Alam semesta memiliki dimensi sangat luas. Sebagai tolok ukur batas kemampuan akal dan teknologi, alam semesta menjadi cerminan kehidupan manusia sejak dulu, kini, dan masa mendatang. Kehidupan sosial manusia tercermin melalui pergerakan benda-benda langit, seperti adanya kecenderungan berkelompok, berpasangan, termasuk kelahiran dan kematian.
Pemikir Yunani sendiri diduga dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang telah berkembang di dua negara, yakni Babilonia (sekarang Irak) dan Mesir. Babilonia terkenal dalam ilmu perbintangan (astronomi), sedangkan Mesir menonjol dalam ilmu ukur (geometri) dan ilmu hitung (aritmatika).
Namun, orang Babilonia tidak berhasrat mengembangkan lebih lanjut ilmu-ilmu tersebut. Mereka hanya memanfaatkan untuk keperluan-keperluan praktis. Astronomi dimanfaatkan untuk meramal atau penujuman (astrologi), sedangkan ilmu ukur untuk pemetaan lahan pertanian di sekitar Nil, pembangunan piramida, dan perdagangan.
Berabad-abad lampau ketika peradaban baru dimulai, catatan dan cerita turun temurun dalam masyarakat sudah menunjukkan berbagai kisah rakyat yang terkait dengan astronomi. Tampaknya penggunaan secara praktis benda-benda langit tidak hanya di Babilonia, di Indonesia sendiri juga banyak contohnya. Sejak jaman dahulu nenek moyang kita telah mempunyai patokan perbintangan untuk mengamati alam semesta dan kehidupan.
Tetapi modernisasi telah mengikis kepercayaan masyarakat pada ilmu Astrologi Jawa. Padahal Astrologi Jawa adalah hasil kajian dari nenek moyang kita sendiri, yang tentunya lebih sesuai bagi Alam Semesta Nusantara. Masyarakat sekarang lebih mengenal Ilmu Astrologi Barat atau Yunani kuno yang disebut Zodiak.
Cerita-cerita dari langit ini memberi interpretasi tersendiri akan obyek langit yang mereka lihat dan menjadi budaya astronomi suku di Indonesia. Sebagai contoh ada kisah Bulan Pejeng (Bali), Pasaggangan’ Laggo Samba Sulu atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua), Manarmakeri (Papua), Hala Na Godang (Batak), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias), Bima Sakti (Jawa), Mula Rilingé’na Sangiang Serri’ (Bugis), Batara Kala, Nini Anteh (Jawa Barat).
Merupakan semacam ilustrasi paradoks. Apa yang terlihat seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum atau kebenaran tetapi kenyataannya mengandung kebenaran secara substantif. Apa yang sudah menjadi perilaku budaya dan cerita dari nenek moyang sampai sekarang masih banyak yang menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, walaupun itu minoritas. Di belahan bumi lain, bahkan ada juga masyarakat yang masih getol dengan benda-benda langit sebagai tolak ukur kehidupannya.
Mereka menaruh rasa percaya kepada benda langit bukan karena apa, karena anggapan benda-benda langit lebih besar dari manusia, banyak memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-harinya, atau berupa anggapan benda-benda langit seperti matahari, bintang, bulan, dll adalah dewa. Yang dengan menggantungkan diri kepada mereka semua kebutuhan hidupnya akan terpenuhi. Seperti konsep kepercayaan umat Animisme dan Dinamisme.
Ajaran-ajaran seperti itu yang melahirkan banyak perkembangan secara variatif tetapi juga masif. Ramalan zodiak misalnya, atau perhitungan weton untuk pernikahan atau melaksanakan hajatan dalam masyarakat Jawa menjadi budaya astronomi suku di Indonesia. Dewasa ini banyak dari orang tua yang ketika anaknya sudah cukup umur dan siap untuk menikah tidak serta merta dilaksanakan secara langsung tetapi biasanya konsultasi (meminta petunjuk) kepada orang yang dianggap pintar oleh masyarakat, tak terkecuali itu dukun atau kyai. Biasanya orang tua akan menanyakan bagaimana kalau misal anaknya mau menikah dengan wanita A, hitungan wetonnya gimana, harinya apa, baik atau tidak dan lain sebagainya.
Nasib seseorang yang dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa adalah seperti keburuntungan, kesehatan, sifat khusus, pekerjaan/karier, rezeki, jodoh, hobi, serta warna dan bunga yang digemari. Bahkan keadaan fisik, masa kanak-kanak, masa remaja, ciri khas yang mencolok, dan hal yang lainnya juga dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa. Karena itulah istilah “weton” atau hari lahir yang dimiliki setiap orang. Berdasarkan weton inilah Orang Jawa akan meramal atau mengetahui bagaimana nasib atau sifat dari seseorang atau anak-anak mereka.
Itulah reaksi yang umum diketahui ketika berbicara tentang astronomi. Saat mendengar kata astronomi, orang akan langsung mengasosiakannya dengan astrologi, karena astronomi masih kurang dikenal dan dipahami masyarakat. Bagi masyarakat, astronomi itu ilmu yang mengawang-awang. Padahal tanpa disadari perjalanan kehidupan manusia tak lepas dari ilmu klasik ini. Keberadaan astronomi setua dengan peradaban manusia bahkan lebih dari itu, alam semesta ada sebelum adanya manusia.
Penggunaan secara praktis juga tercerminkan dari para nelayan yang memanfaatkan rasi bintang sebagai arah mata angin, mencari ikan di lautan, melihat pasang surut air laut, serta penanda waktu bercocok tanam. Bagi pelaut, bintang polaris dan rasi bintang Crux merupakan petunjuk navigasi arah utara dan selatan.
Seperti halnya Masyarakat Bajo yang sebagian besar mata pencahariannya sebagai nelayan menggunakan rasi bintang menjadi budaya astronomi suku di Indonesia, tentunya tidak bisa lepas dari peranan benda-benda langit sebagai tolak ukur batas kemampuan akal dalam menjangkau dan melihat realitas-realitas alam yang ada dan apa yang akan terjadi berikutnya. Seperti umat muslim yang memanfaatkan keberadaan hilal untuk menghitung awal hari puasa, menentukan kiblat, waktu sholat dll.
Matahari, bulan dan bintang, merupakan pedoman bercocok tanam. Orang Dayak sering diidentikkan dengan suku yang terbelakang, penuh dengan kehidupan mistis, hidup mengembara dan berburu, namun jangan lupa bahwa orang Dayak justru sangat maju dalam metode pertaniannya. Orang Dayak memanfaatkan benda-benda astronomi seperti matahari, bulan dan bintang sebagai pedoman dalam bercocok tanaman. Secara turun temurun ilmu membaca benda-benda astronomi itu didapatkan dari para tetua dan leluhur mereka.
Benda-benda astronomi itu menjadi pedoman kapan mulai membersihkan lahan, membabat sisa-sisa tumbuhan dan semak belukar, kapan mulai menugal[1] dan waktu yang cocok untuk menanam benih padi, sampai padi siap dipanen. Seperti Bulan Juli dan Agustus adalah waktu untuk membersihkan lahan dari tumbuhan berkayu dan semak belukar, bertepatan dengan musim kemarau. Pada akhir September ketika puncak musim kemarau, dilakukan pembakaran tumbuhan dan semak belukar, kadar air tumbuhan yang telah ditebang berada pada titik terendah, karena itu lebih mudah dibakar.
Pada bulan September tanggal 23, matahari tepat berada pada garis khatulistiwa, nol derajat Lintang Selatan. Bulan Oktober ketika matahari mulai bergeser ke arah selatan menjauh dari garis khatulistiwa, pertanda harus mulai menugal, yaitu membuat lubang tanam benih padi menggunakan tongkat kayu yang ujungnya runcing. Menugal dilakukan secara gotong royong, sistem komunal yang masih lekat pada adat istiadat Dayak. Menugal dan menanam padi berlangsung hingga bulan November. Waktu menugal harus melihat posisi munculnya bola kuning Sang Mentari di pagi hari yaitu sekitar sepuluh derajat Lintang Selatan.
Pada posisi itu, matahari memberi tanda bahwa penanaman padi harus segera dimulai. Dan posisi matahari itu sesungguhnya tidak sulit dibaca oleh orang Dayak, karena mereka menggunakan pedoman puncak-puncak gunung tertentu di lingkungan mereka di mana matahari muncul, dan ini dibaca dan diwariskan secara turun temurun. Selain matahari, posisi bintang juga menjadi pedoman kapan mulai menanam.
Ada tiga jenis bintang yang dipakai sebagai pedoman, yaitu Bintang Karantika, Bintang Baurbilah, dan Bintang Rambai. Bintang Karantika dikenal juga dengan nama bintang tujuh karena jumlahnya tujuh buah. Bintang Baurbilah adalah bintang yang jumlahnya tiga dengan posisi selalu membentuk garis lurus. Sedangkan Bintang Rambai selalu membentuk gugusan dan berkelompok.
Ketika muncul di langit, posisi bintang-bintang itu dapat dibaca dengan baik oleh orang Dayak, misalnya waktu menanam yang baik adalah ketika bintang-bintang itu berada pada posisi kurang lebih sekitar pukul 9 di ufuk Timur. Apabila lebih dari itu, misalnya posisi Bintang Karantika berada tepat di atas kepala (pukul 12), maka sudah terlambat untuk memulai penanaman padi, dan kemungkinan gagal karena padi akan terserang hama, demikian kepercayaan mereka.
Selain matahari dan bintang, bulan pun menjadi petunjuk bercocok tanam. Posisi bulan yang dipakai adalah ketika penanggalan bulan menunjukkan tanggal 3-14, yaitu ketika bulan lambat laun naik dan berubah dari bulan sabit ke bulan purnama. Periode tanggal yang naik dipilih karena waktu itu adalah waktu naiknya rejeki, dan rasa optimisme yang tinggi akan keberhasilan panenan, demikian kepercayaan mereka.
Sebaliknya, ketika bentuk bulan berubah dari bulan purnama ke bulan sabit, ketika penanggalan bulan semakin tua, maka periode itu tidak dipakai untuk menanam, karena dianggap rejeki akan berkurang sejalan dengan semakin tuanya penanggalan bulan di langit.
Berbicara mengenai astronomi, terlepas dari semakin merebaknya kecanggihan teknologi dan informasi, masyarakat Indonesia tidak akan akan lepas dari pengaruh dan intervensi peranan astronomi dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih masyarakat yang belum begitu terjamah dengan peradaban teknologi dan pengetahuan. misalnya, wilayah pesisir yang kesehariannya dihabiskan dengan mencari nafkah di perairan, mau tidak mau juga mengandalkan panduan astronomi dalam melihat iklim, arah angin, intensitas ikan melalui rasi bintang.
[1] Menugal merupakan tradisi menanam padi tahunan masyarakat adat Kalimantan. Menugal berasal dari kata tugal. Ini berarti membuat lubang di lahan kering untuk menumbuhkan bibit tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan setahun sekali. Sumber: https://id.wiktionary.org/wiki/menugal
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Terima kasih informasinya. Kunjungi juga Aplikasi Oline Weton Jodoh Jawa Lengkap.