Siapa yang tidak mengenal Tan Malaka, atau digelarin Datuk Ibrahim Sutan Malaka. Meskipun belakangan dia tidak menyukai gelar “datuk” tersebut, karena dia anggap berbau feodal (turunan raja). Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Pandam Gadang, ya tepat 123 tahun lalu pejuang bangsa tersebut lahir dan menjadi petir yang menggetarkan penjajah.
Tan Malaka adalah orang yang penulis banggakan sebagai pelopor dan pejuang. Kehidupannya jauh dari romansa, seperti anak-anak muda jaman sekarang, dia mengabdikan kehidupannya sendiri untuk membangun bangsa, memimpin perjuangan, hingga berhadap-hadapan dengan penjajah kolonial yang bengis dan rakus memakan sumber daya alam hingga manusia di Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) dahulu. Meski tidak terlalu serius mengenal romansa, Tan Malaka tetap adalah manusia yang juga pernah patah hati, dan gundah gulana. Namun dari masa sulit tersebut, dia tetap fokus untuk memimpin bangsa Indonesia, sampai Merdeka 100%.
Sebagai pejuang, Tan Malaka adalah pembaca aktif sekaligus penulis handal. Barangkali pernah mendengar quote “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi” dalam sebuah tulisan Materialisme Dialektika Logika (Madilog). Dari pembacaan penulis, kalimat tersebut keluar karena Tan Malaka sedang diburu-buru penjajah, yang pada akhirnya membuang buku yang dia simpan, karena menurut pejajah buku itu terlarang – bisa mirip seperti sekarang tidak ya?. Kawan-kawan bisa membaca tulisannya, mulai dari Parlemen atau Soviet?, SI Semarang dan Onerwijs, Komunisme dan Pan-Islamisme, Menuju Republik Indonesia, Semangat Muda, Aksi Massa, Madilog, Politik, Rencana Ekonomi Berjuang, Muslihat, Manifesto Jakarta, Thesis, Pandangan dan Langkah Partai Rakyat, Proklamasi 17/8/1945 isi dan Pelaksanannya, Islam-Nasrani-Yahudi dalam Tinjauan Madilog dan banyak lagi tulisannya yang bisa didapatkan melalui internet, atau membeli bukunya langsung.
Selain sebagai seorang propagandis yang mengabadikan gagasannya melalui tulisan, Tan Malaka juga seorang agitator (ahli berpidato) yang ulung. Namun agitasi Tan Malaka tidak seperti kebanyakan ahli pidato kebanyakan seperti jaman sekarang, terlalu melangit dan tidak aktual. Keahlian pidato Tan Malaka sesungguhnya semata-mata karena untuk membangkitkan kesadaran rakyat dahulu, yang ditindas dan dianiaya oleh penjajah untuk bangkit berjuang dan melawan. Selain itu, Tan Malaka juga ahli dalam penyamaran, dari berbagai Negara yang sudah dia kunjungi, terdapat beberapa nama Tan Malaka yang tujuannya agar tidak diketahui penguasa untuk membunuh pembunahan terhadap dirinya. Meskipun belakangan, Tan Malaka terbunuh oleh bangsanya sendiri, yang dahulu dia perjuangkan mati-matian.
Dari Dalam Kubur Suaraku akan Jauh Lebih Keras!
Benar saja, kalimat yang diungkapkan Tan Malaka tersebut, meski raga dan jiwanya sudah tidak bersama manusia yang hidup lagi, namun gagasan, ide, pandangan hidup, dan cita-cita perjuangannya masih terus bersemayang dalam pikiran setiap orang. Setiap orang yang bercita-cita yang ingin mewujudkan tesis 100% Merdeka!.
Pengenalan saya terhadap gagasan Tan Malaka bermula dari masuknya ke dalam kampus disebuah Universitas ternama di Samarinda. Gagasan yang teringat dan menjadi pedoman dalam kehidupan penulis adalah “bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang berkerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali..”. Kalimat tersebut membuat saya terhentak sebagai manusia, benar sekali, lebih lanjut “tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan” ungkap Tan Malaka.
Tentunya, hemat saya pergulatan kalimat demi kalimat yang diungkapkan Tan Malaka tidak lahir dari pangkal langit. Namun karena dia bergemul dalam permasalahan di muka bumi. Kalau dikatakan Tan Malaka adalah orang yang tidak bertuhan karena menjadi komunis, tidak benar juga. Masalah tersebut tidak dapat diperdebatkan, karena setiap manusia berhak untuk menyelami keyakinannya untuk bertuhan maupun tidak sama-sekali.
Ide dan gagasan Tan Malaka selalu mendapat perhatian bahkan kecaman dari berbagai pihak. Perhatian ditaruh karena dia mempunyai prinsip hidup yang jarang dilakukan oleh banyak orang, yakni mempertaruhkan hidupnya untuk kepentingan orang banyak. Sementara kecaman kepadanya lebih banyak bernafas sentimen semata, karena dia dianggap Marxis atau komunis yang tidak patut dianggap sebagai pahlawan, lah jika kita melihat sejarah di Indonesia justru organisasi dalam hal ini Partai yang pertama kali menggunakan nama Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), sementara banyak organisasi-organisasi sebelumnya masih enggap memproklamirkan nama Indonesia dikancah politik internasional, ditambah represifitas penjajah Belanda yang gila karena tatanan kuasanya hendak dirobohkan oleh rakyat.
Jika kawan-kawan hendak membaca tulisan Tan Malaka hendaknya diperlukan keseriusan, tanpa harus takut akan streotipe yang dibangun oleh Negara Indonesia kini, melarang gagasan Komunisme/Marxisme/Leninisme dari Tap MPR yang sudah kadaluarsa itu. Membuka pikiran sama seperti membuka katup keran yang sedang berkarat, harus dilakukan secara perlahan-lahan. Dan yang paling penting adalah, coba melakukan silang pendapat sesama kawan, cara itu yang cukup mudah dilakukan. Karena dengan begitu, cara membaca kita dapat terkonfirmasi satu sama lain. Ingat kawan-kawan, ide dan gagasan tidak dapat dipenjara. Hanya ketakutan lah yang dibingkai oleh Negara, maka tidak heran kalau kita sering mendengar “perang melawan terorisme”, terorisme yang mana dulu, sementara Negara juga membangun teror dengan melarang membaca buku, mengkriminalisasi toko buku, hingga membakar buku. Apa jadinya masa depan umat manusia jika buku saja dimusuhi!. Heran.
Perjuangan yang Terorganisir
Tan Malaka merupakan manusia yang konsisten berjuang dalam langgam kerja yang terorganisir. Dia tidak mempercayai bahwa, dapat mungkin berjuang sendirian. Benar saja mulai terlibat dalam PKI, hingga membentuk Partai Musyawarah Rakyat Besar (Murba) sebagai medium perjuangannya dalam organisasi politik.
Pernah suatu ketika, saat hendak dilakukan pemberontakan Perambanan oleh pimpinan PKI dahulu pada 1926 dia mengkritik bahwa pemberontakan tersebut kurang tepat dan tidak terorganisir, karena massa belum terkumpul secara baik, tulisan itu diabadikan dalam judul Aksi Massa. Benar saja, tesis yang dituangkan Tan Malaka tersebut memberikan konfirmasi kekalahan brutal yang dilakukan penjajah Belanda untuk merepresi PKI. Dan pada akhirnya kekalahan tersebut memasukan kutub-kutub nasionalis untuk berperan dalam perjuangan nasional di Indonesia.
Selain itu, budaya berpolemik juga Tan Malaka lakukan, misalnya mengkritik Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai yang diisi oleh intelektual borjuis yang takut pada gerakan Murba, dan menggunakan pidato-pidato abstrak dan memberi pengarapan dan impian yang tidak terjalankan. Hal itu dituliskan pada judul Dari Ir. Soekarno sampai ke Presiden Soekarno. Budaya kritik tersebut jika kita lihat pada masa sekarang, sudah seperti dalam tatanan Nazi, Stalin atau Orde Baru akan berhadapan dengan kriminalisasi hingga pemenjaraan. Hal tersebut tentu membuat kemunduran, dan jauh dari peradaban yang dibangun dahulu sejak masa kemerdekaan.
Lebih lanjut, jika kita membaca Tan Malaka secara serius. Ide dan gagasannya akan menunjukan bahwa perjuangan tidak dan tidak akan pernah bisa tanpa dilatarbelakangi dengan kesadaran, iya sadar bahwa saat ketidakadilan masih berlaku, selama itu perjuangan menjadi komponen penting untuk melawannya. Dan komponen lainnya adalah, perjuangan tersebut tidak cukup dilakukan sendiri-sendiri, karena tentu akan melelahkan, justru dapat menjadi terdemoralisasi (menurun semangat juangnya). Lebih penting dan relevan lagi, adalah kebutuhan sebuah organisasi politik (partai) di masa sekarang sangat dibutuhkan, mengingat dari semua partai politik yang ada di Indonesia kini tidak lebih hanya jadi pemanis penguasa.
Hal itu sebagaimana diungkap Tan Malaka dalam tulisan Pandangan dan Langkah Partai Rakyat “Buruk baiknya partai, cerdas bodohnya partai, rajin malasnya tergantung pada sifat para anggotanya pula! Kepintaran, keyakinan dan ketabahan seluruh anggota partai pula”.
Mahasiswa Magister Administrasi Publik FISIP Universitas Mulawarman