
Kapitalisme dan sosialisme adalah dua sistem ekonomi yang kerap diperdebatkan dan disalahpahami. Sebagian orang memuji kapitalisme sebagai pendorong inovasi dan kemakmuran, sementara yang lain mengkritiknya karena ketimpangan sosial. Demikian pula, sosialisme dipandang oleh pendukungnya sebagai jalan menuju keadilan ekonomi, namun dikutuk oleh penentangnya sebagai penghambat kebebasan. Apa sebenarnya arti negara kapitalis dan negara sosialis? Bagaimana sejarah kemunculan keduanya, dan adakah jalan tengah di antara ekstrem tersebut? Mari telusuri asal-usul kapitalisme dan sosialisme, perbedaan utamanya, hingga peran intervensi pemerintah dan stimulus ekonomi dalam praktik modern.
Konsep kapitalisme modern bermula pada abad ke-18 melalui karya Adam Smith, filsuf asal Skotlandia. Pada tahun 1776, Smith menerbitkan buku The Wealth of Nations yang menjadi landasan teori ekonomi pasar bebas. Dalam bukunya, Adam Smith berargumen bahwa produktivitas dan kesejahteraan masyarakat akan maksimal jika individu diberi kebebasan untuk memiliki modal (capital) dan mengejar laba. Modal di sini merujuk pada alat produksi seperti pabrik, lahan, dan peralatan.
Smith meyakini bahwa kepemilikan pribadi atas alat produksi serta dorongan motivasi laba akan mendorong persaingan sehat. Para pengusaha (pemilik modal) yang bersaing akan berlomba menarik konsumen dengan cara meningkatkan kualitas produk dan menurunkan harga. Invisible hand atau mekanisme pasar diharapkan membuat barang semakin murah dan berkualitas, sehingga masyarakat luas diuntungkan. Gagasan Smith ini berpengaruh besar; bahkan para pendiri Amerika Serikat konon terinspirasi buku tersebut dan memasukkan perlindungan hak milik pribadi dalam Konstitusi mereka.
Inti dari kapitalisme menurut Adam Smith adalah kebebasan ekonomi individu: individu berhak memiliki properti dan menjalankan usaha demi keuntungan. Peran pemerintah dibatasi sebagai penjaga ketertiban dan penegak hukum, sementara urusan ekonomi diserahkan pada pasar. Sistem ini melahirkan negara-negara kapitalis seperti Britania Raya dan Amerika Serikat, terutama selepas revolusi industri, di mana sektor swasta dominan mengendalikan perekonomian.
Sekitar tujuh dekade setelah karya Adam Smith, muncul tanggapan kritis terhadap kapitalisme. Pada 1848, filsuf Jerman Karl Marx bersama Friedrich Engels menerbitkan Manifesto Komunis, yang menawarkan analisis tajam tentang kelemahan kapitalisme dan menjadi dasar teori sosialis modern. Marx berpendapat bahwa kapitalisme secara inheren menindas kaum buruh. Dalam sistem kapitalis, pemilik modal (kapitalis) meraup nilai surplus – keuntungan berlebih – dari hasil kerja buruh dengan membayar upah serendah mungkin. Dengan kata lain, Marx melihat eksploitasi tenaga kerja sebagai ciri tak terelakkan kapitalisme.
Untuk menghindari penindasan tersebut, Marx mengusulkan agar alat-alat produksi (modal seperti pabrik, lahan, mesin) tidak lagi dimiliki secara pribadi, melainkan oleh rakyat secara kolektif. Dalam praktik, hal ini berarti kontrol produksi dipegang oleh otoritas pusat (negara) atas nama rakyat. Gagasan inilah yang menjadi inti sosialisme: sumber daya dan industri penting dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan bersama, bukan oleh individu untuk keuntungan pribadi.
Pandangan Marx mendapat dukungan dari kalangan buruh dan kelas pekerja, terutama di Eropa yang waktu itu tengah dilanda kesenjangan akibat industrialisasi. Marx bahkan meramalkan negara-negara industri maju (seperti Inggris, Jerman, atau Prancis) akan mengalami revolusi sosialis – kaum proletar bangkit menggulingkan kaum kapitalis. Namun, prediksi ini tidak terjadi di negara-negara tersebut pada abad ke-19. Sebagai gantinya, banyak negara Eropa melakukan reformasi moderat seperti program jaminan sosial dan pensiun untuk meredam gejolak kaum pekerja. Meskipun demikian, ide-ide Marx menjadi benih gerakan sosialisme revolusioner yang segera mewujud di tempat lain.
Ironisnya, revolusi sosialis pertama justru meletus bukan di negara industri maju yang diprediksi Marx, melainkan di Kekaisaran Rusia yang relatif terbelakang secara industri. Pada Oktober 1917, Vladimir Lenin memimpin Revolusi Bolshevik di Rusia, menggulingkan rezim Tsar yang otoriter. Revolusi ini berhasil dengan cepat dan mengejutkan dunia, terutama negara-negara Barat. Bagi kekuatan Barat seperti Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, komunisme dipandang sebagai ancaman langsung terhadap hak milik pribadi yang menjadi fondasi kapitalisme mereka. Tak heran, segera setelah revolusi, Rusia dilanda Perang Saudara (1918-1922) antara faksi Putih (anti-komunis) dan Merah (komunis), di mana negara-negara Barat bahkan sempat memberi bantuan militer kepada pihak anti-komunis. Namun, kaum Bolshevik akhirnya menang dan pada 1922 mendirikan negara baru bernama Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) – inilah negara sosialis pertama di dunia.
Berdirinya Uni Soviet menandai babak baru dalam sejarah ekonomi-politik dunia: untuk pertama kalinya ada negara besar yang secara resmi menerapkan sosialisme terpusat. Di bawah Lenin (dan penerusnya, Joseph Stalin), Uni Soviet menasionalisasi hampir seluruh industri dan lahan pertanian. Partai Komunis, melalui aparat pemerintah, mengambil alih kendali penuh atas perekonomian. Tak ada lagi kepemilikan pribadi atas pabrik atau lahan; semua disebut milik rakyat yang dikelola negara. Sistem politik pun berubah menjadi satu-partai di mana Partai Komunis memegang kekuasaan absolut.
Revolusi Bolshevik menginspirasi gerakan sosialisme di berbagai belahan dunia dan juga memicu ketakutan di negara-negara kapitalis. Selama sisa awal abad ke-20, dunia menyaksikan pertarungan ideologi antara kapitalisme dan komunisme (sosialisme radikal) – situasi yang kelak memuncak dalam Perang Dingin pasca Perang Dunia II. Namun sebelum ke sana, mari melihat bagaimana sistem ekonomi dijalankan di negara sosialis seperti Uni Soviet, serta bagaimana beberapa negara sosialis kemudian melakukan reformasi menuju pasar.
Setelah berkuasa, rezim komunis di Uni Soviet menghadapi tantangan mengelola ekonomi yang luas tanpa mekanisme pasar. Solusinya adalah menerapkan ekonomi terencana terpusat (centrally planned economy). Pemerintah Soviet menyusun rencana produksi jangka panjang – terkenal dengan Rencana Lima Tahun – untuk mengatur berapa banyak barang harus diproduksi dan bagaimana distribusinya. Sistem ini juga diadopsi oleh Tiongkok setelah Revolusi Komunis 1949 di bawah Mao Zedong. Melalui perencanaan terpusat, pemerintah menentukan kuota produksi di sektor pertanian, industri, hingga jasa, lalu mendistribusikan hasilnya secara merata (misalnya dengan penjatahan kebutuhan pokok).
Para pendukung ekonomi terencana berpendapat bahwa negara dapat mengarahkan sumber daya secara efektif untuk memastikan semua warga terpenuhi kebutuhannya – misalnya jaminan akses pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyat, sesuatu yang diusahakan oleh rezim sosialis. Memang, di Uni Soviet dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), buta huruf berhasil dientaskan dan layanan dasar diperluas melalui kendali negara. Selain itu, perencanaan memungkinkan industrialisasi cepat. Contohnya, Uni Soviet dari era 1920-an hingga 1950-an berubah dari negara agraris menjadi negara industri berat berkat mobilisasi besar-besaran ala komando. Dalam beberapa dekade, Soviet membangun pabrik baja, persenjataan, dan infrastruktur raksasa yang sulit dicapai negara lain dalam waktu singkat.
Namun, kritik terhadap sistem terpusat ini juga tajam. Tanpa pasar bebas dan sinyal harga, pemerintah kerap kesulitan menentukan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Akibatnya, inefisiensi dan ketidaktepatan produksi sering terjadi – ada kalanya barang tertentu over-produksi sementara barang lain langka. Ketiadaan mekanisme harga pasar membuat pemerintah ibarat meraba dalam gelap saat menetapkan target produksi. Selain itu, sentralisasi ekstrem menumpulkan inovasi dan inisiatif individu. Petani, misalnya, dipaksa masuk kolektif pertanian negara (kolektivisasi) dan kehilangan insentif pribadi, yang berdampak buruk pada produktivitas pangan.
Yang paling tragis, kesalahan dalam perencanaan bisa berujung bencana. Sejarah mencatat kelaparan massal terjadi di negara sosialis saat rencana ekonomi gagal. Misalnya, di Uni Soviet pada awal 1930-an, kebijakan kolektivisasi pertanian yang memaksa petani kecil bergabung ke pertanian besar milik negara berkontribusi pada Holodomor – bencana kelaparan di Ukraina. Hal serupa terjadi di Tiongkok pada Lompatan Jauh ke Depan (1958-1962) ketika upaya industrialisasi dan komunisasi desa yang terlalu cepat menyebabkan produksi pangan anjlok. Pemaksaan industrialisasi tanpa fleksibilitas pasar membuat sistem sulit beradaptasi terhadap kondisi cuaca buruk atau kekurangan pasokan, sehingga gagal panen berubah menjadi kelaparan.
Singkatnya, negara sosialis klasik (seperti Uni Soviet di abad ke-20) menjalankan ekonomi dengan perintah terpusat. Model ini berhasil mencapai beberapa kemajuan (literasi, industrialisasi awal) tetapi juga membawa masalah serius (inefisiensi, stagnasi, bahkan bencana kemanusiaan). Menjelang akhir abad ke-20, keterbatasan ekonomi terencana makin terasa, mendorong upaya perubahan dari dalam.
Pada akhir 1970-an dan 1980-an, dua negara sosialis terbesar – Tiongkok dan Uni Soviet – mengambil jalan berbeda dalam merespons stagnasi ekonomi mereka.
Tiongkok di bawah Deng Xiaoping memilih melakukan Reformasi dan Keterbukaan (dimulai 1978). Deng menyadari bahwa sistem Maois yang kaku membuat ekonomi Tiongkok terpuruk (Tiongkok saat itu termasuk negara miskin di dunia). Mulai Desember 1978, pemerintah Tiongkok membuka pintu bagi investasi asing dan memberi ruang lebih besar bagi mekanisme pasar. Pembaruan ini berlangsung hati-hati: lahan pertanian dikembalikan kepada petani untuk dikelola (dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasil pada negara), zona ekonomi khusus dibuka untuk menarik modal asing, dan perusahaan milik negara diberi otonomi lebih dalam produksi. Hasilnya luar biasa – dalam beberapa dekade, ekonomi Tiongkok tumbuh pesat dan ratusan juta penduduknya keluar dari kemiskinan. Tiongkok menyebut model baru ini sebagai “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok”, pada praktiknya merupakan ekonomi campuran: sektor swasta dan pasar berperan besar, tetapi Partai Komunis tetap memegang kendali politik dan strategi ekonomi makro.
Adapun Uni Soviet, pada awalnya tetap mempertahankan model lama di era pimpinan Leonid Brezhnev. Barulah ketika Mikhail Gorbachev berkuasa pada 1985, Uni Soviet mencoba reformasi besar-besaran. Gorbachev meluncurkan kebijakan Perestroika (restrukturisasi ekonomi) dan Glasnost (keterbukaan politik). Di bawah Perestroika, Soviet untuk pertama kalinya sejak 1920-an mengizinkan usaha swasta skala kecil dan kerja sama dengan modal asing. Misalnya, individu diperbolehkan membuka bisnis kecil seperti kedai atau jasa perbaikan, dan beberapa kebijakan memberi otonomi lebih luas bagi pabrik untuk menentukan produksi. Namun, langkah Gorbachev ini terbilang terlambat dan setengah hati. Ekonomi Uni Soviet saat itu sudah dililit stagnasi parah dan anggaran negara terbebani perlombaan senjata era Perang Dingin. Berbeda dengan Tiongkok yang tetap stabil di bawah partai tunggal saat reformasi, upaya Gorbachev justru mengendurkan genggaman Partai Komunis tanpa berhasil menyelamatkan ekonomi. Akibatnya, kekuatan sentrifugal muncul; republik-republik Soviet menuntut kemerdekaan, dan pada 1991 Uni Soviet akhirnya kolaps. Hanya empat tahun setelah sektor swasta diperbolehkan lagi, negara adidaya sosialis tersebut bubar.
Dari pengalaman Tiongkok dan Uni Soviet, tampak bahwa reformasi ekonomi di negara sosialis bisa menghasilkan jalan yang berbeda. Tiongkok berhasil bertransformasi menjadi ekonomi pasar berorientasi ekspor (meski tetap diperintah partai komunis tunggal), sedangkan Uni Soviet gagal melakukan transisi tertib dan justru mengalami disintegrasi. Saat ini, hanya segelintir negara yang masih mempertahankan model sosialis terpusat ala Soviet – contohnya Korea Utara dan Kuba – itupun dengan berbagai pembaruan terbatas. Kebanyakan bekas negara sosialis Eropa Timur telah beralih menjadi negara kapitalis (ekonomi pasar) di tahun 1990-an. Sementara Tiongkok, Vietnam, dan beberapa negara Asia lainnya menganut model hybrid: ekonomi pasar dengan kendali politik otoriter satu partai.
Menariknya, negara kapitalis pun tidak sepenuhnya lepas dari peran negara dalam ekonomi. Meski esensi kapitalisme adalah kebebasan pasar, dalam praktik, banyak pemerintah negara kapitalis melakukan intervensi dan regulasi untuk mengatasi kegagalan pasar atau melindungi kepentingan publik. Amerika Serikat, misalnya, secara historis sangat menjunjung kapitalisme, namun sejak awal abad ke-20 telah menerapkan berbagai aturan yang membatasi kebebasan absolut pelaku usaha.
Pada era Progressive (awal 1900-an) dan terutama setelah Depresi Besar tahun 1929-1930an, pemerintah AS mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mengubah lanskap ekonomi. Program New Deal di era Presiden Franklin D. Roosevelt (mulai 1933) memperkenalkan campur tangan pemerintah besar-besaran: mendirikan badan-badan pemerintah untuk menyediakan pekerjaan, membangun infrastruktur publik, dan memberikan jaring pengaman sosial bagi warga miskin dan penganggur. Selain itu, muncul undang-undang perburuhan seperti larangan mempekerjakan anak di bawah umur, aturan jam kerja maksimum dan upah minimum, serta hak-hak pekerja untuk berorganisasi. Pada dekade 1960-an, AS juga mengesahkan program Medicare dan Medicaid (asuransi kesehatan publik untuk lansia dan warga miskin), dan di 2010-an ada Affordable Care Act (Obamacare) yang memperluas akses kesehatan.
Regulasi lain di negara kapitalis termasuk undang-undang antimonopoli (untuk mencegah praktik usaha yang menghancurkan persaingan), standar keamanan produk dan keselamatan kerja, aturan lingkungan hidup, dan sebagainya. Negara-negara Eropa Barat bahkan lebih jauh lagi menjalankan apa yang disebut negara kesejahteraan (welfare state). Mereka tetap berasas kapitalisme (sebagian besar industri dimiliki swasta dan beroperasi di pasar bebas), tetapi pemerintah menyediakan layanan sosial luas seperti kesehatan dan pendidikan gratis, tunjangan pengangguran, pensiun negara, hingga perumahan rakyat. Sistem semacam ini sering disebut ekonomi campuran, menggabungkan mekanisme pasar dengan peran pemerintah yang kuat dalam distribusi kesejahteraan.
Penting untuk dicatat bahwa intervensi pemerintah melalui regulasi atau program sosial tidak serta merta menjadikan sebuah negara “sosialis”. Dalam intervensi semacam itu, pemerintah tidak mengambil alih kepemilikan alat produksi, melainkan hanya mengatur jalannya aktivitas ekonomi swasta demi kepentingan umum. Perusahaan tetap dimiliki swasta, tetapi harus mengikuti aturan (misalnya tidak boleh mempekerjakan anak, harus memenuhi standar upah, dsb.). Dengan kata lain, berbeda dari sosialisme yang mengharuskan kontrol negara atas mayoritas output ekonomi, pada intervensi biasa, peran negara adalah wasiat atau pengatur, bukan pemilik langsung. Sebagai contoh, ketika pemerintah Amerika Serikat mengatur harga dan distribusi barang selama Perang Dunia II melalui kebijakan penjatahan, industri otomotif pun diinstruksikan beralih memproduksi tank dan truk untuk perang. Namun, pabrik mobil tersebut tidak dinasionalisasi – kepemilikannya tetap di tangan perusahaan, dan setelah perang selesai mereka kembali ke produksi sipil. Jadi, meskipun saat itu pemerintah sangat campur tangan, ekonomi AS tetap dianggap kapitalis, bukan sosialis.
Sering kali muncul kebingungan ketika melihat pemerintah campur tangan dalam ekonomi: apakah itu sudah “sosialis”? Penting dibedakan tiga hal – sosialisme, intervensi/regulasi pemerintah, dan stimulus ekonomi – karena ketiganya berbeda sifat dan skala.
Singkatnya, negara kapitalis bisa saja melakukan intervensi dan stimulus besar tanpa menjadi negara sosialis. Garis pembeda utamanya adalah soal kepemilikan: apakah negara mengambil alih produksi atau hanya mengatur dan mendukung. Sebaliknya, negara sosialis pun bisa memakai instrumen pasar dalam beberapa aspek tanpa kehilangan identitasnya, selama pemerintah tetap memegang mayoritas kendali produksi. Di dunia nyata, spektrum praktik ekonomi sangat luas, tidak hitam-putih. Ada negara kapitalis dengan banyak program sosial, dan ada negara sosialis yang membuka ruang bagi pasar.
Kenyataannya, hampir semua negara dewasa ini menganut bentuk ekonomi campuran dengan derajat beragam antara unsur kapitalis dan sosialis. Amerika Serikat misalnya, secara ekonomi jelas kapitalis (swasta mendominasi industri), tetapi pemerintahnya menyediakan pendidikan publik, militer, jalan tol, jaminan sosial lansia (Social Security), dan intervensi pasar lewat bank sentral. Negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark) sering disebut “sosialis” oleh kalangan tertentu di AS, padahal mereka adalah demokrasi pasar bebas dengan sektor swasta kuat, hanya saja dilengkapi pajak tinggi dan layanan sosial lengkap bagi warga. Sebaliknya, RRT (Tiongkok) menyebut dirinya negara sosialis, namun kini memiliki jutawan-jutawan dan korporasi swasta raksasa; peran pasarnya sangat besar meski sektor kunci seperti perbankan tetap dikuasai negara. Indonesia sendiri sejak awal merdeka memilih ekonomi campuran: UUD 1945 Pasal 33 mengamanatkan cabang produksi penting dikuasai negara, namun sektor swasta dan mekanisme pasar juga diberi ruang. Praktiknya, BUMN beroperasi di sektor strategis (energi, telekomunikasi, perbankan), sementara banyak sektor lain kompetitif dijalankan swasta. Pemerintah Indonesia juga rutin melakukan intervensi (subsidi BBM, harga pangan) dan stimulus (misal paket pemulihan ekonomi saat pandemi) tanpa mengubah Indonesia menjadi negara sosialis.
Perbedaan utama negara kapitalis vs sosialis pada akhirnya terletak pada sejauh mana pemerintah menguasai faktor produksi dan seberapa dominan mekanisme pasar bekerja. Negara kapitalis idealnya membiarkan pasar menentukan sebagian besar alokasi sumber daya, sedangkan negara sosialis idealnya merencanakan alokasi tersebut melalui negara. Namun dalam implementasinya, banyak negara berada di tengah-tengah. Kapitalisme murni nyaris tak ada (karena pasti butuh regulasi minimum seperti melarang monopoli dan kriminalitas ekonomi), begitu pula sosialisme murni sulit bertahan (karena sering memberikan ruang bagi pasar informal atau sektor swasta terbatas).
Selama dua abad terakhir, kapitalisme dan sosialisme telah mewarnai kebijakan ekonomi negara-negara di dunia. Kapitalisme membawa inovasi dan pertumbuhan pesat, namun juga melahirkan kesenjangan dan krisis berkala. Sosialisme menjanjikan pemerataan dan jaminan sosial, tapi menghadapi tantangan efisiensi dan kebebasan. Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada sistem yang sempurna dijalankan secara ekstrim. Banyak negara kapitalis mengadopsi elemen sosialisme (seperti jaminan sosial), dan beberapa negara sosialis sukses justru dengan mengadopsi mekanisme pasar.
Pada akhirnya, pemilihan sistem ekonomi disesuaikan dengan konteks sosial-politik tiap negara. Yang jelas, memahami perbedaan keduanya membantu kita melihat bahwa label “kapitalis” atau “sosialis” sering tidak hitam putih. Sebuah negara kapitalis belum tentu anti-pemerataan, dan negara sosialis pun bisa merangsang kompetisi. Dewasa ini, perdebatan bukan lagi kapitalisme versus sosialisme secara mutlak, melainkan pada paduan optimal keduanya: seberapa jauh negara harus campur tangan di pasar dan sektor apa yang sebaiknya dikelola negara demi kemakmuran rakyat.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.