Secara umum, sarjana, peneliti dan mahasiswa sosiologi sangat akrab “strukturalisme konstruktivis” asal Prancis dengan nama Pierre Bourdiue, dan dia terkenal dengan konsep “kebiasaan”. Bourdieu sendiri berpendapat bahwa sosiologi seharusnya tidak hanya mempelajari kehidupan sosial melalui konsep struktur sosial, tetapi yang terpenting adalah memperhatikan perilaku sosial individu dan makna intersubjektivitas.
Dalam buku Pierre Bourdieu; menyingkap kuasa simbol, penulis mencoba mengeksplorasi lebih jauh sistem simbol ketika mengkonstruksi realitas. Buku ini juga berupaya untuk memberikan penjelasan dan pemahaman tentang kekuatan simbolik berdasarkan pemikiran Pierre Bourdieu. Pengantar dalam struktur buku ini mirip dengan proses dialog antara penulis dan Bourdieu, yang dapat dipahami secara luas dari latar belakang budaya, lintasan sejarah dan lingkungan sekitarnya. Tidak mudah untuk memahami bagaimana pemikiran Bourdieu dapat bergerak dalam kajian pemikiran yang begitu luas dalam mengkaji setiap realitas.
Dalam teks yang ditulis dalam buku ini, Bourdieu membuktikan bahwa selera manusia tidak netral, tetapi selalu terkait dengan citra sosial tertentu. Ini termasuk penggunaan bahasa yang diturunkan dari satu kelas atau kelompok sosial satu ke yang lain. Termasuk asumsi kekuasaan yang beroperasi lebih hegemonik membuat semakin efektif bahasa diteruskan ke yang lemah. Bahasa terkait dengan arena perebutan kekuasaan. Itu bisa digunakan sebagai alat kekuatan, dan juga bisa mempertahankan kekuatan. Kekuatan, seperti kekuatan simbolik, tidak terlihat dan hanya dapat dikenali dengan mengidentifikasinya dari tujuannya untuk memperoleh pengakuan..
Buku ini dibagi menjadi lima bab, terutama menjelaskan pertama, hubungan antara kekuasaan dan kekerasan dalam simbolisme. Kedua, lintasan kehidupan dan proyek pemikiran. Ketiga, bahasa, perebutan kekuasaan, dan kekerasan simbolik. Keempat, wacana tentang neoliberalisme, dan kelima, komentar kritis Bourdieu tentang praktik pemerintahan dalam sistem semiotik. Secara keseluruhan, adalah kondisi pikiran yang sangat besar yang mengeksplorasi kuasa simbol dan mengkonstruksi kekuatan realitas.
Secara keseluruhan, penelitian Bourdieu masih berfokus pada konsep seperti habitus, capital, field dan metode interpretasi simbolik, namun yang menarik dari buku ini adalah “bahasa” digunakan dalam ranah pertarungan. Dari perspektif penulis dilihat dari sudut pandang simbolis, yang dihubungkan dengan isu kekuasaan. Simbol ini selanjutnya akan menjadi indeks kekuatan untuk kategori mendominasi dan didominasi. Tak heran, banyak kajian dalam buku ini yang diyakini berkaitan dengan keadaan bangsa Indonesia.
Tak mudah menganalisis nuansa meta-teori Bourdi, pembaca dituntut memiliki penalaran yang konstruktif dalam memahami realitas, itulah ciri khas Bourdieu. Baginya, teks itu harus berupa aksi dan tidak bisa memisahkan teori dan praktik ke dalam bidang yang berbeda, seperti kritiknya terhadap para pengagum Hegel agar dalam pemikirannya “memberikan kaki” sebagai simbol pemikiran harus berdiri di atas realitas. Sebuah teori tidak hanya dapat menjelaskan, tetapi juga mengubah tatanan sosial dan ekonomi yang tidak adil.
Banyak kemudahan dalam memahami dan menyampaikan isi buku kepada pembaca, misalnya kita dapat dengan mudah memahami cara berpikir Bourdier, dan cara berpikir ini yang masih terjebak pada konsep kekuasaan, penguasaan, dan yang dikuasai. Cara berpikir yang sederhana ini terkadang membuat pembaca yang mahir dalam struktur pemikiran Bourdieu cenderung lebih memilih ilustrasi penulisan daripada konsep yang diberikan Bourdieu dalam buku ini, karena tidak lagi dianggap sesuatu yang terbarukan lagi.
Penulis meyakini bahwa struktur pembahasan berusaha dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia yang sangat menarik bagi pembaca pemula, namun bagi yang memiliki struktur pemikiran sendiri akan kembali menanyakan tentang penentuan peran simbol terhadap aktor. Situasi selalu menjadi kelemahan Bourdieu, dan kelemahan ini semakin jauh meninggalkan subjektifitas.
Di akhir tulisannya, Bourdieu sendiri dikritik karena menggunakan kekerasan simbolik dalam kebiasaan dan gagasannya. Ide yang dia ciptakan dianggap sebagai kekerasan simbolik yang dia jalani. Bourdieu diyakini menampilkan idenya sebagai simbol, dan akhirnya menyadarkan masyarakat bahwa ide yang ia hasilkan adalah sah.
Di akhir penulisan, Bourdieu sendiri dikritik telah menggunakan kekerasan simbolik dalam gagasan-gagasannya, seperti habitus dan field. Ide-ide yang ia ciptakan dianggap sebagai praktik kekerasan simbolik yang sedang dijalaninya. Bourdieu dinilai sedang mempresentasikan gagasannya ke dalam simbol yang ujungnya untuk memperoleh pengakuan bahwa gagasan yang ia produksi sebagai sesuatu legitim.
Terakhir, sebagai pembaca, kita akan menentukan sendiri di mana letak poin-poin kunci dari buku ini. Kita bisa melihat rangkaian perbandingan ide dan fenomena sebagai sebuah alur cerita. Kita akan menanyakan pertanyaan “Apakah kita benar-benar terjebak oleh kekuatan simbol?” seperti yang disampaikan oleh penulis?