Pengarang memiliki peran penting dalam menentukan keefektifan sebuah karya sastra. Hal ini terlihat jelas dalam karya-karya sastra yang mengangkat konflik dan klimaks secara eksplisit. Dalam konteks ini, Tulisan ini berfokus pada novel ‘Tanah Surga Merah’ karya Arafat Nur, sebuah karya yang menggambarkan konflik lokal di Aceh dalam konfrontasi dengan pemerintah pusat Indonesia. Novel ini berhasil mendeskripsikan kronologi peristiwa dengan cara yang imajinatif, menggambarkan realitas sosial Aceh pasca-pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tulisan ini dilakukan untuk mengkaji lebih dalam tentang dinamika konflik politik yang digambarkan dalam novel, terutama dalam konteks politik Indonesia yang turbulen pada masa Orde Baru. ‘Tanah Surga Merah’ tidak hanya mencerminkan bentrokan politik tetapi juga latar sosial yang mewakili situasi Indonesia pada zaman tersebut.
Di dalam novel ‘Tanah Surga Merah’, diperlihatkan adanya perlawanan sosial yang signifikan terhadap kebijakan Orde Baru, termasuk pemaparan tentang perkembangan partai lokal di Aceh. Novel ini menggambarkan perbedaan kelas sosial di Aceh melalui tokoh utama, Murad, yang memiliki empat ideologi: politik, gerakan, agama, dan kesejahteraan keluarga. Dominasi aparatur negara, baik secara ideologis maupun opresif, terlihat melalui pengaruh tokoh Murad dan praktik aparatur negara yang didominasi oleh Partai Merah di Aceh.
Dampak ideologi dan aparatur negara dalam ‘Tanah Surga Merah’ mencakup aspek-aspek seperti kekerasan Partai Merah terhadap masyarakat, degradasi moral generasi penerus, kerusakan sistem ekonomi, dan dampak terhadap kehidupan keluarga. Murad, yang awalnya seorang pejuang, kini menjadi buronan Partai Merah dan polisi karena dianggap sebagai pemberontak. Novel ini tidak hanya mengungkap konflik politik tetapi juga konflik sosial yang mendalam di Nangroe Aceh Darussalam.
Tulisan ini juga akan membahas konsep ideologi dan aparatur negara dalam konteks pemikiran Wellek dan Warren terhadap ideologi politik. Contohnya, kutipan berikut dari novel ‘Tanah Surga Merah’ menggambarkan pengaruh ideologi Partai Merah: “Sepanjang pandangan yang dapat kulihat di depan terminal adalah tebaran bendera-bendera Partai Merah, partai yang berkibarkan dengan tumpahan darah, sebagaimana juga kibaran bendera negara-negara tiang-tiang kayu pancangnya yang menancap di sepanjang pinggiran jalan raya mengarah ke jantung kota,” (Arafat Nur, 2016: 8).
Dalam novel, fungsi aparatur negara, baik ideologis maupun represif, didominasi oleh tokoh Murad dan aktivitas aparatur negara yang represif cenderung dikendalikan oleh Partai Merah. Pendekatan aparatur negara ideologis terutama terlihat di bidang pendidikan, di mana pendidikan digunakan sebagai alat feodal, bukan untuk kemajuan warga negara.
Dari perspektif sosiologi sastra dan politik, novel ‘Tanah Surga Merah’ menawarkan wawasan tentang konflik nilai, komunikasi, kepemimpinan, peran, produktivitas, keseimbangan, dan konflik yang belum terselesaikan. Konflik sosial yang dialami oleh Murad dalam novel menjadi simbol dari masalah yang lebih luas dalam masyarakat. Oleh karena itu, Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana konflik tersebut dipengaruhi oleh koherensi kebijakan antara pemerintah daerah dan pusat.
Kesimpulannya, ‘Tanah Surga Merah’ oleh Arafat Nur bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga sebuah studi kasus tentang dinamika politik dan sosial di Indonesia, khususnya di Aceh, yang memperlihatkan pentingnya peran pengarang dalam menggambarkan realitas sosial dan politik.