Menjadi Utuh: Sebuah Analisis Terhadap Tokoh Bruce Willis dalam Film The Kid8 min read

“Ceritakanlah masa silam padaku, dan akupun akan menceritakan masa depan,” Konfusius-[1] Kata-kata ini mengingatkan penulis bahwa untuk bisa sadar tentang saat ini dan masa depan, perlulah dulu dipahami apa dan bagaimana sejarah masa lalu telah membentuk aku yang sekarang.  Ketika aku sadar, paham dan bisa menerimanya, aku akan tahu siapa diriku seutuhnya dan apa yang bisa kuperbuat di hari depan.

Menjadi sadar dan memahami diri berarti menjadi dewasa.  Kedewasaan itu soal kemampuan menerima dan memeluk diri apa adanya. Ketika orang bisa melakukan itu, hidupnya akan lebih bebas dan bahagia karena tidak ada yang perlu ditakutkan atau cemaskan terkait masa lalunya. Hal yang menyakitkan bukan lagi menjadi noda yang membuatnya terbeban, melainkan membuatnya bisa lebih banyak belajar dan sadar bahwa dalam dirinya selalu terdapat dua sisi, hitam dan putih. Agar bisa hidup damai dan bahagia ia perlu mengakuinya dengan penuh rasa syukur sehingga saat ini dan hari depan nanti ia bisa lebih merdeka menjalani hidup.

Bertolak dari keyakinan itu, melalui tulisan ini saya memberikan analisis atas Film The Kid yang pemeran utamanya dibintangi oleh aktor kondang Bruce Willis. Saya akan menyajikan sinopsis singkat dan kemudian menganalisis film ini dalam kacamata pendekatan psikologis, Pendekatan Gestalt, serta rangkuman sekaligus refleksi pribadi atas film ini.

Sinopsis Film

Secara singkat film ini mengisahkan seorang konsultan bernama Rusty Duritz yang sangat fokus dan hanya memperhatikan pada pekerjaannya, yang secara tidak sengaja bertemu dengan dirinya yang begitu lucu, menggemaskan, dan agak menjengkelkan ketika berusia delapan tahun. Pada awalnya Rusty tidak yakin dan percaya bahwa dirinya sedemikian buruk. Singkat cerita, melalui kehadiran anak yang lucu dan menggemaskan tersebut akhirnya Rusty dewasa pelan-pelan dibawa kembali kepada kenangan-kenangan masa kecil yang sebenarnya ia tolak dan coba ia kubur dalam-dalam. 

Meskipun demikian, dengan aneka pergolakan yang terjadi dalam proses itu Rusty dewasa akhirnya berdinamika dan mampu menerima masa lalunya. Hal itu Itu terjadi ketika ia mulai mencoba mendengarkan kembali ingatan-ingatan seorang Russ kecil. Akhirnya setelah melalui proses dan dinamika tersebut, Rusty dewasa mulai mampu mengingat dan kemudian bisa menerima masa lalu itu. Transformasi besar kemudian terjadi, di mana melalui penerimaan yang utuh akan masa lalu yang sebenarnya ia tolak tersebut Rusty menjadi lebih bahagia dan menatap hari depannya dengan bebas dan percaya diri. Dengan kata lain, perjumpaan Rusty dewasa dengan Rusty kecil yang gemas itu telah membuatnya mampu merdeka dari perbudakan sejarah hidup yang kurang menyenangkan di masa lalu.

Analisis Film Berdasarkan Pendekatan Gestalt

Pendekatan Gestalt

Psikologi Gestalt atau Gestalt psychology merupakan aliran dalam bidang psikologi yang melihat bahwa pokok persoalan sejati bagi psikologi adalah tingkah laku dan pengalaman sebagai kesatuan totalitas.[2] Ini berarti apabila seseorang ingin mengetahui pokok persoalan yang dihadapi saat ini entah berupa penolakan diri, pengalam, dsb, perlulah ia mengecek kembali seluruh kepingan pengalaman yang terjadi dalam sejarah hidupnya dan kemudian mengintegrasikannya kembali.

Pendekatan Gestalt memiliki landasan premis bahwa individu harus menemukan caranya sendiri dalam hidup dan menerima tanggung jawab pribadi jika individu ingin mencapai kedewasaan. Pandangan ini bertolak dari keyakinan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu koordinasi semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong ke arah keselarasan dan integrasi pemikiran, perasaan, dan tingkah lakunya.[3]

Pendekatan Gestalt dan Tokoh Rusty dalam Film The Kid

Rusty dalam film the Kid, digambarkan sebagai seorang pria yang sangat terobsesi pada pekerjaan. Saking fokusnya pada pekerjaan, ia tidak peduli pada keluarga. Hal itu nampak sekali ketika ayahnya datang ke kantor, Rusty menolaknya dengan halus dan menunjukkan rasa kurang simpati terhadap sang ayah. Ada penolakan terhadap sang ayah itu menunjukkan adanya sisi kurang sehat dari relasinya dengan sang ayah. Hubungan kurang harmonis dengan sang ayah ini dalam psikologi gestalt dianggap menimbulkan tekanan sehingga ia menolaknya.[4]

Bertahan hidup dengan keadaan yang demikian membuat Rusty tumbuh dengan diri yang tidak utuh. Ketika sang Rusty kecil yang adalah dirinya di masa lalu saat berusia delapan tahun hadir dalam hidupnya, ia menolak mengakuinya. Melihat seorang Rusty kecil hadir di rumahnya membuat ia marah. Rusty yang kecil baginya terlalu buruk, seorang pecundang, gemuk, dan tidak dihargai. Ia menolak sosoknya yang demikian buruk itu.

Dalam hal ini, Rusty dewasa mencoba melakukan apa yang menurut pengembang teori Gestalt ini, Frederick S. Pearl (1984-1970) dikatakan bahwa  banyak kali orang mencoba menyatakan apa yang seharusnya daripada menyatakan apa yang sebenarnya. Perbedaan aktualisasi gambaran diri dan aktualisasi ini baginya merupakan kritis pada manusia.[5] Di titik ini Rusty dalam keadaan kritis karena hanya mau menyatakan (menerima) dirinya yang dewasa yang sudah berubah, profesional, dan menolak dirinya dulu yang buruk dan dihina.

Pada  masa awal kehadiran Rusti kecil, ia menolak apa yang seharusnya sebagai pribadi harus ia lakukan sebagaimana yang diterangkan dalam pendekatan Gestalt bahwa  seseorang perlu memfokuskan pemulihan kesadaran dan polaritas serta dikotomi-dikotomi dalam dirinya seseorang sehingga ia sadar dapat menerima tanggung jawab pribadi, dan dapat melalui cara-cara yang menghambat kesadarannya.[6]

Setelah berproses dan mendengarkan saran psikolog dan temannya, Rusty pelan-pelan mulai belajar dan berproses untuk menerima sang Rusty kecil yang buruk itu. Sebagaimana yang dipandang dalam pendekatan gestalt bahwa dalam hubungannya dengan perjalanan hidup manusia, tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Artinya masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena itu yang menuntaskan segala permasalahan yang dialami oleh manusia adalah masa sekarang (here and now).[7]

Di masa sekarang, Rusti dewasa mengalami masalah dengan kehadiran Rusty kecil yang mengganggunya. Apabila ia menolak untuk menghadapi masalah itu saat ini, maka hidupnya akan terus dihantui oleh sang Rusty kecil. Sebaliknya jika ia mau menerima, bertanya kepada Rusty kecil tentang segala hal di saat Rusty dewasa masih kecil, maka ia akan dihantar pada penerimaan diri yang utuh saat ini. Itulah jalan Rusty dewasa untuk masalah here and now yang muncul dari penolakan dirinya di masa lalu.  Rusty sedang diundang untuk memeluk kepingan dirinya yang telah lama ia tolak agar menjadi utuh dan total sebagaimana harapan dan tujuan terapi gestalt.

Proses panjangnya dengan sang Rusty kecil kemudian membuahkan hasil. Perjalananya dengan sang Rusty kecil ke tempat-tempat dan peristiwa-peristiwa paling bersejarah dalam hidupnya pada umur delapan tahun akhirnya mengantarkannya pada salah satu peristiwa yang terus menjadi luka dan rasa bersalah yang besar, yakni disebutkan oleh ayahnya bahwa dia adalah penyebab kematian ibunya. Rusty dewasa telah dihantar oleh Rusty kecil sampai sampai pada akhirnya dia disadarkan bahwa bukan dia yang menyebabkan kematian ibunya. Dan apa yang dikatakan sang ayah itu tidak benar karena saat itu dia sedang bingung, takut, dan emosinya tak terkontrol. Rusty dibebaskan dari rasa bersalah.

Perjumpaannya dengan dirinya yang merasa bersalah sampai kesadaran bahwa ia tidak perlu merasa bersalah membuat Rusty mencapai apa yang dalam terapi gestalt disebut menjadi individu yang merdeka dan berdiri sendiri.[8] Rusty telah dibawa pada penerimaan diri dan melepaskan dirinya dari perbudakan luka masa lalunya. Ia telah mampu mencapai keutuhan diri karena baik sisi buruk maupun baik tentang dirinya, terkhusus di masa lalu sudah mampu ia terima dengan penuh bahagia dan merdeka.

Rangkuman dan Refleksi

Ketika menonton film The Kid dan Gestalt, saya dibawa pada pengalaman mengolah diri selama ini. Mengolah diri itu rasanya seperti diobok-obok. Luka dibuka, pengalaman diingat lagi, rasa sakit diungkit lagi. Sungguh ini sebuah perjalanan yang berat.

Pada awal proses pengolahan diri itu seringkali muncul resistensi; marah, kecewa, menyangkal, dan bahkan menghindar. Masuk ke masa lalu yang pelik sungguh menjadi sebuah perjalanan panjang yang amat meletihkan, menguras energi, dan imaginasi. Di awal sayasempat bertanya, buat apa semua ini saya dibuka, bukankah ada hal lain yang lebih bernilai yang perlu dilakukan?

Jawaban atas pertanyaan yang agak eksistensial ini sayai temukan dalam momen-momen haru dan penuh syukur ketika luka itu pelan-pelan mulai diaboti, ketika pengalaman sakit menjadi sakti karena menjadi guru paling bijak sekaligus menjadi peletuk semangat untuk menjadi diri sendiri yang lebih otentik dan penuh gairah. Jauh lebih penting dari itu, pengalaman mengolah diri, menjumpai dan memahami sosok-sosok saya kecil yang terluka membuat saya mampu menerima pengalaman itu dan kemudian memeluknya sebagai bagian utuh tak terpisahkan dari totalitas diri saya saat ini dan nanti.

Perjalanan memeluk luka dan duka di masa lalu dipenuhi banyak kerikil tajam, berat, dan tidak mudah. Butuh kejujuran, kerendahan hati untuk mau mengakui, dan kerelaan diri untuk menerima segalanya. Perjalanan itu perlu ditemani, dituntun, didukung, dan dikuatkan. Mustahil harus menjalani proses itu seorang diri. Sebagaimana Rusty yang didukung dan ditemani sang psikolog dan sahabatnya penyiarnya, saya pun didukung oleh  para sahabat, keluarga, dan pastinya Tuhan sendiri. Saya telah dihantar melalui proses yang panjang sampai ke tempat ini dan akan terus berproses mengolah diri, menerima keutuhan diri, dan terus sadar bahwa memeluk luka dan duka itu adalah usaha mencapai kedewaan dan integrasi diri.


[1] F. Budi Hardiman. Prakata dalam Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2007. Hal. ix.

[2] J.P Chaplin. Penerj, Dr. Kartini Kartono. Kamus Lengkap Psikologi. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006. Hal.  208.

[3] Deni Febrini. Bimbingan Konseling. Teras: Yogyakarta, 2011. Hal. 70.

[4] J.P Chaplin. Penerj, Dr. Kartini Kartono. Kamus Lengkap Psikologi. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006. Hal.  209.

[5] Prof. Dr. Sofyan S. Willis.  Konseling Individual Teori dan Praktek. Penerbit: Alfabeta, Bandung, 2017. Hal. 66.

[6] Kholifah. Teori Konseling: Suatu Pendekatan Konseling Gestalt. Jurnal Al-Tazkiyah, Volume 5, No. 2, Desember 2016. Hal. 112.

[7] Kholifah. Teori Konseling: Suatu Pendekatan Konseling Gestalt. Jurnal Al-Tazkiyah,    Volume 5, No. 2, Desember 2016. Hal. 112.

[8] Prof. Dr. Sofyan S. Willis.  Konseling Individual Teori dan Praktek. Penerbit: Alfabeta, Bandung, 2017. Hal. 66.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like