Membongkar Pemikiran Epistemologi Dari Friedrich Nietzsche5 min read

Filsafat merupakan sebuah kata yang terdengar sedikit mengerikan bagi sebagian orang. pernyatan itu bukanlah menggeneralisir, namun bersifat particular untuk kalangan-kalangan tertentu. Tak jarang filsafat selalu mendapat stigma buruk dikalangan masyarakat mulai dari menyesatkan, menggoyangkan akidah, menggiring orang untuk jadi atheis dan lain sebagainya. Stigma-stigma negatif itu dipicu oleh berbagai pernyataan para filsuf terdahulu yang memang mengundang kontroversi. Mulai dari pernyataannya Rene Descartes bahwa “jika ingin mencari kebenaran maka kita harus meragukan semua hal”.

Dalam penafsiran pribadi saya menganggap semua hal itu termasuk tuhan. Jika tidak ditafsirkan lebih lanjut hal ini tentu memicu kebingungan para pembaca dan  bertanya-tanya lebih dalam. Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan pernyataannya Descartes terlalu jauh. Jika ingin mencari tafsirnya silahkan lakukan pencaharian mandiri dari buku maupun situs-situs web yang sudah tersedia.

Kemudian di abad ke-19 kita akan ditemukan dengan seorang filsuf masyhur yang namanya begitu dikenal hingga saat ini, Yaitu Friedrich Nietzsche. Dengan pernyataan yang begitu menggegelar. “Tuhan Telah mati” dalam bukunya yang berjudul The Gay Science. Tentu saja Nietzsche sangat sadar bahwa dirinya telah melemparkan bom Molotov kepada kaum agamawan eropa saat itu. Selain membuat gempar, dirinya juga telah membuat pusing mahasiswa filsafat secara berjamaah dari abag ke-19 hingga hari ini.

Selain terkenal dengan pernyataan kontroversialnya Nietzsche juga dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung di bagain etika dan moralitas. yang menjadi pernyataan adalah mungkinkah Friedrich Nietzsche memiliki pemikiran epistimologi? Dalam hal ini saya mencoba membongkar pemikiran epistimologi dari Friedrich Nietzsche dengan referensi dari buku yang berjudul Epistimologi Kiri yang ditulis oelh Listiyono santoso bersama dengan teman-temannya. Berikut beberapa penjabaran yang bisa saya uraikan berdasarkan refesensi dari buku tersebut.

Menolak Kemapanan Akal,

Tak bisa terelakkan bahwa berfilsafat dan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang melibatkan akal pikir. Dalam hal ini tentu saja akal pikir digunakan untuk mencari kebenaran. Manusia sering sekali menempatkan akal sebagai aspek paling penting dan menempati prioritas pertama daripada bagian tubuh yang lain. Manusia adalah binatang yang berfikir, perkataan Aristoteles itu pada akhirnya di adopsi oleh Islam dalam ilmu mantiq. Julukan itu lah yang disandang oleh manusia sehingga manusia mendonimasi dari makhluk-mahkluk hidup yang lain. namun, pemujaan terhadap akal membuat pemahaman manusia tidak utuh. Hal inilah yang dikritik oleh Nietzsche.

Descartes dan Immanuel Kant adalah dua filsuf yang sagat masyur pada zamannya. Mereka berdua memberikan upaya mendapatkan formulasi yang tepat dan kemampuan akal untuk mendapatkan kebenaran. Descartes yang mengeluarkan argument seperti diawal tulisan ini yaitu menggambarkan keragu-raguan yang pada akhirnya sampai pada kepastian “aku berikir maka aku ada” yang menempatkan manusia dengan kegiatan berfikirnya sebagai pusat kegiatan pengetahuan. Descartes juga berpendapat bahwa subyek yang diakui adalah ruh yang berfikir. berbeda dengan Nietzsche, subyek ialah subyek yang bertubuh. Subyek mempunyai kekuasaan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang palsu.

Menurut Nietzsche sebenarnya berfikir itu tidaklah pernah terjadi, ia hanya fiksi arbiter, muncul dengan menyeleksi suatu unsur denngan mengeliminasi semua yag tak berguna. Seperti argument Nietzsche yang bertentangan dengan Descartes bahwa subyek adalah yang bertubuh, berarti dalam mencari pengetahuan peran indra sangatlah penting. Tak hanya sebagai penangkap obyek, indra juga akan bekerja pada proses-proses selanjutnya. Dalam hal ini sepertinya Nietzsche memang benar-benar menempatkan logos pada tempat yang bukan prioritas.

Muncul pertanyaan “ apakah yang tampak logis itu pasti benar adanya?” bagi Nietzsche akal tidak mampu membuktikan apakah hal itu benar atau salah. Dari kenyataan seperti ini maka terlalu naïf jika akal mampu memperoleh kebenaran. Ia sangat menentang apabila kebenaran hukum, dan teori dianggap sebagai dogma. Pada dasarnya pandangan epistimolog dari Nietzsche sangat menentang kemapanan akal. Selain bersebrangan dengan Descartes, Nietzsche juga mengkritik pandangan Immanuel kant yang menengahi akal dan indra.

Masalah kebenaran

Dalam masalah kebenaran ini, tentu kita sangat sulit menempatkan posisi Nietzsche dalam rumitnya berbagai aliran epistimologi. Disini tampak sekali nafas skeptisme dan realisme. Namun pendapat Nietzsche tentu lebih dalam dari itu. Bagi para epistemolog, secara umum epistimologi adalah sesuatu yang mungkin atau harus bersifat absolut. Suatu pemikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat kembali ke berbagai jaminan akan anggapan umum, tetapi justru semakin mendesak maju ketingkatan yang baru.

Kepastian yang dicapai saat ini berasal dari keragu-raguan. Maka untuk mengatasi itu epistomoolgi lah obatnya yang bersifat mutlak tentunya. Namun hal ini Nietzsche kembali mengkritik bahwasanya hal-hal semacam itu hanyalah bisa didapatkan lewat mimpi. Sedangkan, pandangan skeptisme keberatan dalam melaksanakan epistimologi yang dianggap telah mengusulkan tujuan khayal bagi dirinya sendiri. Bila validitas pengetahuan didemonstrasikan, pada dasarnya validitas ini hanya diandaikan belaka.

Penafsiran

Setelah membaca uraian sebelumnya, kita tentu akan bertanya-tanya mengapa Nietzsche tidak percaya dengan fakta kebenaran? Ternyata Nietzsche punya pandangan yang bersebrangan dengan auguste comte. Menurut Nietzsche, manusia tidak bisa menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menagkap objek itu hanyalah sebuah Penafsiran. Fakta kebenaran pada diri itu sebenarnya tidak ada. Yang ada hanya interpretasi dan persfektif yang bersifat subyektif tentunya. Saya sangan setuju dengan pandangan Nietzsche ini bahwa pada dasarnya kebenaran itu berasal dari keyakinan. Namun, keyakinan miliyaran orang di muka bumi ini tentu sangat variatif sehingga tidak ada yang namanya kebenaran absolut.

Tak terbantahkan lagi bahwa dalam Penafsiran setiap subyek memiliki pandangan dan persfekti yang berbeda-beda.. demikian juga masalah kebenaran. Bisa saja orang menganggap apa yang ia yakini atau bagaimana pendapatnya adalah sebuah kebenaran namun, bisa jadi menjadi keliru bagi orang lain. bagi Nietzsche kebenaran dan kekeliruan itu bukanlah hal yang berbeda secara signifikan. Kesimpulannya cara mendapat pengetahuan bagi Nietzsche tidaklah bersfat mutlak. Anda bisa saja mendapat sesuatu yang keliru dan begitu sebaliknya. Ini hanya soal keyakinan.

Demikian lah kira-kira uraian tentang membongkar pemikiran epistimologi dari Nietzsche. Kritikan Nietzsche terhadap pandangan-pandangan filsuf lain bukanlah serta merta menjadikan pandangan itu tidak lagi kridibel. Sebab pernyataan Nietzsche sendiri bukanlah sesuatu yang bersifat absolut. Satu-satunya hal yang absolut adalah tidak ada yang absolut. Yang jelas anggap saja semua yang berbeda dengan keyakinan kita adalah sebuah kemajemukan bukan malah menilai dari benar dan salah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like