Lenin dan Agama3 min read

Kita melihat bahwa sejak Engels dan Lenin dasar pandangan dunia proletariat adalah materialisme. Dengan demikian, “sosialisme ilmiah” versi Lenin tidak mempunyai tempat bagi agama. Materialisme berarti kepercayaan bahwa semula hanya ada materi dan apa saja yang ada berkembang dari materi. Padahal Allah memang tidak bermateri dan bahkan oleh kaum beriman diyakini menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk seluruh materi. Suatu pandangan yang berpendapat bahwa segala apa yang ada berasal dari materi dengan sendirinya menyangkal Allah dan penciptaan. Materialisme selalu mengandung ateisme. Dan kalau tidak ada Allah, tidak ada dasar bagi agama. Lenin menulis: “Proletariat modern mengaku menganut sosialisme yang mengabdikan ilmu pengetahuan demi perjuangan melawan kabut keagamaan dan membebaskan buruh dari imannya akan hidup di alam baka dengan mempersatukan mereka dalam perjuangan di hidup ini demi kehidupan lebih baik di dunia” [Lenin 1956, 7].

Dalam praktik politik, Lenin selalu bersikap pragmatis. Juga dalam hal agama. Dalam sebuah karangan dari tahun 1905 tentang “Sosialisme dan Agama” [Lenin 1956, 6–11], Lenin menjelaskan posisinya. Merebut hati buruh lebih penting daripada menyebarkan ateisme. Oleh karena itu, orang yang bukan ateis pun boleh masuk partai komunis. Partai harus memperhatikan prasangka-prasangka religius kaum buruh, jangan sampai mereka terasing dari partai karena sikap partai yang anti-agama. Dalam arti ini Lenin menyatakan mengakui kebebasan beragama. Akan tetapi, propaganda komunis niscaya juga memuat propaganda ateis.

Namun, mengenai prinsip ateisme, Lenin tidak mengenal kompromi. “Bagi partai proletariat sosialis, agama bukan urusan pribadi. Partai kita merupakan serikat pejuang demi pembebasan kelas buruh yang sadar akan kedudukan kelas mereka dan progresif. Serikat semacam itu tidak dapat dan tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap ketidaktercerahkanan, ketidaktahuan dan kebodohan dalam bentuk kepercayaan religius” [Lenin 1950; 9]. Dalam negara yang dikuasai oleh partai komunis, agama tidak boleh berperan sama sekali. Dalam kenyataan, Gereja Ortodoks Rusia sesudah Revolusi Oktober segera diserang. Hak milik Gereja dan sekolah-sekolahnya diambil alih. Gereja dila- rang untuk melakukan kegiatan apa pun di luar gedung gereja; tidak boleh menerbitkan buku dan majalah;, pelajaran agama dilarang dan tempat pendidikan calon pastor ditutup. Kebanyakan biara di wilayah Uni Soviet ditutup. Ribuan pastor, biarawan dan biarawati dibunuh [Bochenski/Niemeyer 1958 , 543[1]]

Lenin sendiri sudah tidak beragama sejak muda. Baginya ateisme begitu biasa sehingga tak pernah dianggap perlu dibuktikan. Berbeda dengan Karl Marx yang juga seorang ateis, tetapi bersikap dingin terhadap agama karena sekunder, Lenin rupa-rupanya secara pribadi benci terhadap agama. Kritik agama Lenin tajam: “Agama adalah candu bagi rakyat. Agama adalah semacam wiski rohani murahan, di dalam- nya para budak modal menenggelamkan muka manusianya, hak mereka atas hidup yang masih pantas bagi manusia” [Lenin 1956, 7]. Yang menarik dalam kutipan ini adalah bahwa Lenin menggantikan istilah Marx “agama candu rakyat” dengan “agama candu bagi rakyat”. Bagi Marx agama berfungsi sebagai hiburan dalam situasi buruk, sedangkan menurut Lenin agama menganggapnya masalah menjadi sarana yang dengan sengaja dipakai oleh kelas-kelas berkuasa untuk menipu kelas-kelas bawah. Agama dianggap sebagai sarana kekuasaan.

“Marxisme menganggap semua agama dan gereja dewasa ini, segala dan segenap organisasi religius selalu sebagai alat reaksi borjuis yang dipakai untuk melindungi eksploitasi dan mengelabuhi kelas buruh” [Lenin 1956, 20]. Dan kepada penyair komunis Maxim Gorkij yang bergabung dengan sebuah kelompok agama bebas, Lenin menulis: “Justru karena segenap gagasan religius, segenap paham tentang Allah terlalu amat memuakkan, padahal gagasan itu diterima oleh borjuasi demokratis dengan amat toleran … justru karena itu agama merupakan barang memuakkan yang paling berbahaya, wabah yang paling menjijikkan. [Lenin 1956, 45}. Sejak Lenin, kebencian terhadap agama menjadi ciri khas semua rezim komunis di kemudian hari.


[1] Selain di pelbagai tempat dalam Courtois 1998 uraian sistematik tentang kebijakan komunisme terhadap agama terdapat dalam: Joseph M. Bochenski dan Gerhart Niemeyer (peny.) 1958 dalam Handbuch des Weltkommumismus, Freiburg/München 1958, hlm. 517-568.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like