Menguji Ideologi Pancasila di Tengah Pandemi Covid-195 min read

Semenjak kehadirannya menghantui kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan pada awal maret 2020 yang lalu, virus Covid-19 begitu menakutkan bagi  kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Virus ini kemudian menjadi pusat perhatian pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan kebijakan para petinggi negara sepanjang masa pandemi. Perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat menyebabkan berita dan analisis seputar Covid-19 begitu dicari dan diberitakan di berbagai media.

Wabah virus corona yang  terus merebak hingga saat ini dapat memberi efek destruksi bagi  masyarakat jika tidak ditangani dengan benar. Wabah Covid-19 pun dapat menjadi bahan instropeksi bagi bangsa ini dalam menguatkan ketahanan negara di bidang kesehatan maupun ekonomi. Data terbaru yang dilansir detikNews, menunjukkan tambahan 9.775 kasus Covid-19 di Republik Indonesia per 23 februari 2021 pukul 15:57 WIB total menjadi 1.298.603 kasus. Data ini belum termasuk orang-orang yang sudah terjangkit namun belum terdata. Di sinilah peran pemerintah daerah perlu dioptimalkan demi menyelamatkan nyawa dan perekonomian rakyat.

Penyebaran virus ini harus ditanggapi secara serius. Sebab proses penularannya begitu cepat hingga berimbas pada ribuan masyarakat yang terpapar. Dalam hal ini, pemerintah telah sangat berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan berbagai kebijakan sebagai upaya penyelamatan nyawa masyarakat. Kita dapat melihatnya dalam kebijakan seperti pembentukan gugus tugas pemberantasan Covid-19, pemberlakuan pembelajaran daring, hingga penyetujuan status beberapa daerah untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Berhadapan dengan realitas penyebaran Covid-19, banyak masyarakat yang masih termarjinalisasi. Hal ini nampak dalam argumen-argumen yang terlontar. Jika kebijakan penanganan Covid-19 digandrungi kepentingan pribadi, maka kita telah berada di ambang degradasi nilai-nilai solidaritas sebagai bangsa yang beradab. Apakah prinsip mengutamakan bonum commune telah beralih pada keegoisan memegahkan diri?

Penghayatan ideologi Pancasila sebagai kepribadian dan identitas nasional dipertanyakan. Hal sekelas ideologi negara yang “bilangnya” telah ada jauh sebelum bangsa ini merdeka tanpa disadari kini mulai terkikis. Kepentingan masyarakat selalu selalu menjadi tujuan utama para elit, namun masih ada saja oknum-oknum yang bertindak sekedar formalitas. Mereka pandai berkamuflase, sehingga dampaknya ekspektasi masyarakat tidak sesuai dengan realita. 

Peristiwa-peristiwa seperti korupsi dana bansos Covid-19 hingga penolakan dikuburnya jenazah korban Covid-19 merupakan suatu fenomena sosial menunjukkan “cacat” ideologi.  Hal ini adalah sejarah kelam bangsa yang kemudian akan dibungkus dengan keemasan modern yang mengkilap di masa yang akan datang dalam keberlangsungan hidup bangsa ini. Sebuah ironi telah terjadi, bahwa dana Bantuan Sosial (Bansos) yang miliaran itu sejatinya adalah dana yang diperuntukan bagi keselamatan nyawa banyak orang, malah digelapkan demi mengenyangkan hasrat pribadi. Apalagi mengenai jenazah korban Covid-19 yang dianggap penuh dengan dosa, aib, sehingga ditolak masyarakat. Apakah mereka tak sadar bahwa ada pula jenazah para medis yang telah rela menjadi relawan demi melawan pandemi ini malah ditolak. Penolakan yang timbul dari kedangkalan rasa solidaritas dan ambiguitas antara sangsi dan kredibilitas terhadap wabah Covid-19.

Lalu apakah bedanya kita dengan penjajah di rumah sendiri yang menyakiti tanpa melukai, yang membunuh tanpa menikam. Realitas sosial yang begitu busuk dengan bangkai hati nurani yang tak berakhlak ini telah terdeskripsikan menjadi suatu sejarah kelam. Adagium klasik homo homini lupus bisa menjadi rujukan perbuatan yang anti Pancasila. Ratio kita selalu terarah pada upaya menyelamatkan diri sendiri, tetapi itu semua toh tidak harus menghilangkan sikap kemanusiaan kita. Apalagi dengan tersebarnya jargon seperti “kita ini besaudara, satu rahim ibu pertiwi.” Kita harus melakukan instropeksi diri ketika menyimak perbuatan oknum-oknum demikian. Sebab pembelajaran diperlukan sebagai proses perbaikan diri. Solidaritas harus termaktub dalam diri, agar mampu merasa kehidupan orang lain yang “tersakiti.”

Perkataan Soekarno “Perjuanganku akan lebih mudah melawan penjajah, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” secara implisit menyinggung konflik teraktual dalam negri. Sejarah telah mencatat bahwa yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa, adalah konflik horisontal antar sesama saudara. Kekuatan serta komitmen warga masyarakat menjadi modal yang paling penting mengahadapi masalah-masalah seperti ini sehingga bangsa kita tetap eksis.

Korupsi dana bansos dan penolakan jenazah warga masyarakat korban Covid-19 merupakan suatu kedongkolan berpikir yang merobohkan semangat kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Perasaan sesama warga masyarakat harus selalu dijaga, karena pada hakikatnya kitalah anak negri yang berteduh di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika.Maka tak pantas bila kehidupan bersama dikotak-kotakan berdasarkan ras, suku, agama, hingga status sosial. dipertanyakan kedewasaan bangsa kita, serta implementasi sila kedua dalam kehidupan

Tindakan-tindakan tersebut merupakan satu hal yang sangat tidak manusiawi. Jika dibenturkan dengan prisnip suci sebagai anak bangsa yang mengedepankan sikap adil dan beradab.

Melalui peristiwa yang telah menjadi cacatan bersama,terlebih bagi aparat pemerintahan dan keamanan, yang merupakan penegak dalam mengatasi hal-hal demikian agar tak terulang kembali, tindakan demikian perlu disikapi dengan cermat,sebab hal ini sangatlah berpotensi untuk merusak moralitas dan solidaritas bangsa, dengan sadar pun bangsa ini akan kehilangan jati dirinya, sebagai suatu bangsa yang telah terkenal dengan keadaban yang begitu tinggi.

Realitas yang telah terjadi ini pun merupakan sebuah cermin yang harus ditaruh di dinding kehidupan berbangsa dan bernegara kedepannya, jika hal yang sama masih terjadi perlulah ada evaluasi dan perefleksian agar warga negara lebih adil dan beradab.

Merefleksikan Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa

Ideologi Pancasila merupakan suatu indikator penggerak dalam hidup berbangsa dan bernegara di Republik ini, sebab di dalamya terkandung nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam masyarakat. Didalam ideologi ini tertera kebiasaan masyarakat yang telah terhabituskan sebagai implementasi merekonstruksi manusia Pancasilais.

Ditinjau dengan kasus korupsi dan penolakan jenazah kasus Covid-19 itu, maka apakah kita tak sadar bahwa kepincangan Pancasila dibuat oleh kita sendiri sebagai warga masyarat. Apakah hal itu memiliki hal mendasar yang dapat di pertanggung jawabkan?.

Pemaknaan ideologi Pancasila tak hanya bisa dibangun dengan pembelajaran di kelas, dan sosialisasi di mana-mana. Sebab, pemaknaan Pancasila sebagai pribadi bangsa perlu bukti nyata yang kongkret melalui keterlibatan masyarakat, demi memajukan masyarakat yang adil dan beradab serta efeknya pula hadir dengan kesejahteraan rakyat. karena dengan pengimplementasian nilai Pancasila, manusia Indonesia yang adalah manusia pada umumnya sebagai makhluk yang dinamis yang juga mempunyai daya kekuatan untuk bertumbuh dan berkembang, perlu di bentuk mental dan kepribadiannya.

Dengan demikian evaluasi diri masyarakat Indonesia perlu terus dilakukan guna mengembangkan sikap, mental dan kepribadian yang menjujung tinggi nilai Pancasila, yang dalam situasi pandemi ini diwujudkan dengan mematuhi himbawan pemerintah yakni memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak.

Mahasiswa semester II Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like