Friedrich Nietzsche kerap menyebut dirinya sebagai “penulis pascakematian”—seseorang yang karyanya hanya akan dimengerti oleh generasi yang belum lahir. Julukan ini bukan sekadar provokasi retoris, tetapi mencerminkan kesadaran radikal Nietzsche atas ketaktertimaan pemikirannya. Dalam karya-karyanya, terutama Unzeitgemässe Betrachtungen atau yang umum diterjemahkan sebagai Untimely Meditations, Nietzsche menantang arus pemikiran zamannya dan membayangkan audiens yang belum eksis: manusia yang cukup kuat untuk menghadap hidup sebagaimana adanya.

Gagasan tentang “ketaktertimaan” bukan berarti ketinggalan zaman atau usang, melainkan justru melampaui zamannya. Nietzsche menggunakan istilah ini untuk menandai bahwa pemikiran sejati hampir selalu tidak sinkron dengan tren dominan. Ia merasa bahwa masyarakat modern telah tenggelam dalam nihilisme halus—menyembah sains, sejarah, dan moralitas konvensional tanpa lagi mempertanyakan nilai dari semua nilai itu sendiri.
Kita hidup dalam dunia yang menuntut kehadiran instan, di mana nilai sebuah ide diukur berdasarkan jumlah klik atau viralitasnya. Dalam konteks ini, Nietzsche tetap relevan justru karena ia tidak pernah menulis untuk masa kini. Ia menulis untuk masa depan, untuk manusia yang mau menanggung penderitaan sebagai bagian dari penciptaan makna hidup. Sejak awal, Nietzsche telah sadar bahwa pemikir besar tidak menyesuaikan diri dengan waktu, tetapi justru mengguncangnya.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri lebih dalam mengapa Nietzsche menyebut meditasinya “tidak tepat waktu,” bagaimana ia mengkritik masyarakat modern melalui kilasan sejarah dan tokoh-tokoh budaya, serta mengapa ia tetap menjadi penulis yang “terlalu dini dipahami.” Di akhir, kita akan melihat bahwa “ketaktertimaan” adalah kode Nietzsche untuk “keaslian radikal.”

Untimely Meditations terdiri atas empat esai yang ditulis antara 1873 hingga 1876, yaitu: tentang David Strauss, sejarah, Schopenhauer, dan Richard Wagner. Esai-esai ini tidak bersatu dalam tema eksplisit, tetapi terhubung oleh satu benang merah: penolakan terhadap semangat zaman (Zeitgeist) yang dangkal dan membusuk dari dalam. Nietzsche menyasar kaum intelektual Jerman, sejarahwan, pemusik, dan filsuf yang, menurutnya, bersekongkol menciptakan budaya dekaden yang mengabaikan hidup sejati.
Dalam bahasa Jerman, “Unzeitgemäss” berarti tidak cocok dengan zamannya, tidak modis, atau melawan arus. Nietzsche tidak bermaksud mengatakan bahwa gagasannya sudah usang, melainkan bahwa gagasan tersebut belum waktunya diterima. Bahkan, ia menganggap bahwa menjadi modis adalah kutukan: sesuatu yang modis pasti telah kehilangan kekuatan dasarnya karena terlalu banyak dipuja tanpa pemahaman.
Esai-esai ini tidak ditulis untuk memuaskan keingintahuan akademik. Mereka adalah provokasi terhadap kebudayaan, pendidikan, bahkan sejarah itu sendiri. Dalam salah satu esainya yang paling terkenal, “On the Use and Abuse of History for Life,” Nietzsche mengkritik penggunaan sejarah sebagai alat pembenaran dan pelarian, bukan sebagai kekuatan untuk hidup. Baginya, sejarah yang baik bukan yang akurat, tetapi yang menyembuhkan dan memperkuat keberadaan manusia yang sedang hidup1.
Lebih lanjut, dalam esai tentang Schopenhauer, Nietzsche justru menggunakan tokoh tersebut sebagai cermin untuk mengembangkan gagasan tentang pendidikan sebagai pembebasan, bukan sebagai pelatihan menuju kepatuhan. Dan ketika menulis tentang Wagner, ia berbicara bukan hanya soal musik, tetapi tentang kehilangan idealisme dan pengkhianatan terhadap nilai tragis kehidupan yang sejati.
Keempat esai ini, meski tampaknya tak terhubung secara tematik, adalah permulaan dari proyek besar Nietzsche: merevaluasi semua nilai dan menumbangkan pilar-pilar peradaban modern yang dianggap palsu.

Nietzsche sangat kritis terhadap kecenderungan modernitas yang ia anggap terlalu lunak, terlalu berkompromi, dan kehilangan kapasitas tragis. Di matanya, masyarakat modern adalah masyarakat yang sudah tidak sanggup menanggung penderitaan sebagai bagian dari kehidupan. Alih-alih menghadapi hidup sebagaimana adanya, mereka menciptakan sistem nilai palsu untuk menghindari kenyataan pahit eksistensi.
Menurut Nietzsche, modernitas bukanlah kemajuan, melainkan pelemahan. Ia melihat dalam semangat zaman sebuah upaya sistematis untuk menjinakkan insting manusia: menggantikan keberanian dengan moralitas, menggantikan pencarian makna dengan kenyamanan, dan menggantikan keberanian berpikir dengan kepatuhan terhadap otoritas ilmiah dan agama.
Nietzsche bukanlah seorang anti-intelektual, tetapi ia mencurigai kecenderungan intelektual modern yang hanya mengulang dogma baru dalam bentuk berbeda. Ia menuduh para cendekiawan hidup dalam menara gading, membangun teori tanpa keberanian eksistensial. Baginya, filsafat sejati bukanlah soal argumen yang rapi, melainkan tentang bagaimana seseorang menjalani hidupnya.
Dalam kritiknya terhadap sejarah, ia membedakan tiga jenis pendekatan: monumental, antiquarian, dan kritis. Ketiganya, jika tidak digunakan dengan hati-hati, dapat menjadi racun yang melumpuhkan. Sejarah monumental menyembah masa lalu, sejarah antiquarian mengoleksi masa lalu, dan sejarah kritis hanya menghakimi masa lalu. Nietzsche bertanya: bagaimana jika sejarah justru membunuh semangat hidup masa kini?
Esai-esai dalam Untimely Meditations merupakan seruan untuk hidup yang lebih berani—hidup yang tidak takut menanggung penderitaan, hidup yang melampaui masa kini, hidup yang tragis namun otentik. Dalam pengertian ini, Nietzsche melihat dirinya bukan sebagai pengingat masa lalu, tetapi sebagai panggilan menuju masa depan.

Salah satu kutipan Nietzsche yang paling sering dikutip berbunyi, “Beberapa orang dilahirkan pascakematian.” Dalam pengantar The Antichrist, Nietzsche menyatakan bahwa buku itu “mungkin hanya bisa dimengerti oleh mereka yang belum lahir.” Hal ini menggambarkan seberapa besar jarak antara gagasannya dan dunia tempat ia hidup.
Nietzsche tidak merasa gagal dipahami karena kurang menjelaskan, tetapi karena dunia belum cukup siap untuk mengerti. Ia menulis untuk mereka yang akan datang, untuk manusia pascamoralitas, manusia yang tak lagi dikekang oleh nilai-nilai buatan tetapi sanggup menciptakan nilai mereka sendiri. Dalam pengertian ini, ia adalah nabi tanpa jemaat, pemusik tanpa panggung, guru yang murid-muridnya belum lahir.
Dalam Ecce Homo, otobiografi yang ditulis menjelang kehancuran mentalnya, Nietzsche berbicara tentang dirinya dengan nada mesianis: ia adalah dinamite, ia adalah takdir. Namun nada itu bukan kesombongan, melainkan semacam kesedihan tragis. Ia tahu bahwa ide-idenya akan disalahpahami, dikutip tanpa kedalaman, dijadikan ikon tanpa penderitaan.
Sikap Nietzsche ini mencerminkan kesadaran unik tentang waktu: bahwa pengaruh ide tidak selalu bersifat linier. Pemikiran besar membutuhkan waktu untuk tumbuh dan menemukan tanah subur. Dan seringkali, tanah itu bukanlah generasi sekarang, melainkan yang akan datang. Maka tak heran jika karya Nietzsche baru menemukan gema kuat di abad ke-20, lama setelah ia meninggal dalam kesepian.

Mengapa Nietzsche menyebut tulisannya “tidak tepat waktu”? Karena ia menolak menjadi cermin dari dunia. Ia tidak ingin menyenangkan, apalagi memuaskan audiens yang ada. Sebaliknya, ia ingin mengguncang, menyulut, dan menghancurkan kenyamanan berpikir. Ia tahu bahwa gagasan yang betul-betul baru tidak akan langsung diterima, sebab kebaruan sejati selalu melawan norma.
Dalam zaman di mana filsafat telah menjadi pengulangan kutipan dan pengetahuan menjadi komoditas, Nietzsche menyerukan filsafat yang kembali pada pengalaman, pada tubuh, pada penderitaan. Ia tidak menulis demi menambahkan bab dalam sejarah pemikiran, tetapi untuk menyela dan mendestabilisasi seluruh tradisi itu.
Bagi Nietzsche, menjadi filsuf berarti menjadi penemu nilai baru, bukan sekadar pengkritik nilai lama. Ketaktertimaan adalah harga yang harus dibayar atas keaslian. Maka tidak aneh jika ia menyebut tulisan-tulisannya sebagai “meditasi,” bukan sistem atau argumen. Ia ingin mengganggu, mengusik batin pembaca, bukan menuntunnya pada kesimpulan final.
Ketaktertimaan Nietzsche adalah misi, bukan keluhan. Ia tahu bahwa perubahan radikal tidak lahir dari persetujuan, melainkan dari pergolakan. Dalam dunia yang menyanjung konsensus dan keramahtamahan intelektual, Nietzsche berdiri sebagai simbol dari pemikiran yang berani sendiri.
Hari ini, ketika dunia kembali dihadapkan pada krisis makna, banjir informasi, dan kehilangan arah moral, Nietzsche kembali relevan. Bukan karena ia memberikan jawaban, tetapi karena ia memaksa kita untuk bertanya lebih dalam. Untimely Meditations adalah cermin yang menantang kita: Apakah kita hidup dengan penuh, atau hanya mengikuti arus sejarah yang tidak kita mengerti?
Nietzsche tidak pernah meminta kita menjadi seperti dirinya. Ia hanya berharap ada manusia yang cukup kuat untuk menjadi dirinya sendiri. Dan mungkin, sebagaimana ia katakan, manusia itu belum lahir. Atau barangkali, justru kitalah yang ia tunggu sejak dulu.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.