Filsafat di Dunia Ketiga5 min read

Alan R. Drengson pernah membedakan tiga tataran filsafat (Philosophy Today, vol. XXIII, 1982). Tataran pertama boleh disebut filsafat implisit. Tataran madya berupa filsafat sis- tematis: dengan pengandaian, penalaran dan kesimpulan; dengan pendirian dan alasan. Tataran ketiga, tataran “paling matang” menurut Drengson, adalah filsafat kreatif atau boleh kita sebut pula filsafat kritis. Meskipun jarang ada uraian filosofis yang semata-mata bergerak pada satu tataran saja, tetapi pembedaan Drengson ini dapat kita manfaatkan untuk merumuskan tugas filsafat di Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia.

Filsafat Implisit

Tataran pertama adalah filsafat implisit sebagaimana tecermin dalam sikap dan orientasi budaya, maupun sikap dan kecenderungan pribadi yang mendasari perilaku sehari-hari. Dalam arti ini, setiap reaksi seseorang terhadap lingkungan fisik, lingkungan sosial maupun lingkungan adiduniawi dikondisikan oleh “asumsi-asumsi filosofis” yang pada umumnya kurang —bahkan tidak— disadari oleh yang bersangkutan.

Namun, cukup sering bahwa filsafat pada tataran ini sudah terdapat dalam bentuk eksplisit, meski biasanya masih kurang sistematis. Termasuk dalam pengertian filsafat implisit ini ialah peribahasa, pepatah petitih, tembang, teater rakyat, dan berbagai bentuk kesenian rakyat, dongeng rakyat, serta berbagai bentuk ajaran kebijaksanaan hidup lainnya.

Memang, tidak semua orang yang berkecimpung dalam arena “filsafat akademis” rela menyebut tataran pertama ini sebagai “filsafat”. Daripada menyebut tataran ini sebagai “filsafat”, mereka lebih suka menggunakan istilah “pandangan dunia” atau way of life. Di Indonesia, filsafat implisit ini kadang-kadang disebut “falsafah” yang hanya secara stipulatif dibedakan dari pemikiran sistematis bernama “filsafat”.

Arogansi semacam ini sebenarnya tidak perlu. Dalam antropologi-empiris, Kluckhohn misalnya menunjukkan adanya ciri-ciri sistematis tertentu yang implisit termuat dalam perilaku budaya setiap orang (Koentjaraningrat, 1974: 37). Dalam hal Indonesia, Niels Mulder pun —betapa pun bagi sementara orang terasa simplistis— pernah mencoba merekonstruksi secara sistematis filsafat implisit dalam hidup kejawaan (Mulder, 1983).

Filsafat pada tatarannya yang pertama ini tentu tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh para pemikir filsafat di Dunia Ketiga. Ini perlu ditandaskan bukan hanya agar para pemikir tetap setia pada semboyan Yunani yang berbunyi “Kenalilah Dirimu Sendiri”, bukan pula hanya agar mereka tidak tercerabut dari akar-akar kebudayaannya sendiri. Sudah pada tahun 1962, Driyarkara menulis:”Jika filsafat seharusnya tidak menjauhkan diri dari keadaan yang kongkret, maka filsafat di Indonesia harus berani menghadapi soal-soal yang meliputi kita semua” (Driyarkara, 1962:7).

Penyelaman kepada filsafat implisit itu lebih-lebih perlu karena di pundak para pemikir itu terpikul juga tugas etis yang kurang lebih khas Dunia Ketiga, yakni tugas untuk bahu-membahu bersama masyarakat menciptakan kondisi-kondisi yang lebih manusiawi. Usaha itu tentu akan memperoleh kemajuan berarti bila kita mampu mengeksplisitkan asumsi-asumsi filsafat pada tataran pertama tadi. Dengan eksplisitasi itu, kita bisa menyadari keterbatasan-keterbatasan, tetapi juga potensi-potensi, serta berbagai upaya budaya yang harus kita kerjakan. Eksplisitasi itu membuat filsafat pada tataran pertama “terangkat” ke tataran kedua.

Filsafat Sistematis

Inilah filsafat sebagaimana lazim dipahami. Pada tataran ini biasanya diletakkan seluruh sistem yang terdapat dalam sejarah filsafat Barat, sejak Thales dari Miletos hingga Strukturalisme Perancis yang konon sedang “in“. Istilah “filsafat sistematis” terlalu lazim diacukan kepada “filsafat Barat”. Namun, kenyataan ini tidak perlu membuat kita terlalu prihatin atau was-was. Dengan pengandaian bahwa sampai tingkat tertentu “manusia di mana-mana sama, kemanusiaan adalah satu” (Driyarkara, 1962:12), dialog dengan filsafat Barat pun perlu terus-menerus dilakukan demi kepentingan Dunia Ketiga sendiri. Dalam dialog itu kita bisa belajar dari pengalaman dan pemikiran Barat: kisah suksesnya, kegagalannya, kesamaan dan perbedaan, sikap kritisnya, dan lain-lain.

Kalau pun ada yang perlu ditambahkan, khususnya di Dunia Ketiga, itulah hasil eksplisitasi dari filsafat implisit tadi. Filsafat sistematis jenis ini adalah eksplisitasi dan sistematisasi dari kompleks asumsi-asumsi dan aksioma- aksioma yang “bersembunyi” di balik sikap dan orientasi budaya maupun sikap dan kecenderungan pribadi. Filsafat sistematis jenis ini adalah hasil kodifikasi dari perilaku budaya masyarakat setempat di Dunia Ketiga. Tentu saja, kodifikasi ini perlu dibuat sememadai mungkin dengan penghayatan masyarakat setempat. Sang filsuf tidak mungkin berpikir dan mengkodifikasi sendiri. Ia harus berpikir dan mengkodifikasi bersama-sama dengan masyarakat setempat.

Hanya berkat sistematisasi yang adekuat inilah, filsafat pada tataran pertama dapat dinilai. Penilaian ini termasuk pada tataran ketiga.

Filsafat Kritis

Pada tataran ketiga, filsafat bersifat kritis. Dan sebenarnya, hampir semua sistem dalam filsafat sistematis bersifat kritis pula. Sebelum membangun sistem mereka sendiri, biasanya para filsuf lebih dulu mengulas secara kritis sistem-sistem lainnya. Bagi filsafat di Dunia Ketiga, yang berupa kodifikasi dari filsafat tataran pertama, tataran ketiga ini dapat dicapai dengan menilai filsafat yang bersangkutan dengan mengevaluasi diri sendiri, keterbatasan-keterbatasan apa yang ada, potensi-potensi apa yang ada, berikut konsistensi dan inkonsistensi.

Drengson sendiri menyebut filsafat pada tataran ketiga ini dengan istilah “filsafat dinamis” atau “filsafat kreatif”. Tujuannya bukanlah suatu “sistem” filsafat, melainkan laku berfilsafat sebagai cara manusia membebaskan diri dari kung- kungan-kungkungan dalam pemikirannya. Inilah versi masa kini dari dialog Socrates. Filsafat ini membongkar benteng- benteng pemikiran fanatik dan defensif, mengusik kemapanan, tetapi juga menggugah daya pikir dan daya kreatif yang lumpuh. Filsafat ini menyadarkan setiap manusia bahwa mereka sebenarnya makhluk kritis dan kreatif.

Filsafat Praksis

Di Dunia Ketiga, filsafat wajib untuk menyelami “filsafat implisit” atau “filsafat pada tataran pertama”, menjadikannya sistematis dan melakukan penilaian terhadapnya. Akan tetapl, dan ini catatan tambahan bagi Drengson, Sokratisme baru di Dunia Ketiga menuntut lebih dari sekadar sikap kritis rasionalistis. Betapa pun luhurnya, sikap semacam itu masin terlalu mewah bagi Dunia Ketiga yang mayoritas manusianya masih dalam kondisi memprihatinkan.

Filsafat di Dunia Ketiga perlu melengkapi sikap kritis rasionalistis itu dengan upaya budaya yang efektif, dalam suatu kesatuan tak terpisahkan. Dalam arti ini, filsafat implisit harus dilihat dalam konteks historis dan struktur sosial. Daya kritis dan daya kreatif yang semula lumpuh harus dapat digiatkan kembali. Baru apabila, dalam proses sejarah dan stuktur konkret, filsafat Dunia Ketiga mampu menggugah daya kritis dan daya kreatif itu, maka upayanya bisa dinilai berhasil.

Berkatalah Iwan Simatupang:”Beda dia dari filosof-filosof berbau apak itu adalah dia lebih suka filsafat sebagai refleks, sebagai amal, sebagai penghayatan daripada filsafat hanya sebagai kata benda…Berfilsafat dengan tekanan pada awalan ber-nya, inilah yang diamalkannya” (Simatupang, 1968: 84).

Singkatnya di Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia, filsafat wajib untuk dengan berbagai upaya atau praksis budaya “membangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya”.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like