Perkembangan Teori Kritis Frankfurt School

Institut für Sozialforschung di Frankfurt menjadi pangkalan utama bagi cendekiawan pemikir kritis Jerman sejak didirikan 1923. Institut ini dibentuk oleh Carl Grünberg – seorang profesor Marxis – dengan dana dari Felix Weil, dan merupakan pusat riset Marxis pertama di universitas Jerman. Grünberg menjabat direktur pertama (1923–1929), lalu pada 1930 Max Horkheimer mengambil alih kepemimpinan institusi. Di bawah Horkheimer, Institut mengembangkan pendekatan interdisipliner baru, menggabungkan ilmu sosial dengan filsafat untuk mengkritik kondisi masyarakat modern.

Pada akhir 1930-an, murid-murid Horkheimer ikut bergabung: Theodor W. Adorno – seorang filsuf-sosiolog dan ahli musik – datang sebagai peneliti pada 1938, sementara Erich Fromm (psikoanalis) dan Herbert Marcuse (filosof) sudah lebih dulu berafiliasi. Namun, gejolak politik mengancam keberadaan sekolah ini. Saat Nazi berkuasa pada 1933, Institut untuk riset sosial dipaksa pindah keluar Jerman. Pertama ke Jenewa dan beberapa tahun kemudian menyeberang ke New York, bergabung dengan Universitas Columbia. Perpindahan ini membuat Institut tetap bisa beroperasi bebas; mereka menerbitkan jurnal Zeitschrift für Sozialforschung dan melanjutkan penelitian tentang penyebab fasisme serta masalah sosial lainnya.

Tokoh-Tokoh Awal

Max Horkheimer (1895–1973) merupakan tokoh sentral dalam Sekolah Frankfurt yang memimpin Institut für Sozialforschung sejak tahun 1930. Di bawah kepemimpinannya, pendekatan kritis terhadap masyarakat mulai mendapat tempat dalam lingkup kajian filsafat dan ilmu sosial. Horkheimer menekankan bahwa teori tidak cukup hanya menjelaskan kenyataan, tetapi juga harus mengarahkan pada perubahan sosial. Pemikirannya ini tertuang dalam esai penting berjudul Traditional and Critical Theory (1937), yang menjadi fondasi pembedaan antara teori ilmiah tradisional yang netral dan teori kritis yang berpihak pada emansipasi manusia.

Theodor W. Adorno (1903–1969) bergabung dengan Institut pada tahun 1938 dan segera menjadi mitra intelektual utama Horkheimer. Kolaborasi mereka menghasilkan karya monumental Dialectic of Enlightenment, yang ditulis selama masa pengasingan di Amerika Serikat dan diterbitkan sekitar tahun 1944 hingga 1947. Dalam karya tersebut, mereka mengkritik bagaimana pencerahan dan rasionalitas modern justru menghasilkan bentuk baru dari dominasi dan penindasan. Selain itu, Adorno juga dikenal luas melalui berbagai tulisan kritik sosial dan budaya, termasuk dalam bidang estetika musik pascaperang yang menjadi spesialisasinya.

Erich Fromm (1900–1980) adalah bagian penting dari generasi awal Sekolah Frankfurt yang dikenal atas usahanya menggabungkan Marxisme dengan psikoanalisis. Ia berusaha menjelaskan kecenderungan masyarakat terhadap otoritarianisme melalui pendekatan psikologis, dengan menggali akar-akar ketundukan manusia terhadap kekuasaan represif. Namun, pada akhir 1930-an Fromm memutuskan keluar dari Institut untuk mengejar karier intelektual secara independen. Walau begitu, jejak pemikirannya tetap berpengaruh, terutama dalam pengembangan kritik psikososial oleh Adorno dan Herbert Marcuse.

Herbert Marcuse (1898–1979) telah menjadi bagian dari Institut sejak akhir 1920-an dan dikenal sebagai murid serta pendukung awal Horkheimer. Ia turut mengungsi ke Amerika Serikat pada 1930-an dan tidak kembali ke Jerman pascaperang. Meski absen dari fase pembaruan Institut di Frankfurt, Marcuse tetap menghasilkan karya-karya penting yang menjadi tonggak dalam kritik terhadap kapitalisme dan budaya industri modern. Beberapa karyanya yang berpengaruh besar adalah Eros and Civilization (1956), yang mengembangkan kritik psikoanalitik terhadap masyarakat represif, dan One-Dimensional Man (1964), yang menggambarkan bagaimana masyarakat modern menumpulkan kesadaran kritis melalui integrasi teknologi dan ideologi.

Masa Pengasingan dan Perang Dunia II

Selama Perang Dunia II, Sekolah Frankfurt terus bekerja dari pengasingan di Amerika Serikat. Di sana, para anggota masih menerbitkan karya-karya penting. Contohnya, Dialectic of Enlightenment karya Horkheimer–Adorno (diterbitkan 1944/47) yang menguraikan bagaimana rasionalitas ilmu pengetahuan bisa menjerumuskan pada dominasi dan penindasan. Mereka juga meneliti penyebab kebangkitan fasisme. Misalnya, riset psikologi sosial yang kemudian dirangkum dalam The Authoritarian Personality (1950) yang dikarang Adorno cs., untuk menggambarkan tipe kepribadian yang mudah menerima ideologi radikal. Selama pengasingan ini, Walter Benjamin adalah satu-satunya anggota utama yang tidak ikut mengungsi – tragisnya, ia bunuh diri pada 1940 ketika mencoba melewati perbatasan menuju Spanyol, dan sempat mengirim tulisan terakhirnya (“Theses on the Philosophy of History”) kepada Adorno.

Kembali ke Frankfurt dan Era Pasca-Perang

Setelah Perang Dunia II berakhir, pada 1946 Institut diundang kembali ke Universitas Frankfurt. Max Horkheimer sendiri membuka kembali Institut itu secara resmi pada 14 November 1951, dan sempat menjadi rektor universitas tersebut. Pada dekade 1950-an, Horkheimer masih aktif mengarahkan Institut, sedangkan Adorno kembali dari AS pada 1953. Pada 1955 Adorno menggantikan Horkheimer sebagai direktur Institut dan menjadi profesor penuh pada 1957. Masa ini juga menyaksikan publikasi penting: misalnya Adorno menulis Philosophy of Modern Music (1949) dan Marcuse, walaupun tetap di AS, menerbitkan Eros and Civilization (1956).

Periode 1950-an ini dianggap masa kematangan awal Sekolah Frankfurt. Puncaknya datang saat Horkheimer pensiun pada 1956, sesaat setelah beberapa karya penting muncul: selain Eros and Civilization, Adorno dan rekan-rekannya juga menerbitkan kumpulan esai Sociologica (1956). Pada masa itu Sekolah Frankfurt masih relatif kecil, tetapi ia telah menancapkan pengaruh intelektual kuat lewat karya-karya yang menantang pemahaman umum tentang masyarakat pascakolonial dan kapitalis.

Perkembangan Teori Kritis

Teori Kritis lahir sebagai cara berpikir sosial yang berbeda dari teori tradisional. Teori tradisional berusaha mengamati masyarakat seolah-olah realitas sosial adalah sesuatu yang sudah diberikan, seperti ilmu alam yang memetakan fakta tanpa mempersoalkan nilai yang mendasarinya. Sebaliknya, Teori Kritis justru mempertanyakan konteks sosial yang mendasari fakta tersebut dan berupaya mengubahnya. Para pendiri Sekolah Frankfurt menegaskan bahwa teori harus “berdiri dalam persatuan dinamis dengan kelas tertindas” dan dilandasi tujuan emansipasi (pembebasan dari penindasan). Artinya, tujuan akhir Teori Kritis bukan sekadar mengetahui atau merumuskan hukum sosial, tetapi membebaskan manusia dari ketidakadilan.

Ciri khas lain dari Teori Kritis adalah penekanannya pada kritik ideologi. Alih-alih menerima begitu saja sistem ide dan kepercayaan dominan, teoritikus Frankfurt School mencoba mengungkap cara berpikir yang menutupi penindasan. Misalnya, mereka menyoroti bagaimana kapitalisme dapat menciptakan budaya massa yang menyejukkan kesadaran kritis, sehingga masalah-masalah struktural “tersembunyi di balik” wacana populer. Dalam konteks ini, kritik terhadap kapitalisme tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang bagaimana institusi budaya dan teknologi memperkuat kekuasaan. Misalnya, para pemikir ini mengidentifikasi “dominan modal budaya” dalam industri kesenian dan media sebagai sarana reproduksi ideologi kapitalis.

Teori Kritis juga menghubungkan teori dan praktik dengan erat. Alih-alih menjadi ilmu yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, mereka percaya teori harus dipandu oleh “minat emansipatoris”: keinginan untuk menghilangkan penindasan sosial. Dengan demikian, intelektual kritis diharapkan menjalin “persatuan dinamis” dengan kaum tertindas, memadukan pemikiran konseptual dengan aksi yang membangun perubahan. Pendekatan seperti ini mirip dengan gagasan Karl Marx bahwa teori revolusioner harus berkesinambungan dengan perjuangan konkret—tetapi Sekolah Frankfurt menambahkan analisis kultural dan psikologis ke dalamnya.

Sebagai bagian dari kritik terhadap kapitalisme, Teori Kritis fokus pada rasionalitas. Max Horkheimer dan Theodor Adorno, misalnya, mengkritik apa yang disebut rasionalitas instrumental (berpikir dalam hal alat dan tujuan semata) yang menjadi ciri masyarakat industri maju. Mereka menganggap bahwa rasionalitas semacam itu justru mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan menciptakan bentuk penindasan baru (“dominion of instrumental reason”). Habermas kemudian membedakan dua bentuk rasionalitas: satu bersifat instrumentil (berorientasi pada tujuan praktis semata), dan satu lagi bersifat komunikatif (berorientasi pada diskusi dan pemahaman bersama). Menurut Habermas, rasionalitas komunikatif adalah alat untuk mencapai konsensus sosial melalui dialog yang adil dan hormat terhadap norma bersama, sehingga membuka jalan menuju emansipasi.

Generasi Kedua: Habermas dan Honneth

Jürgen Habermas (b. 1929) menjadi tokoh sentral generasi kedua Teori Kritis. Ia menggantikan kepemimpinan Horkheimer–Adorno dalam tradisi tersebut dan memperkenalkan konsep rasionalitas komunikatif melalui karyanya Theory of Communicative Action (1981). Habermas menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena diskusi bebas, di mana individu saling bertukar argumen rasional demi mencapai konsensus sosial. Berbeda dengan analisis politik-ekonomi murni, ia berfokus pada cara manusia berkomunikasi sebagai landasan legitimasi sosial dan demokrasi. Bersama itu, Habermas juga terlibat perdebatan penting dengan posisionisme (Positivism Dispute) di sosiologi Jerman, menegaskan bahwa sains sosial harus menyertakan refleksi nilai dan norma kritis.

Axel Honneth (b. 1949) adalah penerus Habermas yang dianggap “generasi ketiga” Sekolah Frankfurt. Honneth yang pernah menjadi asisten Habermas di Frankfurt kemudian memimpin Institut untuk penemuan baru dan fokus pada tema pengakuan (recognition) dalam keadilan sosial. Ia berargumen bahwa kebebasan sejati membutuhkan rasa penghargaan timbal balik dalam hubungan antarindividu – misalnya pengakuan mutual antara keluarga, masyarakat, dan negara. Seperti Habermas, Honneth ingin menjembatani Marxisme dengan etika modern; ia fokus pada aspek etis dan sosial psikologis dalam konflik kelas, melanjutkan warisan Teori Kritis untuk abad ke-21.

Tokoh-tokoh lainnya di generasi kedua dan ketiga termasuk Alfred Schmidt, Albrecht Wellmer, Seyla Benhabib, Nancy Fraser, dan Christoph Menke. Para pemikir ini memperluas perhatian Teori Kritis ke isu-isu seperti feminisme, teori rasial, dan kajian poskolonial. Sebagai contoh, Nancy Fraser dan Seyla Benhabib mengkritik Habermas dari perspektif gender dan keadilan demokrasi, menunjukkan bahwa ruang publik ideal Habermas harus diperluas agar juga mengakui suara minoritas dan perempuan. Dengan cara ini, Teori Kritis terus berevolusi tanpa kehilangan inti kritiknya terhadap ketidakadilan sosial.

Pengaruh dalam Wacana Sosial-Politik Modern

Pemikiran Sekolah Frankfurt telah menyebar ke berbagai wacana kontemporer. Banyak penulis feminis dan pengkritik ras mengaku terinspirasi oleh cara Teori Kritis menganalisis kekuasaan ideologis. Misalnya, konsep tentang bagaimana media massa dapat mematikan kesadaran politik massa masih sering disandingkan dengan kondisi zaman informasi dan media sosial sekarang. Di bidang filsafat, ada perdebatan hangat antara penganut tradisi Frankfurt School (seperti Habermas) dan pemikir post-strukturalis seperti Michel Foucault. Debat ini fokus pada cara terbaik memahami kekuasaan dan kebebasan: Habermas menekankan rasionalitas dan diskursus terbuka, sementara Foucault menyoroti mekanisme kekuasaan yang tersebar di dalam institusi sosial. Pertemuan ide-ide mereka dikenal sebagai “perdebatan Foucault–Habermas”, di mana masing-masing menyajikan argumen khasnya tentang etika, modernitas, dan kebebasan.

Secara umum, teori kritis telah menanamkan “perspektif kritis” dalam analisis sosial-politik modern – dari kritik globalisasi, ketimpangan ekonomi, hingga perjuangan identitas etnis dan gender. Dalam pengertian lebih luas, istilah teori kritis sekarang juga dipakai untuk teori-teori lain yang memadukan norma keadilan dengan kajian empiris (misalnya teori ras kritis, teori budaya). Hal ini sesuai dengan catatan sejarawan pemikiran bahwa teori kritis “bertujuan mengkritik dan mentransformasi masyarakat dengan mengintegrasikan perspektif normatif” ke dalam analisis sosial.

Akhirnya, walau konsep dan gaya pendekatan telah berkembang, Semangat kritis Sekolah Frankfurt – yakni keinginan untuk mengungkap ideologi yang tersembunyi dan memperjuangkan emansipasi – masih sangat relevan dalam menghadapi krisis sosial-politik kontemporer seperti krisis ekonomi, isu lingkungan, dan dinamika kekuasaan baru di era informasi.

 

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like