Biarkanlah Anak Bermimpi!: Dari Freud, Lacan, hingga Deleuze dan Guattari4 min read

Secara sosiologis, keluarga dapat diartikan sebagai suatu satuan atau unit sosial terkecil dalam masyarakat yang memiliki ikatan tertentu berdasarkan pernikahan, ikatan kelahiran, hubungan darah, pengambilan anak angkat, dan sebagainya. Keluarga merupakan pranata sosial dasar yang dalam fungsinya bertugas membentuk kepribadian individu, sehingga karakter dan pembentukan individu dalam ranah sosial dapat didasari melalui sosialisasi kepribadiannya dalam keluarga.

Sebagai miniatur masyarakat, keluarga dapat dianalogikan sebagai sebuah mesin fotokopi. Seorang anak dapat menampilkan dirinya dalam kehidupan sosial berdasarkan relasinya di dalam keluarga. Orang tua sebagai aktor yang menjalankan fungsi keluarga tentu berperan besar dalam pembentukan kepribadian anak. Slater menjelaskan bahwa pola-pola relasi antara orang tua dan anak bersifat bipolar serta menimbulkan pengaruh tertentu. Hubungan tersebut dapat membentuk pola tolerance-intolerance, permissive-strictness, involvement-detachment, dan warmth-coldness.

Namun, dalam konteks tertentu, keluarga tidak selamanya dijalankan melalui indikator yang selalu merujuk pada fungsinya sebagai sistem penghangat bagi tumbuh kembang anak. Orang tua yang cenderung diktator seringkali menghendaki anak untuk selalu mengikuti kehendak dan keinginan orang tua. Secara kontinu, hal ini dapat berdampak pada pembentukan karakter anak yang cenderung menjadi pribadi yang takut dan seringkali merasa tertekan. Dengan sikap yang overprotective, sering memberikan penolakan dan dominasi berlebih, mendorong anak untuk sulit mencapai potensialitas dirinya. Dengan kata lain, anak hanya akan mencapai level diri tertentu berdasarkan imajinasi orang tua terhadapnya.

Bayangkan seorang anak yang berimajinasi menjadi astronaut, pemain sepak bola, musisi terkenal, atau bahkan seniman harus rela merekonstruksi ulang mimpinya dalam kerangka imajinasi orang tua. Hampir seluruh tindakan kita dibenarkan dengan maksud orang tua yang mengharapkan yang terbaik bagi anak-anaknya, tanpa menganggap bahwa memupus mimpi anak sama dengan dosa orang tua terhadap anak. Hal ini seakan mereduksi anak menjadi sekadar objek dalam memenuhi hasrat orang tua semata. Tidak heran, sebagian yang tumbuh dalam hubungan semacam ini sering membangun kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan.

Dalam konteks Indonesia, hal semacam ini sering diperbincangkan dalam studi tentang keluarga. Salah satu faktor penentu adalah budaya patriarki yang kuat, terutama dalam praktik relasi keluarga. Dalam norma tertentu, anak seringkali didorong menjadi individu yang patuh, sopan, dan tidak membantah orang tua. Lebih lanjut lagi, jika dibaca dalam perspektif gender, pengalaman anak akan menjadi lebih kompleks, terutama yang dialami oleh anak perempuan. Anak perempuan kerap mengalami tantangan yang berlipat ganda. Menentukan hobi anak, mengharuskan anak menjadi PNS/ASN, hingga menjodohkan anak, kondisi struktural seperti ini membuat anak kesulitan mencapai eksistensialisme yang total dalam menentukan harapan atas hidupnya sendiri.

Memasuki Sudut Pandang Freud, Lacan menuju Deleuze dan Guattari

Freud mengusulkan salah satu konsep psikoseksualitasnya yaitu Oedipus Complex dalam bukunya The Interpretation of Dreams pada tahun 1899. Freud membaginya dalam beberapa tahap: pada tahap awal, seksualitas infantile, tahap oral, terjadi fantasi kebersatuan antara ibu dan anak. Selanjutnya, tahap anal/sadistis, yang dipahami dengan kepatuhan dan dominasi. Pada tahap terakhir, tahap phallus, anak menginginkan ibu secara eksklusif (Sarup, 1983). Selama tahap perkembangan ini, Freud ingin menjelaskan bahwa anak yang memiliki ketertarikan terhadap ibu akan bersaing dengan ayahnya untuk merebut kasih sayang ibu. Freud juga menggambarkan perkembangan ini dapat ditandai dengan sikap anak yang terikat pada sosok ibunya, upaya fiksasi pada salah satu orang tua, bahkan sering menimbulkan kecemburuan pada sikap ayah yang merebut sosok ibu.

Dalam penjelasannya, Freud menekankan bahwa anak selalu memiliki kelekatan batiniah terhadap salah satu sosok orang tua, sehingga membentuk sikap intim, patuh, dan terikat dalam relasinya dengan orang tua. Sementara itu, Jaques Lacan tidak menerima konsep Oedipus Complex ini secara literal. Seksualitas yang dipahami seperti Freud sebagai insting seksual, coba ditransformasikan oleh Lacan menjadi “hasrat”. Oleh karena itu, hasrat tidak hanya bicara soal seksualitas, tetapi mencakup seluruh upaya pemenuhan atas diri. Hasrat yang tidak terpenuhi secara maksimal kemudian mendorong individu mencapai hasrat simbolis. Lacan menjelaskan upaya anak mencari hasrat pada ibunya atau apa yang ibunya hasratkan (mimpi, harapan, dan imajinasi) melalui bahasa dalam fase simbolis. Upaya ini tidak akan terpenuhi secara maksimal dan mendorong anak untuk mencari hasrat baru yang menggantikan hasrat sebelumnya.

Lacan ingin menunjukkan bahwa upaya mencapai kepenuhan dan keutuhan adalah petualangan yang akan diulangi dengan kegagalan-kegagalan. Keterikatan Oedipus ini mendorong anak tidak lepas dari hasrat yang mengikat, memenjarakan, dan memaksanya untuk mencapai pemenuhan atas kekurangan dalam dirinya. Dalam konteks tersebut, dapat dipahami bahwa anak sebagai individu pada tahap perkembangannya sulit untuk mencapai pemenuhan atas dirinya karena selalu digagalkan dengan dorongan agar meniadakan dirinya sebagai subjek yang bebas dalam mencapai pemenuhan hasrat.

Setiap anak memiliki mimpi, selera, dan hobi yang beragam. Dengan menuntut, bahkan memaksa, anak hanya akan mereduksi potensi anak dan memenjarakannya dalam rasa bersalah yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, memahami anak berdasarkan mimpi dan kemampuan, serta membimbing anak pada potensialitas diri, adalah sebuah evaluasi besar dalam menjalankan fungsi keluarga di tengah universalitas sistem kapitalisme yang mengakar kuat. Sistem kapitalisme yang terkoneksi lewat saluran unit sosial terkecil, yaitu keluarga, perlu diputuskan dalam saluran Oedipal yang menekan subjek. Di satu sisi, membebaskan anak bukan berarti melepaskan dia dari seluruh kontrol penuh orangtua. Dengan kata lain, dalam kerangka normatif anak perlu dibimbing dan dipahami sebagaimana menjaga anak untuk terus bermimpi.

Peneliti, Mahasiswa Pascasarjana Departement Sosiologi UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like