alat pendukung untuk memuaskan kepentingan manusia ini. Banyak riset menghubungkan antroposentrisme dengan kapitalisme, dimana kapitalisme memposisikan alam sebagai fokus transaksi produktif. Revolusi kapitalisme terintegrasi ke dalam usaha manufaktur yang menggunakan energi untuk melemahkan proses ekologis vital, karena pabrik-pabrik ini tidak hanya membutuhkan pasokan bahan baku dalam jumlah besar, tetapi juga mencemari udara, air, dan tanah. Semakin banyak kegiatan antroposentris menyebabkan polusi semakin mengalami potensi perusakan habitat alami.
Langkah selanjutnya adalah back to nature, kembali ibu dari semesta, kembali kepada ketercukupan kebutuhan, bukan kepada eksploitasi alam berlebihan. Menghargai, merawat dan mencintai alam seperti kita mencintai diri kita. Melihat alam bukan sebagai penunjang kehidupan semata tetapi sebagai satu kesatuan yang tidak dapat terpisah. Dengan merawat habitat para hewan liar sekaligus sumber resapan air (hutan) dan memulai untuk memilah hewan yang dikonsumsi agar penyebaran coronavirus lainnya tidak menyebar dan menjangkit manusia kembali.Dalam konsep teologi tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna, bukan tidak ada tujuan, manusialah yang menjadi faktor penentu kehidupan di muka bumi untuk memuliakan ciptaanya dan mengelola sistem menuju kepada kemaslahatan hidup bukan kepada kemudoratan hidup. Singkatnya, semakin banyak manusia merusak hutan, semakin besar kemungkinan manusia akan berasosiasi dengan penderitaan. Sehingga kembali menghargai, merawat dan memperilakukan alam secara arif dan bijaksana merupakan langkah sederhana yang dapat kita laksanakan. Terakhir #TolakOmnibusLaw dan #GagalkanUUMinerba adalah hal wajib yang kita lakukan, dimana isi dari kebijakan tersebut lebih banyak mudorat daripada hal baiknya.
Peneliti Mengeja Indonesia dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan UMY
Sudah saatnya kita kembali berpikir normal.