Sebagai mahluk sosial, manusia pastilah butuh satu sama lain. Interaksi tentunya tidak luput disetiap hari, utamanya melalui bahasa. Karena tanpa adanya bahasa, manusia tidak akan bisa berkomunikasi dalam mengekspresikan apa yang dia inginkan, serta apa yang dia rasakan dan apa yang diharapkan secara jelas.
Namun keberadaan bahasa layaknya pisau bermata dua. Selain suatu komponen penting dalam kehidupan, bahasa juga sebagai momok menakutkan. Sebab, keberdaan bahasa ialah rangkaian kata segudang makna dengan berpijak pada penggunaan dan ucapan yang baik dan buruk. Sehingga ketika kata pada bahasanya itu baik, orang lain akan merasa senang mendengarkan. Sedangkan begitu pula sebaliknya, akan tampak tidak enak didengar, apabila kata yang dipilih buruk karena salah penggunaannya atau sampai mencederai bahasa itu sendiri.
Dalam mengetahui semua itu, tentunya susah bila tidak ada sedikitpun pengetahuan tetang bahasa. Maka darinya buku berjudul “Dikuasai Kata-Kata” karya Achmad San atau bernama asli Achmad Santoso adalah jendela terbaik dalam rangka memahami bahasa baik dan buruk dari segi penepatan dan pengucapannya. Hal itu demi menjadi bekal untuk mengatisipasi kesilapan dikemudian hari.
Buku setebal 128 halaman tersebut telah dipetak tiga bab meliputi, 1) bahasa dan politik, 2) bahasa dan masyarakat, 3) bahasa dan gender. Uniknya pembahasan disetiap bab ditulis secara esai-esai pendek dengan lugas dan jelas. Kedaan tersebut membuat sentuhan beda dari buku lain, di mana biasanya kalau berkenaan dengan pembasan bahasa, terlalu sulit dimengerti. Imbasnya membuat para pembaca kemudian bosan untuk membacanya sampai usai.
Namun tidak untuk buku yang satu ini. Seperti pada bab pertama, pembaca akan disuguhkan esai berjudul “Lolucon Mahfud MD yang Unfaedah”. Lolucon yang memang tidak pernah disadari. Kemungkinan besar, apabila ketika ikut Halal Bihalal IKA UNS pada selasa (26/5/2020), mendengar ungkapan Pak Mahfud, pasti ikut tertawa. Tanpa menyadari, kalau hal itu hanyalah pemanis bahasa saja; politik bahasa (hal.29).
Sebenarnya bila dikaji lebih cermat lagi, guyonan Pak Mahfud semasih jadi Menko Polhukam itu, bertitik fokus pada kata “Corona is like your wife. Korona itu seperti istrimu” (hal.29). Perkataan tersebut lantas disamakan dengan seorang perempuan yang seakan bisa menaklukannya ketika telah mengawininya. Sedangkan ketika telah jadi seorang istri, tidaklah demikian. Lalu lebih baiknya “The you lear to live with it. Kemudian, kamu berdamai dengannya,” pungkas Pak Mahfud.
Pengungkapan tersebut sepintas tidak ada masalah. Namun ketika telah dikaji lagi, perkataan Pak Mahfud merupakan ungkapan unfaedah. Hal tersebut karena dua kesalahan kebahasaan yakni, termasuk bad language (bahasa jelek), dalam artian tidak pantas bila diucapkan, apalagi ketika forum resmi meski sebatas guyonan (hal.30). Serta darinya, termasuk metafora peyoratif dengan merendahkan kaum perempuan secara umum dan istri secara khusus. Jelasnya perempuan atau seorang istri, seakan berbahaya layaknya virus (hal.31).
Sedangkan di bab kedua, pembaca akan direkomendasikan tiga bahasa yang baik untuk diucapkan pada lawan bicara yaitu, tolong, terima kasih dan maaf. Hal tersebut dikarenakan acap kali didengar kata yang menindas lawan bicara, terucap tanpa sengaja secara biasa. Sehingga, kadang lawan bicara jengkel atau sampai sakit hati. Jelasnya pada esai berjudul “Tiga Kata Sakti dari Orang yang Rendah Hati” (hal.77).
Maka dari tiga kata yaitu, tolong, terima kasih dan maaf, ialah kata yang sepatutnya bisa sering digunakan setiap hari. Sebab tiga kata tersebut mengandung kesantunan kebahasan. Bukti akan hal itu, dapat dilihat dari orang yang rendah hati, akan begitu mudah mengucapkan tiga kata tersebut. Namun sebaliknya bagi orang yang tinggi hati (hal.84).
Lalu berkenaan dengan bab ketiga, akan disuguhkan dengan berbagai problem kata yang meliputi pemetakan antara laki-laki dan perempuan, secara pandangan atau kebiasaan masyarakat Indonesia. Salah satu gambarannya pada esai berjudul “Wartawati, Seniwati, Sastrawati, Santriwati, Bendahari…” (hal.123) di mana menampakkan berbagai kesalahan kebahasaan yang tidak pernah disadari.
Sebagaimana penempatan vokal “a” dan “i”, baik vokal utuh maupun modifikasi dengan konsonan lain di belakang, adalah jalan pintas yang sering kali di ambil masyarakat Indonesia. Tanpa menyangka kalau kebiasaan tersebut ialah salah. Sebab konteks pengambilan vokal “a” dan “i” adalah kebiasaan bahasa kesusastraan Hindu Kuno Sanskerta. Layaknya, dewa-dewi, putera-puteri dan betara-betari (hal.123).
Sedangkan, kodrat bahasa Indonesia mempunyai jati diri tersendiri. Pemetakan kata yang berkaitan kelamin sangatlah berbeda, seperti kata “laki-laki” dan “perempuan”. Bukan malah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dengan vokal “a” dan “i” seperti kesusastraan Hindu Kuno Sanskerta, karena bila mengunakan kebiasaan demikian, akan mencederai atau sampai merusak bahasa Indonesia itu sendiri (hal. 124). Demikianlah segelintir pembahasan dalam buku terbitan Diva Press ini. Masih banyak pembahasan unik yang memberikan pengetahuan, sekalikus kesadaran terhadap diri sendiri. Sehingganya dari apa yang di dapat dalam buku ini, bisa menajadikan pembenahan dan memperbaiki penggunaan kata dikemudian hari.
Judul | : | Dikuasai Kata-Kata |
Penulis | : | Acmad San |
Penerbit | : | Diva Press |
Cetakan | : | Juli, 2021 |
ISBN | : | 978-623-293-097-1 |
S. Nurullah atau Sururi Nurullah. Ia anggota Persi.