Nasib Masyarakat Adat di Tangan Para Penguasa Hutan6 min read

Salah satu teori popular terkait negara yang sangat membekas dan tertanam di alam bawah sadar saya adalah disampaikan oleh Max Weber. Dalam teori tersebut Max Weber mengartikan negara sebagai badan atau organisasi yang mengatur dan memiliki kekuatan untuk mengendalikan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan serta hajat warga negara dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi, mesejahterakan masyarakat dan lainnya. Berbicara terkait negara tidak terlepas dari kedaulatan yang dipegang oleh rakyat. Jika  diumpamakan rakyat adalah pemegang saham sebuah badan usaha (negara) dan didalamnya terdapat orang-orang yang bekerja dan digaji untuk mejalankan perusahaan disebut pemerintah. Realitas hari ini apakah rakyat telah mendapatkan posisi yang sebenarnya dan pemerintah telah melaksanakan kewajibanya sebagai orang yang berkerja untuk kepentingan rakyat? Rasanya secara universal belum seideal perumpamaan diawal tadi.

Hari ini institusi negara baik politik maupun ekonomi masih jauh dari kata mensejahterakan masyarakat. Bagaimana tidak kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh para pekerja negara cenderung lebih ekstraktif dan merugikan masyarakat, termasuk masyarakat adat yang hari ini jauh dari sentuhan keberpihakan pemerintah. Padahal masyarakat adat lebih dahulu hadir dibandingkan berdirinya negara ini melaui sub-sub suku bangsanya. Misalnya masyarakat adat Dayak, dalam buku hasil penelitian Sejarawan Thomas Lindblad “Antara Dayak dan Belanda. Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942” pada bab pertama menyebutkan bahwasannya telah terjadi akulturasi antara suku bangsa Dayak Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan dengan para pendatang yang berasal dari pemerintahan Majapahit pada abad ke-13 dan ke-14. Hal ini membuktikan bahwasannya kehadiran masyarakat adat jauh sebelum terbentuknya negara ini.

Selanjutnya kedudukan dan keberadaan masyarakat adat secara internasional telah diakui lewat hasil Konvensi ILO (International Labour Organization) No.169 tentang masyarakat adat dan masyarakat adat di negara-negara independen yang mulai berlaku pada 5 September 1991. Di Indonesia sendiri hak-hak masyarakat adat secara konstitusi telah dijamin oleh negara lewat pasal 18 B ayat (2) dan 28I (3) UUD 1945, UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria), UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan aturan lainnya. Istilah masyarakat adat sering sekali terdengar ketika isu konflik agrarian atau perebutan SDA antara masyarakat dan korporasi. Konflik agrarian yang dihadapi oleh masyarakat adat seperti kriminalisasi petani tradisional di Sitang Provinsi Kalimantan Barat yang dituding sebagai biang dari terjadinya kebakaran hutan menjadi salah satu contoh betapa keberpihakan institusi negara terhadap masyarakat adat, walaupun pada akhirnya putusan pengadilan menyatakan para petani tersebut tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana pembakaran hutan.

Hutan dan masyarakat adat pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Namun regulasi terkait pengelolaan hutan yang berlaku di negara ini nyatanya kurang berpihak kepada pemenuhan hak-hak tradisional masyarakat adat. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) misalnya, HPH adalah hak untuk mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan, dalam pengelolaannya diberikan kepada BUMN dan Swasta. Beberapa pengalaman empiric yang saya peroleh dari salah informan yang bertugas di pemerintahan untuk mengurus perihal kelembagaan adat di salah satu kabupaten di Kalimantan Timur. Informan tersebut menceritakan bagaimana regulasi HPH tersebut dapat dengan sewenang-wenangnya mengambil tanah adat yang tealah turun-temurun dikeloala oleh masyarakat adat, tanpa ada sosialisai dan tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu seakan pemerintah superior dan menjadi aktor tunggal dalam hak penguasaan hutan negara. HPH menjadi salah satu bukti bagaiman cerminan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat. Pemerentah terkesan seenaknya membuat regulasi tanpa melihat kearifan lokal dalam hal ini hukum-hukum adat yang lebih dahulu berlaku di masyarakat. Padahal Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum seharusnya dalam perumusuan aturan harus memperhatikan konsep “Living Law”. Maksud dari konsep tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Von Savigny dengan mahzab sejarahnya,bahwa hukum merupakan fenomena historis,sehingga keberadaan setiap hukum adalah berbeda,bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya hukum,serta hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa.

Selain itu masyarakat adat sering sekali menjadi objek tudingan serta intimidasi aparat atas nama penegakan hukum, padahal dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam masyarakat adat justru lebih ekologis dibandingkan pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan negara ataupun swasta. Semisalnya dalam proses penanaman ladang berpidah yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan, mereka menanam padi  hanya untuk mencukupi kebutuhan mereka selama satu tahun kedepan. Lahan yang digunakan tidak lebih dari dua hectare dan dalam proses pembakarannya dijaga hingga proses pemadaman kembali merupakan prosesi adat yang tidak bisa ditinggalkan. Hal ini mengartikan bahwasanya pengelolaan sumberdaya alama yang dilakukan tidak bersifat ekstraktif, dibandingkan dengan kegiatan Hutan Tanam Industri, perhutani maupun pembukaan hutan untuk kegiatan pertambangan yang jelas sekali dampak negative bagi keberlanjutan sumberdaya alam. Namun ironinya masyarakat adat selalu dianggap sebagai peyebab dari permasalahan yang timbul, seperti yang terjadi di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.

Belum lagi ekspansi industri kelapa sawit dengan konsep Hak Guna Usaha (HGU), nyatanya bukan memberikan kesejahteraan justru menjadi gudan konflik antara masyarakat dan korporasi. sebagaimana dimuat dalam Kompas 26 Januari 2011, “Lahan Sawit Rawan Konflik”. Dalam rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 25 Januari 2012, ia menyampaikan data bahwa sekitar 59 % dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik: Kalimantan Tengah menem- pati urutan pertama dengan 250 kasus konflik, disusul Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus (Rachman, 2013). Hasil riset kecil saya terkait bagaimana nasib masyarakat adat di wilayah relokasi Ibukota di Kalimantan Timur, menghasilkan temuan bahwasanya mengatakan bahwa ini adalah pelajaran dari sejarah konflik dengan perusahaan kelapa sawit dan kayu. Pemukiman adat yang dikelilingi oleh tanah HGU ditambah usulan relokasi ibukota negara adalah keprihatinan masyarakat adat dan sekaligus ancaman bagi masyarakat adat atas keberlangsungan tatanan hidup, situs-situs adat dan hak-hak adat.

Hasil riset saya (Tengku) menyatakan bahwa masyarakat adat tersebut tidak mampu untuk menolak kebijakan relokasi ibukota tersebut, namum mereka berharap kepada pemerintah  harus menjamin keberlangsungan hukum-hukum adat serta berpihak kepada masyarakat adat. Semua hal tersebut memperilihatkan betapa ketimpangan hak penguasaan hutan antara masyarakat adat dan HPH. Jika hal ini terus berlangsung maka posisi serta keberlangsungan hidup masyarakat adat di Indonesia dalam posisi sangat terancam. Konflik-konflik agrarian yang berakara dari permasalahan-permasalahan diatas akan terus menerus terulang dan pada ujungnya hanya akan mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat adat. Nantinya pelan-pelan wilayah hidup, mata pencaharian, aset-aset masyarakat adat akan hilang tergerus oleh pemabangunan. Hal ini akan beiringan dengan memudarnya kemandirian masyarakat adat dan menimbulkan ketergantungan terhadap kebutuhan hidupnya terutama pangan. Bukan tidak mungkin nantinya masyarakat adat yang tersisa dengan segala penderitaanya akan bermigrasi kedaerah perkotaan dan akan menjadi golongan miskin Kota. Serta akan memicu konflik-konfil lanjutan antara masyarakat pendatang dan masyarakat adat yang merasa dirugikan.

Ditulis oleh: Tengku Imam Syarifuddin, peneliti Mengeja Indonesia dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan UMY

Peneliti Mengeja Indonesia dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan UMY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like