Mengatasi Stress Dengan Filsafat: Filsafat Sebagai Laku Hidup8 min read

Luasnya bahan pembicaraan dan tampak tanpa batas membuat filsafat seringkali divonis berbahaya, menyesatkan sekaligus menyengsarakan. Filsafat dikenal sebagai disiplin berpikir yang rumit dan sulit meskipun apa yang dipikirkannya itu adalah persoalan yang selama ini bergelayutan dibenak banyak orang. Sepanjang sejarahnya, filsafat hadir setidaknya untuk menjawab 3 pertanyaan abadi manusia yakni dari mana asal kehidupan ini, apa tujuan kehidupan dan bagaimana akhir kehidupan ini. Filsafat merupakan pembicaraan tentang semua yang menyelimuti eksistensi manusia termasuk persoalan kehadirannya sebagai ciptaan Tuhan.

Era digital menuntut kehidupan yang serba cepat dan akan memberangus banyak hal yang tak mampu beradaptasi dengan perubahan yang dibawanya. Tuntutan yang semakin komplek dan upaya bertahan hidup kemudian menyita banyak hal dari diri manusia. Manusia millenial saling berlomba mengumpulkan pundi-pundi kekayaan (money), memupuk popularitas (fame), mengejar kekuasaan (power) dan status jabatan (status). Semua itu bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup namun juga demi menafsirkan makna eksistensi diri. 4 kriteria sukses yang kemudian dengan mudah memperbudak kebanyakan kita.

Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, manusia memasuki belantara hutan industrialisasi yang kemudian merubah caranya untuk hidup dan merespon perubahan lingkungannya hingga pada akhirnya mampu memisahkan manusia dengan “dirinya” sendiri, alienasi atau dehumanization. Dibalik ilmu pengetahuan dan teknologi inilah meningkat pula kompleksitas krisis dunia sosial, ketimpangan pengetahuan dalam masyarakat dan krisis ekologis akibat eksploitasi alam. Alienasi atau kegalauan identitas tersebut membawa manusia kemudian mencari pegangan diluar dirinya untuk memaknai kehidupan dan keselamatan.

Kegalauan, kebingungan, ketakutan, kekacauan, kemarahan ataupun emosi negatif lainnya adalah akibat dari ketidakmampuan kita dalam menilai realitas (faulty judgement). Kita seringkali terjebak pada opini atas realitas dan tidak mampu membedakannya dengan fakta. Salah satu sumber ruang pertempuran opini adalah media sosial. Setiap netizen ataupun gerombolan buzzers (dengan bersembunyi dibalik jubah demokrasi) merasa berhak dan layak melontarkan puluhan, ratusan bahkan ribuan komentar atau opini penilaian atas apapun. Namun sayangnya penilaian itu terkadang cenderung sembrono dan tidak lahir dari cara berpikir yang sistematis apalagi mendalam. Tampak seakan memang berniat memecah belah opini dengan mengaduk-aduk emosi dan membelakangi rasionalitas. Situasi inilah yang melahirkan stress hingga depresi.

Jika kita melirik pada filsafat klasik, kita menemukan bahwa filsafat pada saat itu bukan hanya cara berpikir namun juga sebagai laku hidup untuk mencapai autarkeia atau kebebasan bathin yang sepenuhnya tergantung pada diri kita sendiri. Dalam tulisan-tulisan Platon, keseharian Socrates digambarkan senantiasa mengajak berdialog atau berdialektika orang-orang yang ditemuinya dalam rangka menjadi lebih baik. Dengan dialog, ada kedalaman makna yang ingin didekati sebagai bukti cinta pada kebijaksanaan atau philosophia.

Para filsuf tidak mengklaim sebagai sang bijak bestari, mereka hanyalah para pecinta kebijaksanaan. Menurut Platon, hanya ada 2 kelompok yang tidak memerlukan filsafat. Pertama, para dewa karena mereka telah bijaksana. Dan kedua, para binatang karena mereka tidak memiliki kesadaran akan pentingnya bijaksana. Dalam pengertian ini, filsafat menunjukkan gerak dinamis yang tak segera berpuas diri. Pada titik ini pula tampaklah bahwa filsafat klasik terutama Platon dan Socrates dipusatkan pada gerak pencarian jati diri manusia. Filsafat Platon menggali kalimat sederhana yang tertulis di pintu masuk kuil Delphoi “Gnothi seauton kai meden agan” yang berarti “kenalilah dirimu sendiri dan janganlah berlebihan”.

Jika mengenali diri sendiri berarti mengetahui keseluruhan diri tentu bukanlah hal mudah bahkan cenderung mustahil. Misalnya persoalan apakah manusia itu sepenuhnya material ataukah ada sisi lainnya. Apakah mengenal diri yang material tersebut berarti juga mengetahui berapa jumlah helai rambut, berapa panjang usus, berapa jumlah syaraf dan lain sebagainya. Begitu pula jika ada sisi lain manusia, apakah mengenal diri berarti mengetahui segala keadaannya.

Oleh karena itu mengenal diri setidaknya dapat kita maknai sebagai sadar diri. Platon menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang berada antara dewa dan binatang, filsafat memiliki arti penting untuk menyadarkan manusia. Dengan filsafat, manusia sadar bahwa dirinya harus lebih baik dari pada binatang namun disisi lain juga harus sadar bahwa manusia selamanya tidak akan menjadi dewa yang memegang kebijaksanaan. Pada sisi ini, tampak religiusitas Platon melalui penghormatannya kepada para dewa. Dengan begitu filsafat dapat diartikan pula sebagai mencintai Yang Ilahi sebagai pemilik kebijaksanaan.

Dalam rumusan filsafat diatas, tahu diri atau sadar diri adalah kunci utama mengatasi stress ataupun gangguan psikologis lainnya. Rumus tersebut sebenarnya dapat diterjemahkan pula sebagai mawas diri yakni kemampuan untuk menafsirkan objek-objek termasuk dirinya sendiri namun tidak terjebak pada finalitas tafsir atau opini. Dengan mawas diri kita diajak untuk menjadi individu berdaulat yang memiliki kekuatan untuk mendominasi dan memerintah masa depan kita sendiri. Individu berdaulat adalah individu dengan tingkat intelejensia emosional yang matang dalam memahami realitas kehidupan yang serba kontradiktif atau chaotik. Ia memiliki kendali penuh atas dirinya sendiri. Ironisnya, justru banyak dari kita menggantungkan diri pada penilaian eksternal yang berada diluar kendali kita sendiri.

Apa benar filsafat bisa mengatasi stress? Bukannya filsafat bikin kita makin ribet dan pusing? Sebagian orang akan mengajukan pertanyaan tersebut ketika diajukan hipotesis bahwa filsafat mampu mengatasi stress. Bahkan sebagian lainnya menyatakan filsafat adalah barang haram sehingga tidak mungkin bisa mengatasi stress. Sebagian kecil kalangan yang pernah belajar filsafat pun mungkin akan mengerutkan kening sebagai tanda skeptis atas hipotesis tersebut diatas.

Diantara aliran filsafat klasik yang masih relevan untuk merefleksikan diri dan kehidupan kita hari ini adalah Stoa atau Stoikisme. Stoikisme adalah aliran filsafat besar pasca Aristoteles di Yunani (aliran ini juga banyak mempengaruhi pemikir modern, terutama para eksistensialis)  dengan pendiri atau tokoh utamanya bernama Zeno dari Kition/Cittium sekitar tahun 300 SM. Seperti aliran filsafat klasik lainnya semisal Hedonisme-Epikurian, Stoikisme menawarkan art of living, seni menjalani hidup. Menurut Stoikisme, orang yang menerapkan filsafatnya dalam kehidupan sehari-hari lebih patut dihargai ketimbang orang yang hanya sekedar pandai bicara tentang macam-macam teori filsafat.

Karena jiwa manusia adalah rasio, menurut Stoikisme, manusia bisa hidup optimal secara rasional hanya dengan menyelaraskan atau menyesuaikan diri dengan alam yang tak lain adalah rasio universal. Berfilsafat akhirnya dapat dimaknai sebagai upaya mencari jalan meraih kehidupan yang harmonis dengan alam atau kosmos. Sebagai sebuah upaya, maka bagi Stoikisme, filsafat bukan hanya sekedar wacana namun juga laku hidup yang dinamis.

Stoikisme menawarkan kebahagiaan dalam pengertian absence of troubles atau bebas masalah yang berasal dari emosi negatif. Semakin berkurang emosi negatif, semakin dekat pula kita dengan kebahagiaan. Bagi kalangan Stoik, filsafat hadir sebagai obat untuk menyembuhkan kesalahan-kesalahan dan nafsu-nafsu yang muncul dari perilaku reaktif dan kebiasaan sehari-hari. Filsafat mestinya membuahkan sesuatu yang nyata, mengubah diri orang yang mengunyah dan mencernanya. Stoikisme dengan sangat jelas memusatkan perhatiannya pada lelaku internal individu ketimbang wacana kondisi eksternal.

Karena pemusatannya adalah internal individu, Stoikisme memandang apa-apa yang secara rasional berada dalam jangkauan atau kendali kita sebagai tanggung jawab kita. Sedangkan hal-hal yang tidak tergantung pada kita (not up to us) sejatinya bersifat netral, ia belum tentu baik tetapi belum tentu pula buruk. Ketidakmampuan memilah dan meneliti mana yang berada dibawah kendali dan mana yang diluar kendali kita inilah yang menjadi sumber kemalangan atau keburukan pada kehidupan kita. Dengan perangkat rasional, Stoikisme hendak mengajarkan kita untuk membedakan opini dan fakta serta melatih sikap wajar demi kewarasan kita sendiri. Bagi Stoikisme persepsi atau opini itulah yang seringkali menjebak kita.

Di mata kaum Stoik, persepsi atau opini itu muncul dari rasio kita sendiri kemudian memungkinkan diproduksinya emosi negatif. Sehingga sejatinya emosi negatif ini bersifat rasional dan memiliki logikanya sendiri. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang marah sebenarnya saat itu terdapat pertempuran rasionalitas dalam diri orang tersebut. Ia sejatinya memiliki dan mampu memilih untuk menahan atau meluapkan amarahnya. Setelah memilih itulah kemudian ia akan menyusun argumentasi atau logika pembenaran atas tindakannya yang mungkin dalam penilaian orang lain tidak masuk akal (kita sering mendengar celetukan, hal sepele saja pake marah-marah, aneh juga ya!). Si pemarah berusaha secara serius untuk menyakinkan pada kita bahwa ia pantas marah (semisal berkata ini bukan soal marah, ini soal harga diri). Begitu pula jika seseorang memilih untuk tidak meluapkan marahnya, ia pun akan menyusun rasionalisasinya sendiri, itulah kemudian kita sebut sebagai emosi positif. Kita menjadi bertanggungjawab penuh atas representasi atau opini (baik emosi negatif maupun emosi positif) tersebut karena itu berada dalam jangkauan kita. Sedangkan faktor eksternal yang memicu opini tersebut bersifat netral karena ia berada diluar kendali kita.

Selain pandangan diatas, salah satu ajaran Stoikisme yang dilestarikanya dari filsafat klasik adalah memento mori yang berarti ingatlah kematian. Ajaran kematian ini kemudian membuat Stoikisme dinilai sebagai satu-satunya aliran filsafat yang membolehkan bunuh diri manakala kondisi material, terutama yang berhubungan dengan keselarasan alam dan rasio, benar-benar tidak memungkinkan seseorang untuk melanjutkan hidupnya. Namun kondisi material tersebut haruslah diperhatikan dengan ketat sehingga bunuh diri yang dimaksud oleh Stoikisme bukanlah semau-maunya atau hanya karena hal sepele tanpa melalui seleksi rasionalitas seperti patah hati. Lebih lanjut latihan mati sebenarnya bertujuan untuk mendapatkan perspektif baru mengenai kehidupan.

Dengan latihan mati kita diajak masuk cara berpikir objektif rasional dan universal serta mengendalikan hawa nafsu atau emosi negatif. Gambaran kehidupan surga yang penuh kenikmatan jasadi tidak jarang membuat manusia tergelincir karena terlalu bersemangat untuk hidup di dunia-sana dan lupa akan pentingnya dunia-sini (lalu atas nama kesalehan, acuh pada sesama manusia lainnya atau memandangnya akan memperoleh kehidupan neraka). Latihan menghadapi kematian dalam pandangan Stoikisme adalah dalam rangka mengapresiasi kehidupan yang kita miliki selama belum menemui kematian itu sendiri. 

Dengan latihan mati kita diajak untuk melakukan permenungan tentang kosmos kemudian sadar bahwa kita memiliki finitude atau keterbatasan eksistensial. Kesadaran akan keterbatasan eksistensial tersebut memunculkan kesadaran bahwa kesenangan maupun kepahitan tidaklah abadi lalu mengapa kita lupa diri dan menghabiskan waktu dalam hura-hura (laetitia) atau berlarut-larut meratapi kepahitan (aegritudo)?

Semestinya latihan mati dimaknai sebagai praktik hidup berkeutamaan di dunia-sini, bahwa waktu hidup kita pendek sehingga sepatutnya diisi dengan tindakan-tindakan dimana penyesesuaian atau penyelarasan diri dengan hukum alam (logos) merupakan prinsip dasarnya. Dengan mengingat mati itulah kita akan menemukan kehidupan sosial yang universal dan saling terkoneksi. Bila hidup telah dijalani dengan selayaknya maka kematian adalah ditatap mantap dan penuh ketenangan, tak perlu ditakuti.

Masa lalu telah berlalu, untuk apa terlalu menyesalinya. Masa depan belumlah datang, untuk apa terlalu dikhawatirkan. Kita hidup disini, saat ini, mengapa kita tidak syukuri?

Pemuda kelahiran Samarinda 36 tahun silam. Disela-sela kesibukannya sebagai karyawan sebuah perusahaan milik pemerintah daerah Kalimantan Timur masih menyempatkan diri untuk menuliskan pandangan terutama menyangkut budaya, seni, sosiologi, politik, filsafat dan agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like