Al-Ghazali vs Ibn Rushd dalam Duel Intelektual Sepanjang Zaman

Sebelum menyelami isi karya monumental Ibn Rushd berjudul Tahafut at-Tahafut (Kekacauan atas Kekacauan), penting untuk memahami konteks lahirnya buku ini. Karya tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan respons langsung terhadap kritik pedas yang dilontarkan oleh Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), sebuah teks yang ditujukan untuk menggugat pemikiran para filsuf besar Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.

Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengulas dua puluh poin penting yang ia anggap menyimpang dari ajaran Islam. Ia memaparkan argumen para filsuf dengan cukup sistematis, kemudian membantahnya satu per satu dengan dalil-dalil teologis. Al-Ghazali percaya bahwa beberapa pandangan filsuf bertentangan dengan prinsip-prinsip utama Islam dan oleh karena itu harus dikritik secara terbuka dan logis.

Muncul sebagai penantang pemikiran ini, Ibn Rushd—yang lahir pada tahun 1126 di Cordova, Andalusia—menulis Tahafut at-Tahafut. Karya ini bukan sekadar pembelaan terhadap filsafat, melainkan juga bentuk pembelaan terhadap akal dan logika dalam memahami agama. Berbeda dengan Al-Ghazali yang melihat filsafat berbahaya bagi iman, Ibn Rushd justru berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi mendasar antara filsafat dan wahyu.

Dari dua puluh isu yang dibahas oleh Al-Ghazali, terdapat tiga yang dianggap sebagai bentuk kekufuran oleh beliau: keyakinan bahwa alam bersifat kekal, bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular, dan bahwa tidak ada kebangkitan jasmani setelah kematian. Dalam tulisan ini, kita akan menelaah tiga poin tersebut secara khusus, merujuk pada dialog tak langsung antara dua tokoh besar ini.

Akal, Waktu, dan Kehendak Ilahi

Isu tentang kekekalan alam semesta berakar dari pemikiran Aristoteles. Filsuf-filsuf Islam seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd meyakini bahwa alam memiliki sebab, namun tidak diciptakan dalam waktu tertentu. Menurut mereka, alam dan Tuhan eksis secara bersamaan—seperti hubungan matahari dan cahaya yang tidak dapat dipisahkan oleh waktu. Artinya, alam tidak mendahului Tuhan, tapi juga tidak muncul setelah-Nya dalam pengertian waktu.

Sebaliknya, Al-Ghazali berpendapat bahwa alam diciptakan dalam waktu, sebagai sesuatu yang muncul setelah sebelumnya tidak ada. Tuhan, dalam pandangan teologis ini, adalah satu-satunya entitas yang bersifat azali (tidak bermula), dan alam adalah ciptaan baru yang dimunculkan oleh kehendak-Nya yang kekal. Jadi, sempat ada masa ketika hanya Tuhan yang eksis dan belum ada ciptaan apa pun.

Ibn Rushd membantah gagasan kehendak abadi yang menyebabkan penciptaan sesuatu dalam waktu tertentu. Baginya, jika Tuhan sudah berkehendak, maka hasil dari kehendak itu harus langsung terwujud. Jika tidak, maka itu menyiratkan keterbatasan dalam kuasa Tuhan. Menurutnya, membayangkan Tuhan menunggu waktu tertentu untuk mencipta adalah gagasan yang justru membatasi kemahakuasaan-Nya.

Di sisi lain, Al-Ghazali mengusulkan bahwa kehendak Tuhan bersifat kekal, namun efeknya bisa terjadi dalam waktu tertentu sesuai dengan kehendak-Nya. Ini membuka ruang untuk berpikir bahwa alam bisa muncul kemudian, bukan karena Tuhan berubah, melainkan karena Tuhan menghendaki hal tersebut terjadi di waktu yang dikehendaki-Nya.

Perdebatan ini memperlihatkan dua pandangan teologis yang sangat berbeda tentang hubungan antara Tuhan, waktu, dan alam semesta—satu menekankan kuasa mutlak Tuhan yang mencipta dari ketiadaan, satu lagi menekankan keteraturan logika sebab-akibat dalam pemikiran metafisika.

Pengetahuan Tuhan atas Hal-Partikular, Universalisme vs Kepribadian Ilahi

Masalah kedua yang dikritik oleh Al-Ghazali adalah pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal secara spesifik (partikular), tetapi hanya mengetahui segala sesuatu secara umum (universal). Gagasan ini berasal dari penyesuaian konsep Tuhan dalam filsafat Yunani, yang cenderung melihat Tuhan sebagai entitas absolut yang tidak berubah, dan oleh karena itu tidak bisa mengetahui peristiwa yang terus berubah.

Filsuf seperti Ibn Sina dan Al-Farabi menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala hal, namun tidak dengan cara manusia mengetahuinya. Pengetahuan Tuhan bersifat tetap, karena perubahan dalam pengetahuan menyiratkan perubahan dalam zat-Nya, yang bertentangan dengan konsep keabadian Tuhan.

Al-Ghazali membantah keras hal ini. Ia memberikan contoh gerhana matahari: mengetahui gerhana sebelum terjadi, saat terjadi, dan setelah terjadi—menunjukkan perubahan dalam pengetahuan. Jika Tuhan hanya mengetahui peristiwa secara umum, maka itu berarti Tuhan tidak mengetahui secara spesifik tindakan hamba-Nya, seperti keimanan, kekufuran, amal baik, atau maksiat yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu.

Ibn Rushd menyanggah kritik ini dengan pendekatan yang lebih subtil. Menurutnya, tidak adil membandingkan pengetahuan Tuhan dengan cara manusia mengetahui. Pengetahuan manusia muncul sebagai hasil dari pengalaman dan observasi. Sebaliknya, pengetahuan Tuhan adalah sebab dari segala sesuatu—bukan akibatnya. Jadi, apa yang diketahui Tuhan, eksis karena diketahui-Nya, bukan sebaliknya.

Pandangan Ibn Rushd ini menggambarkan kerangka pemikiran metafisika yang sangat khas: Tuhan tidak berubah, dan justru karena itulah segala sesuatu bisa eksis. Pengetahuan Tuhan tidak terbatas, tetapi tidak bisa dibayangkan dalam kerangka pengalaman manusia.

Akal Filsafat vs Teks Wahyu

Topik ketiga yang sangat diperdebatkan adalah soal kebangkitan di akhirat: apakah kebangkitan itu bersifat jasmani atau semata-mata spiritual? Al-Ghazali menuduh para filsuf Islam terpengaruh filsafat Yunani, khususnya teori dunia ide Plato, yang memandang bahwa jiwa adalah inti manusia, dan tubuh hanya wadah sementara.

Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali tegas menyatakan bahwa Qur’an menggambarkan kenikmatan dan azab akhirat secara fisik. Oleh karena itu, menolak kebangkitan jasmani berarti menolak salah satu ajaran esensial dalam Islam. Ia juga menegaskan bahwa pendapat para filsuf dalam hal ini bisa menyeret mereka ke dalam kekufuran.

Namun Ibn Rushd menuduh Al-Ghazali inkonsisten. Dalam satu bagian tulisannya, Al-Ghazali menyebut bahwa semua ulama sepakat soal kebangkitan jasmani, tetapi di bagian lain ia menyatakan bahwa kalangan sufi percaya pada kebangkitan spiritual. Ini menunjukkan tidak adanya konsensus mutlak.

Bagi Ibn Rushd, keyakinan pada kebangkitan fisik memang penting, terutama untuk masyarakat awam. Gagasan kebangkitan spiritual sulit dipahami oleh nalar orang kebanyakan, dan karena itu dapat membingungkan atau bahkan menjauhkan mereka dari etika. Keyakinan pada pahala dan siksa fisik lebih efektif membimbing manusia ke arah moralitas.

Dengan demikian, menurut Ibn Rushd, tafsir kebangkitan harus kontekstual. Bagi kaum elite intelektual, penjelasan spiritual bisa dimengerti. Namun bagi rakyat kebanyakan, simbol-simbol fisik dalam kitab suci diperlukan sebagai panduan konkret.

Filsafat dan Iman—Haruskah Bertentangan?

Perdebatan antara Al-Ghazali dan Ibn Rushd bukanlah pertarungan ego atau perebutan gelar kebenaran semata. Ini adalah representasi dari dua paradigma berpikir yang sama-sama mencintai kebenaran, hanya berbeda dalam pendekatan. Al-Ghazali lebih hati-hati, lebih tekstual, dan lebih spiritual. Ibn Rushd lebih logis, lebih sistematis, dan lebih terbuka terhadap akal.

Dalam salah satu kutipannya yang paling terkenal, Ibn Rushd menulis:

“Kami sangat yakin bahwa pemikiran logis tidak akan pernah bertentangan dengan agama, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran. Satu kebenaran akan menguatkan kebenaran lainnya.”

Kutipan ini bukan sekadar pembelaan terhadap filsafat, tetapi juga pengingat bahwa iman dan akal bukanlah musuh, melainkan dua sayap bagi manusia untuk terbang lebih tinggi dalam mencari makna.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like