Naluri untuk Hidup dan Rasionalitas untuk Mati5 min read

Di saat semuanya berjalan serba cepat, serba dinamis, serba gila, dan serba memuakkan, muncul satu pertanyaan besar yang menggantung: Mengapa manusia tetap melanjutkan hidupnya?

Secara sederhana, manusia ‘ada’ hanya untuk berkembang biak; budaya hanya merupakan aspek dari perjalanan peradaban yang berlangsung lama. Setelah proses panjang itu, terbangunlah akal dan budi yang membuat kita semakin “beradab”, katanya. Spesies yang paling dielu-elukan di muka bumi ini mampu menciptakan sistem yang sangat kompleks, sampai-sampai sesama spesiesnya pun tidak sepenuhnya memahami apa yang telah terjadi padanya.

Pergolakan antara naluri hidup dan rasionalitas untuk mati menjadi kendala di zaman yang serba cepat, serba gila, dan serba pesong ini. Kehidupan menyajikan banyak pertanyaan tentang hidup itu sendiri, seperti “Apa gunanya hidup jika hanya terus-menerus merasakan kesusahan?” atau “Apa gunanya melanjutkan hidup jika tanpa orang yang dicinta?” Pertanyaan-pertanyaan yang tampak klise namun menjadi dasar utama bagi banyak orang untuk melakukan praktik bunuh diri. Karena pada dasarnya, tujuan dari setiap makhluk hidup adalah menghindari kesengsaraan dan berupaya mencapai kebahagiaan, sehingga mengakhiri hidup menjadi opsi terakhir untuk menghindari kesengsaraan, meskipun kematian belum tentu membawa kebahagiaan.

Di antara lain, rasionalitas untuk mati pernah juga disampaikan oleh filsuf Romawi, Seneca: “Seandainya kebebasan kita dihancurkan oleh seorang tiran atau kesehatan kita tidak sesuai dengan nalar, kematian mungkin menjadi pilihan yang lebih baik daripada terus hidup, dan bunuh diri, atau eutanasia, mungkin bisa diterima.” Pandangan radikal sekaligus berbahaya ini disampaikan secara gamblang dalam banyak surat-suratnya yang dibukukan dengan judul How to Die. Bagi Seneca, hidup adalah kebebasan, hidup adalah perjalanan rasionalitas. Ketika manusia sudah kehilangan kebebasan dan menjadi irasional karena penyakitnya, saatnya mempersiapkan kematian. Refleksi yang dalam dan radikal ini mampu mematahkan norma-norma ideal tentang hidup itu sendiri.

Bagi Albert Camus, bunuh diri bukanlah jalan keluar dari persoalan-persoalan hidup manusia, karena baginya, meskipun hidup penuh dengan keabsurdan, tetapi hidup layak untuk dijalani dan dirayakan. Dan cara satu-satunya untuk memahami arti kehidupan adalah dengan menghadapi kemungkinan kematian. Meskipun Camus tidak setuju dengan bunuh diri, baginya, menghargai kehidupan dengan memahami bahwa kematian tidak dapat dihindari adalah sebuah keniscayaan. Camus menilai hidup hanyalah hidup, tidak ada makna di dalamnya, tidak ada tujuan di dalamnya; baginya, hidup ini hanyalah keabsurdan yang perlu dijalani dan diatasi. Namun, meskipun kehidupan tidak memiliki makna yang inheren, bagi Albert Camus, manusia tetap bertanggung jawab atas moral dan harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam mewujudkan makna subjektif. Menurut Camus, meskipun seorang nihilis mengakui adanya kehampaan eksistensi, bukan berarti dia dapat terlepas dari tanggung jawab moral manusia untuk bertindak secara etis.

Sebelum di zaman serba cepat, serba dinamis, dan serba gila saat ini, praktik bunuh diri juga pernah membudaya dalam sejarah umat manusia, dan hal tersebut mendapatkan legitimasi pada zamannya. Diambil dari contoh zaman samurai Jepang yang disebut dengan ‘Harakiri’, di mana praktik tersebut dilakukan untuk menebus suatu tindakan yang dianggap memalukan dan praktik bunuh diri tersebut dianggap sebagai suatu hal yang puitis juga terhormat. Tidak hanya dalam sejarah Jepang yang menganggap praktik bunuh diri sebagai suatu hal yang terhormat, dalam sejarah Hindu kuno juga ada yang dikenal dengan ‘Sati’, yang menganggap bunuh diri sebagai suatu hal yang sakral dan terhormat, di mana seorang istri yang sudah janda harus membunuh dirinya sendiri di atas tumpukan kayu kremasi sang suami, ritual itu bertujuan untuk menghapus dosa-dosa mereka dan keluarga mereka.

Adapun di zaman sekarang, alasan paling banyak mengapa bunuh diri dilakukan adalah karena “putus asa”, yang sering kali terjadi karena adanya optimisme yang menciptakan sebuah harapan. Dalam hidup, seringkali sebuah harapan tidak selaras dengan realita, di mana beban ekspektasi membuat individu dirundung kegelisahan. Dalam hal ini, penerimaan atas realita akan sulit dicapai karena adanya harapan. Di sini, rasionalitas sangat berperan aktif, di mana orientasi optimisme haruslah berlandaskan rasionalitas. Oleh karena itu, pertimbangan akan kegagalan dan keberhasilan dapat ditimbang secara logis. Namun, margin of error akan selalu ada di setiap aspek kehidupan, walaupun hal tersebut sudah ditimbang secara ketat dan disiplin. Pasti ada potensi untuk melenceng. Oleh karena itu, bagi Max Horkheimer, filsuf asal Jerman, berpendapat bahwa “harapan akal budi terletak pada emansipasi dari ketakutan kita akan keputusasaan”. Bagi Max Horkheimer, akal budi sangat berperan aktif dalam membebaskan dari ketakutan dan keputusasaan. Oleh karena itu, hanya pengetahuan yang mapan yang bisa membawa manusia kepada pencerahan sejati. Manusia harus mengendalikan realitasnya sendiri, dan nalar adalah instrumen kendalinya.

Pertanyaannya sekarang adalah, “Mengapa manusia tetap melanjutkan hidupnya?” Hegemoni yang dominan yang condong kepada naluri untuk hidup adalah sebab utama bunuh diri tidak terjadi. Bayangkan saja dari dua sejarah bunuh diri di atas, jika saja praktik bunuh diri tersebut tidak menuai perlawanan dari rasionalitas dan naluri untuk hidup, maka hal tersebut akan menjadi ideologi dan lama-kelamaan akan menjadi sebuah sistem yang mengendap di alam bawah sadar manusia, atau yang disebut dengan “Budaya”. Oleh karena itu, ideologi dalam arti yang lebih luas sudah menjadi sebuah sistem dalam cara kita memandang kehidupan. Maka, sampai saat ini manusia tidak pernah memerintahkan dirinya untuk tetap hidup, namun dengan sendirinya hidup itu terlaksana. Dan praktik bunuh diri yang dirasionalisasi haruslah dihentikan agar dia tidak menjadi hegemoni yang dominan dalam peradaban umat manusia.

Dengan demikian, manusia yang hadir dengan segala macam kepelikannya, berlari pontang-panting mencari sandaran untuk mengatasi kebingungan-kebingungannya. Sebuah kebingungan yang menyandera adalah suatu niscaya bagi manusia yang berakal budi untuk terus menuntut pengetahuan dari hidup yang dijalaninya. Dengan demikian, pergolakan di dalam pikirannya tidak akan pernah selesai. Namun, kesalahan paling fundamental dari manusia adalah mencoba mendefinisikan “hidup” itu sendiri. Mendefinisikan sesuatu yang sudah sangat melekat hanya akan mengurung dan mengurangi nilai-nilai yang sudah terkandung lama.

Bayangkan: Hidup adalah sebuah pintu. Kita, manusia yang memiliki akal budi, menggedor pintu tersebut, terus menggedor dan menggedor, bukan hanya sekadar untuk minta dipersilakan masuk, tetapi karena kita butuh masuk. Kita tidak tahu mengapa, namun kita bisa merasakan dorongan itu, rasa kegelisahan untuk segera masuk. Dan karena itu, kita terus menggedor, menendang, mendorong, dan lain-lain. Hingga pada akhirnya, pintu itu terbuka, yang kita temukan adalah bahwa pintu itu terbuka keluar: ternyata selama ini kita sudah berada di dalam ruangan yang selalu ingin kita masuki. Begitulah keabsurdan dalam mendefinisikan hidup. Hal yang sudah sangat melekat akan sukar untuk didefinisikan dan malah akan menimbulkan suatu hal yang paradoks.

Mahasiswa S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara. Suka melamun sambil kebingungan. Hobi mengoleksi senyuman orang-orang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like