Plato, filsuf besar dari Yunani kuno, meninggalkan warisan filsafat yang begitu kuat melalui karya tulisnya, murid-muridnya, dan lembaga pendidikan yang ia dirikan: Akademi (Academy).
Akademi Plato bukan hanya sebuah sekolah dalam pengertian modern, tetapi juga merupakan pusat diskusi intelektual, penelitian filosofis, dan pendidikan karakter yang mendalam.
Lokasi fisiknya, yang terletak di taman suci bernama Akademeia di luar tembok kota Athena, menjadi simbol dari perpaduan antara alam, religiusitas, dan pemikiran rasional. Artikel ini mengulas panjang sejarah, struktur, serta pengaruh Akademi Plato dalam lanskap filsafat kuno dan modern.

Sebelum menjadi pusat pendidikan yang dikenal sebagai Akademi, wilayah Akademeia telah memiliki signifikansi religius dan sosial yang mendalam. Terletak di barat laut Athena dan dekat Sungai Cephissus, kawasan ini dikenal sebagai tempat suci yang penuh dengan kebun zaitun dan altar untuk para dewa. Legenda menyebutkan bahwa nama Akademeia berasal dari nama seorang pahlawan lokal, Akademos atau Echedemos, yang kemudian dijadikan patron mitologis wilayah ini.
Pada abad ke-6 SM, tiran Athena Hipparchus membangun gymnasium publik di daerah tersebut, memperkuat fungsi Akademeia sebagai ruang untuk aktivitas fisik dan religius. Renovasi oleh negarawan Cimon kemudian menambah jalan berbayang dan jalur lari yang memperindah tempat ini. Berbagai sumber seperti Plutarch dan Thucydides mencatat bahwa Akademeia merupakan lokasi yang penuh keindahan dan ketenangan, tempat orang-orang berjalan, berlatih fisik, dan merenung.
Meskipun pada abad ke-5 SM Akademeia telah digunakan oleh kaum filsuf dan sofis untuk berdiskusi, fungsinya sebagai institusi pendidikan formal baru terbentuk di tangan Plato. Namun demikian, keberadaan taman dan gymnasium tersebut menyediakan ekosistem yang sempurna bagi kegiatan filosofis yang akan dijalankan oleh Plato dan para pengikutnya.

Sebelum keberadaan institusi seperti Akademi, pendidikan di Athena mengikuti model paideia tradisional, yakni pelatihan budaya (mousikē) dan fisik (gymnastikē). Anak-anak laki-laki dari keluarga berada akan mempelajari puisi Homer, bermain musik, dan berlatih atletik sebagai bagian dari pembentukan warga negara ideal. Pendidikan ini bersifat privat dan tergantung pada kemampuan finansial keluarga.
Namun, pada abad ke-5 SM, arus pemikiran baru muncul dengan kedatangan para sofis dan filsuf dari kota lain. Para pengajar seperti Protagoras, Gorgias, dan Anaxagoras mulai menawarkan pengajaran di ruang publik seperti agora atau gymnasium. Mereka menawarkan pelatihan retorika, logika, dan kebijaksanaan praktis kepada mereka yang mampu membayar.
Dalam lanskap ini pula muncul figur Socrates yang berbeda dari sofis. Socrates tidak memungut bayaran dan tidak mengajarkan doktrin tertentu. Ia berdiskusi di gymnasium seperti Akademi dan Lyceum, dan menciptakan tradisi dialog yang sangat mempengaruhi Plato. Interaksi antara pengajaran tradisional, sofisme, dan metode Socrates menjadi latar penting bagi terbentuknya institusi seperti Akademi.
Kehadiran kaum intelektual di tempat-tempat publik menunjukkan bahwa ruang diskusi dan perenungan filosofis sudah tersedia sebelum Akademi berdiri. Namun, baru dengan inisiatif Plato-lah ruang-ruang itu diorganisasi menjadi lembaga yang berkelanjutan dan berpengaruh.

Plato mendirikan Akademi sekitar tahun 387 SM, setelah kembali dari perjalanannya ke Sirakusa. Akademi ini terletak di dekat gymnasium Akademeia dan mencakup taman pribadi milik Plato. Berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang lebih dogmatis, Akademi bersifat pluralistik. Ia menampung berbagai pandangan, dan tidak mewajibkan murid-muridnya mengikuti satu ajaran tunggal.
Plato membeli tanah di dekat area publik Akademeia untuk dijadikan tempat berkumpul dan belajar. Ia tidak tinggal di dalam kompleks suci tersebut, melainkan di properti pribadinya. Pengajaran dan diskusi dilakukan baik di taman publik maupun di kediaman Plato. Karena sifat semi-terbuka ini, diskusi yang dilakukan bisa dihadiri oleh siapa saja yang tertarik.
Meskipun Plato berasal dari keluarga aristokrat dan memiliki dana pribadi, ia juga mendapat bantuan finansial dari tokoh-tokoh seperti Dion dari Sirakusa. Yang menarik, Plato tidak memungut biaya dari para pelajar, berbeda dengan sofis pada umumnya. Namun, para murid diharapkan mampu menanggung hidup mereka sendiri selama belajar di Akademi.
Bidang yang dipelajari di Akademi sangat luas: dari matematika, astronomi, filsafat politik, metafisika, hingga logika. Beberapa tokoh penting yang menjadi bagian dari Akademi antara lain Eudoxus (matematika), Theaetetus (geometri), Xenocrates (metafisika), dan tentu saja Aristoteles. Bahkan dua perempuan, Lastheneia dan Axiothea, juga tercatat sebagai murid Plato.
Metode pengajaran di Akademi fleksibel: ada pembacaan dialog, diskusi dialektika, kuliah umum, dan penelitian mandiri. Plato sendiri mungkin memberi ceramah publik, seperti yang dicatat dalam laporan Aristoxenus tentang ceramah Plato mengenai “Yang Baik.” Namun, diskusi informal tetap menjadi metode utama.
Akademi juga memiliki dimensi politik. Beberapa murid Plato aktif dalam reformasi politik di berbagai kota Yunani. Sementara itu, surat-surat Plato mengindikasikan upaya langsung dalam menyarankan pemerintahan yang adil, termasuk melalui eksperimen politik di Sirakusa.
Setelah Plato meninggal pada tahun 347 SM, Akademi dipimpin oleh Speusippus, keponakannya. Ia digantikan oleh Xenocrates, lalu Polemo, Crates, Arcesilaus, dan lainnya. Sampai pada Philo dari Larissa, Akademi tetap mempertahankan pengaruhnya, meskipun pandangan filosofis di dalamnya terus berkembang.
Mulai dari Arcesilaus, pendekatan skeptis mulai mendominasi. Ini disebut sebagai “Akademi Tengah” dan “Akademi Baru,” yang berfokus pada keraguan metodis dan tidak menyatakan pengetahuan pasti. Tradisi ini bertahan hingga abad ke-1 SM dengan murid-murid seperti Cicero.
Tahun 86 SM, Akademi mengalami kehancuran fisik akibat invasi pasukan Romawi di bawah Sulla. Gymnasium dan taman dirusak, menandai akhir dari institusi fisik Akademi Plato. Namun, tradisi intelektualnya tetap hidup melalui tulisan dan pengaruh murid-muridnya.
Pada abad ke-4 M, sebuah sekolah Platonik didirikan kembali di Athena oleh Plutarch dari Athena (bukan sejarawan). Sekolah ini, meskipun tidak terletak di lokasi asli Akademi, meneruskan tradisi pemikiran Plato dan melahirkan tokoh besar seperti Proclus dan Damascius. Sekolah ini akhirnya ditutup oleh Kaisar Kristen Justinian pada tahun 529 M.
Plato dan Akademinya telah menciptakan landasan yang kokoh bagi tradisi pendidikan filosofis Barat. Konsep diskusi bebas, pembelajaran kritis, dan pencarian kebenaran melalui dialog yang dikembangkan di Akademi masih terasa dalam sistem pendidikan tinggi saat ini. Kata “akademi” dan “akademis” yang kita gunakan hingga hari ini merupakan bukti pengaruh panjang lembaga ini.
Mengunjungi reruntuhan Akademi di Athena modern bukan sekadar melihat situs arkeologi, melainkan menyusuri tapak sejarah filsafat yang telah membentuk peradaban kita. Akademi Plato bukan hanya tempat—ia adalah simbol semangat pencarian kebenaran yang tak pernah padam.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.