Belajar Filsafat Cinta dari Kisah Perselingkuhan Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir4 min read

Dalam lanskap filsafat Perancis, Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir berdiri sebagai dua titan eksistensialis yang memilih cinta terbuka, namun abadi. Hubungan mereka adalah perpaduan antara kebebasan pikiran dan kedalaman perasaan, mengajarkan kita bahwa cinta dan pemahaman eksistensial dapat berjalan beriringan, menciptakan simfoni kehidupan yang harmonis dan tak terlupakan.

Sartre dan Beauvoir, dua pemikir eksistensialis Perancis yang mengarungi lautan cinta tak konvensional. Mereka menolak ikatan-ikatan tradisional, membebaskan diri dari belenggu agama, moralitas, dan pernikahan. Keyakinan mereka adalah bahwa manusia harus menemukan makna hidupnya sendiri, tak terikat pada norma orang lain. Cinta mereka, seperti rasa kebebasan, tak terkekang. Mereka menjalani hubungan terbuka, tanpa penguasaan, hanya ada penghormatan dan dukungan.

Semuanya berawal pada tahun 1929, di jantung kota Paris yang mempesona, nasib mempertemukan mereka. Di ruang ujian untuk guru filsafat, cahaya pandangan mereka bertemu. Kecerdasan, humor, dan ambisi mereka yang saling menyala menjadi magnet tak terhindarkan. Mereka memulai perjalanan cinta tanpa ikatan pernikahan, namun komitmen setia mengikat erat hati mereka. Di antara kata-kata dan pemikiran, lahir karya-karya yang menggugah jiwa banyak, mewariskan kebijaksanaan dan inspirasi melalui waktu.

Dalam kisah mereka, cinta tak terbatas oleh monogami, melainkan berkembang sesuai situasi. Mereka melihat cinta sebagai sumber pengayaan diri, bukan belenggu. Karya-karya mereka, seperti novel Sartre, “The Age of Reason,” menggambarkan perjuangan untuk mempertahankan kebebasan di hadapan tekanan sosial. Melalui kata-kata dan pemikiran, mereka mewujudkan kebebasan dan keberanian cinta yang luar biasa.

Suatu ketika senja melukis langit Paris dengan warna-warna emas dan ungu, menciptakan latar sempurna untuk kisah cinta yang penuh semangat dan filosofis antara Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Pada masa itu, Paris adalah pusat intelektualisme dan romansa, tempat percakapan filosofis mengalir sebebas anggur merah yang memabukkan.

Di sebuah kafe kecil dekat Sungai Seine, Jean-Paul dan Simone duduk bersebelahan di bawah payung renda putih, pandangan mata mereka terhubung dalam percakapan yang mendalam.

“Simone,” kata Jean-Paul dengan suara lembut, “cinta adalah kebebasan. Kita menemukan diri kita dalam kebebasan orang lain, dan meskipun kita mencintai dalam kesendirian, kita hidup bersama dalam cinta.”

Simone tersenyum lembut, merasa hangat dari kata-katanya melalui dinginnya malam. “Tapi Jean, kadang-kadang cinta datang pada waktu yang salah, pada orang yang tepat. Itu membuat cinta ini lebih manis namun juga lebih pahit.”

Percakapan mereka mengalir seperti sungai, setiap kata membawa kedalaman yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka membahas tentang eksistensi, kebebasan, dan tentunya, cinta – konsep-konsep yang begitu mendalam dan membingungkan, namun juga begitu indah dan memikat.

“Kita adalah zarah dalam alam semesta ini, namun cinta memberi kita makna,” kata Simone, matanya bersinar dengan antusiasme dan keingintahuan.

Malam berlalu dengan cepat. Lampu-lampu kota berkedip, menciptakan bayangan yang bergerak di sekitar mereka, seakan-akan waktu dan ruang berubah untuk mengakomodasi percakapan mereka yang tak ada akhirnya.

Dalam surat-surat dan biografi mereka, terpapar kisah perasaan yang rumit dan bertentangan antara Sartre dan Beauvoir. Mereka saling mencinta dan menghormati, namun juga terjerumus dalam daya tarik dan kasih sayang kepada orang lain. Mereka mendambakan menghias asa cinta dengan warna-warna baru, namun tak terhindar dari duka dan kehilangan akibat belenggu asmara lain yang mereka pilih. Mereka ingin menjaga kebebasan dan kesetaraan, namun tak jarang terjerat dalam ranjau manipulasi, eksploitasi, dan pengkhianatan terhadap belahan jiwa.

Dari kisah perselingkuhan Sartre dan Beauvoir, terpancar pesan filosofis mendalam: cinta tak terikat oleh batasan peran gender konvensional. Mereka berani meragukan fondasi-fondasi masyarakat, termasuk agama, moralitas, dan ikatan pernikahan, yang dianggap sebagai belenggu dan ketidakjujuran. Bagi mereka, cinta adalah emosi murni, tak terikat oleh standar luar. Mereka juga yakin bahwa cinta adalah sesuatu yang tak terduga dan terus terbuka untuk eksplorasi.

Sebagai hasilnya, mereka memilih untuk menjalani hubungan terbuka, di mana kedua belah pihak diberi kebebasan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, selama terjaga kejujuran dan keterbukaan. Mereka tak menginginkan kepemilikan, melainkan memberi dan menerima dari insan lain. Mereka tak berhasrat menuntut atau berhadapan dengan risiko hukum, namun berkeinginan untuk dihormati dan menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang di sekitar mereka. Alih-alih tergantung pada orang lain atau memupuk ketergantungan, mereka bertujuan untuk memberi dukungan dan memajukan kehidupan orang-orang di sekitar mereka.

Hubungan terbuka membawa keuntungan dan kerugian yang khas. Mereka diberi ruang untuk memelihara identitas pribadi dan mengejar minat masing-masing. Namun, di sisi lain, sering kali mereka berada dalam situasi yang mengharuskan komunikasi terbuka, kasih sayang, dan pengertian yang dalam karena kedekatan mereka. Mengarungi hubungan terbuka bukanlah keputusan yang mudah atau sederhana; sebaliknya, ini adalah tantangan yang harus dihadapi dengan penuh pertimbangan dan kedewasaan.

Sartre berkata, “Aku tidak pernah menyesal tidak menikah denganmu, Simone. Aku pikir kita membuat pilihan yang tepat.” Beauvoir menjawab, “Saya juga, Jean-Paul. Lebih bahagia menjalani ini, kutemui.” Sartre lanjut, “Tak mampu kubayangkan, dalam dinding sempit dan riuh anak-anak yang gemuruh.” Beauvoir berbagi, “Tak sanggup kubayangkan, dalam rutinitas monoton dan beban tak berarti yang menumpuk.” Sartre menyingkap, “Aku lebih suka menjalani petualangan yang tak pernah henti, proyek yang memenuhi jiwa dengan inspirasi.” Beauvoir mengukir, “Saya juga, dalam kebebasan terbuka, cinta bercerita berbagai rasa.”

Dari kisah cinta perselingkuhan Sartre dan Beauvoir, terpancar pesan besar: cinta adalah persatuan jiwa, bukan kepemilikan atau keterikatan. Mereka mengakui diri sebagai pribadi-pribadi unik dengan keinginan dan tujuan masing-masing. Tak ingin mengorbankan jati diri atau impian atas nama cinta. Tak pula ingin mengubah atau menyesuaikan diri hanya untuk memenuhi harapan pasangan. Mereka menginginkan hidup bersama sebagai dua pribadi yang saling memahami, menerima, dan mencintai.

Achmad Faiz Aminulloh, mahasiswa aqidah dan filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, dengan alamat email faaiizart@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like