Harmonisasi kehidupan, baik dalam dimensi yang lebih kecil (keluarga dan pergaulan sehari-hari) maupun dalam dimensi yang lebih luas (tatanan kehidupan bangsa, relasi lintas etnis, dan agama) bisa menjadi indikator dan barometer terhadap pemahaman dan implementasi dari “akhlak”. Satu pekan terakhir terma “akhlak” menjadi perbincangan hangat secara nasional, meskipun demikian, kami pun, pekan sebelumnya pernah membahas secara serius dalam sebuah kajian.
Dalam pemahaman untuk lingkup yang lebih luas, ultimate goals dari implementasi dan implikasi akhlak, bukan hanya untuk harmonisasi kehidupan an sich, tetapi lebih daripada itu, adalah “kemajuan” kehidupan. Salah satunya, bisa dipahami dalammelalui konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, “Indonesia ke depan bisa lebih maju, sejahtera, berdaulat dan berkeadaban”, sangat tergantung daripada akhlak para “elit” dan “anak” bangsa.
Ketika globalisasi dalam praxis adalah merupakan indikator dan konsekuensi logis dari sebuah perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, di satu sisi memberikan efektivitas dan efesiensi kerja. Dan pada sisi lain, globalisasi memunculkan berbagai problematika kehidupan yang efeknya bukan hanya pada dimensi yang bersifat umum (seperti tananan kehidupan global) tetapi sesungguhnya hari ini menyentuh dimensi yang lebih dalam, dimensi yang lebih kecil, dimensi domestik, bahkan menyangkut “selera makan” anak kecil sekalipun.
Kehidupan Globalisasi bukan hanya menghilangkan batas territorial antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, tidak bukhanya melahirkan homogenitas tetapi sekaligus melahirkan heterogenitas sebagai sesuatu yang paradoks. Bahkan jika memperhatikan frasa-frasa semiotik Yasraf Amir Piliang, globalisasi juga menghilangkan banyak batas-batas lainnya dan ini memiliki relasi “negatif” dengan akhlak.
Hilangnya “batas sosial”, sulit lagi membedakan antara mainan anak-anak dan orang dewasa; “batas ekonomi”, sulit membedakan antara kemajuan dan krisis ekonomi; “batas politik”, sulit membedakan antara sosok negarawan dan pecundang; dan bahkan hari ini, sesuai istilah saya sendiri telah hilang “batas religius-spritualistik”, sulit lagi membedakan antara orang ikhlas/tulus dan riya.
Selain batas–batas di atas, saya bisa tambahkan satu lagi tentang hilangnya “batas-batas”—sesuai dengan istilah saya sendiri—yang memiliki relasi kuat dan penegasan betapa “akhlak” terasa telah hilang dalam kehidupan.Batas yang saya maksud adalah “batas psiko-sosial”, hari ini, sering kita saksikan bersama, ketika seorang koruptor yang telah divonis terbukti bersalah, masih nampak percaya diri dan santai seakan “saraf malu”-nya telah putus dihadapan sorotan kamera. Atau mungkin ini efek alam bawah sadar akan “narsistik”,”individualistik” dan “viralistik”. Apalagi untuk persoalan viralisme sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang dari Jean Baudrillard (2011:134), pergeseran sudah sampai ke tahap keempat, tentang perkembangan nilai dalam masyarakat, yang disebutnya, “Fraktal” (atau viral). Yang penting dan pasti (di)“viral”(kan).
Akhlak bukan hanya harmonisasi kehidupan an sich, tetapi—bagi saya—terutama untuk “kemajuan”. Ketika Rhenald Kasali berbicara banyak hal tentang era disrupsi—yang bisa dimaknai—dampak lanjutan globalisasi, dan jika mencermati gagasan spektakuler Ary Ginanjar Agustian—terutama dalam buku ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan (2003)—maka bagi saya menjawab tantangan era disrupsi bukan hanya kemampuan dan kesiapan teknologi sains dan atau semua (ada sembilan) pilar Revolusi Industri 4.0 tetapi yang terpenting adalah termasuk “Akhlak”.
Bagaimana relasi antara akhlak dengan harmonisasi dan kemajuan kehidupan, sehingga saya berani menyimpulkan bahwa “akhlak adalah elan vital paradoks kehidupan globalisasi?. Dan bagaimana relasi antara akhlak dan era disrupsi, sehingga saya pun menyimpulkan bahwa menjawab tantangan era disrupsi termasuk akhlak?.
Eksistensi ajaran Islam atau bisa juga disebut pilar Islam ada tiga yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Ini bisa juga disebut dengan Iman, Islam dan Ihsan. Akhlak—yang dalam bahasa yang lebih umum di luar konteks Islam bisa juga disebut “karakter”—adalah kecenderungan hati (sikap/attitude) yang ditindaklanjuti oleh perbuatan (behavior). Hal ini ditegaskan oleh Dr. Asep Zainal Ausop, M.Ag (2014). Asep pun menegaskan bahwa ibarat pohon “Aqidah” adalah akarnya; “Syariah” adalah batang, ranting dan daunnya; dan “Akhlak” adalah buahnya.
Terkait akhlak—atau pun menggunakan istilah lain “karakter”—ada yang disebut akhlak al-karimah (akhlak terpuji) dan ada juga yang disebut akhlak al-madzmumah (akhlak buruk). Akhlak seringkali diidentikkan dengan perilaku (behavior) dan perilaku yang baik. Sehingga orang yang berperilaku buruk disebut “tidak berakhlak”.
Akhlak sesungguhnya—tidak seperti yang dipahami secara sempit selama ini—bukan hanya menyangkut tentang sopan santun, tutur kata, etika dan etiket yang ditemukan dalam lingkup kehidupan yang kecil/sempit (lingkup keluarga dan pergaulan sehari-hari dengan tetangga). Akhlak menyangkut banyak hal, termasuk bagaimana guru mendidik siswa, bagaimana aparatur negara menjalankan tupoksinya dan memberikan pelayanan prima bagi masyarakat. Begitupun aparat penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan tanpa memandang status sosial yang terlibat dalam sebuah perkara.
Bagi elit negara, dewan perwakilan rakyat, pejabat negara, akhlak berarti menjalankan amanah dengan penuh rasa tanggungjawab sesuai apa yang diamanatkan oleh konstitusi negara dan/atau terutama peraturan perundangan-undangan yang mengatur internal institusinya. Akhlak tanpa kecuali menjadi ukuran bagaimana elit negara memberikan teladan dalam berperilaku dan melahirkan narasi-narasi dalam ruang publik yang tidak menyesa(k/t)kan publik/masyarakat.
Akhlak tanpa kecuali, menjadi tuntunan perilaku bagaimana seorang ulama, memberikan teladan bagi umat dalam menjalin hubungan baik bagi internal umat beragama maupun dengan umat agama lain. Dan bahkan akhlak—sebagaimana Muhammadiyah telah memberikan keteladanan—termasuk perilaku/karakter dalam menyikapi pandemi Covid-19.
Sebagai salah bentuk akhlak dalam dimensi pemahaman yang lebih dalam sebagai sebuah spritualitas ihsan yang menyentuh aspek nalar irfani, Muhammadiyah tidak mau terjebak pada diksi “konspirasi” dan “tentara Tuhan” dalam merespon Covid-19 tetapi memberikan tindakan nyata dalam bentuk search, rescue dan recovery. Muhammadiyah menggelontorkan ratusan miliar dana dan menyiapkan fasilitas yang dimilikinya (terutama rumah sakit). Apa yang dilakukan Muhammadiyah. Ini adalah contoh konkret dari sebuah akhlak yang diperankan oleh elit, pimpinan Muhammadiyah.
Pelajar dan/atau mahasiswa sebagai bentuk realistik dan sesuai dengan jati dirinya, harus memiliki kesadaran dan pikiran-pikiran kritis, dan inipun dalam pandangan saya adalah merupakan akhlak/karakter dan atau bisa juga disebut spiritualitas ihsan dari seorang generasi muda sebagai harapan bangsa yang ditangannya diletakkan tongkat estafet masa depan bangsa dan negara. Sehingga ketika mahasiswa menjalankan fungsinya sebagai: agent of change, agent of analysis dan social of control, itu juga adalah karakter ideal atau dalam dimensi agama bisa disebut akhlak al-karimah (akhlak terpuji).
Ketika akhlak dipahami—embrionya—adalah kecenderungan hati (sikap/attitude). Begitupun ketika kita memahami karakter—salah satunya bisa dipahami dari buku Quantum Ikhlas Erbe Sentanu—yang embrionya adalah perasaan dan/atau pikiran (sebagai sebuah pemahaman progresif Sentanu yang dipantik dari Fisika Quantum). Maka baik terma “akhlak” maupun “karakter” tentunya bukan sesuatu yang lahir semudah dengan membalikkan telapak tangan. Sehingga jika “revolusi” terkesan tiba-tiba, cepat dan singkat, tidak melewati tahapan-tahapan tertentu dan seharusnya, maka apa yang hangat dengan frasa “revolusi akhlak”, tentunya kurang tepat.
Akhlak sebagai sebuah kecenderungan hati jika memahami gagasan Ary Ginanjar pada buku spektakuler pertamanya, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spritual; ESQ (2005) maka, persoalan “hati” menjadi poin penting untuk terlebih dahulu dibebaskan dari belenggu hati. Membebaskan hati dari belenggu hati agar “suara hati”:—yang dalam kesimpulan saya—Pertama, mengajak kita kepada kebaikan; dan kedua, mencegah kita dari keburukan, akan senantiasa terdengar secara jernih.
Belenggu hati yang dimaksud—berdasarkan apa yang saya pahami dari pandangan Ary Ginanjar—yaitu: Prasangka negatif;Prinsip hidup yang salah (atau kurang tepat); Pengalaman negatif; Kepentingan dan prioritas yang lebih berorientasi pribadi/material/pragmatis; Sudut pandang yang sempit dan sepihak, linear dan monodisiplin; Pembanding yang salah, sempit dan sesaat; dan literatur yang terbatas dan metodologi pemahaman yang linear dan monodisiplin. Terkait belenggu hati, saya sarankan kepada pembaca untuk membaca buku ESQ Ary Ginanjar.
Hati yang jernih tentunya senantiasa menampakkan kecenderungan yang baik yang berikutnya menentukan akhlak. Begitupu pun perasaan dan/atau pikiran yang baik dan jika terus dilakukan, dipertahankan dan dibiasakan akan melahirkan karakter yang baik. Menjaga perasaan dan pikiran-pikiran positif akan dalam jangka waktu tertentu akan menentukan lahirnya karakter positif.
Harmonisasi dan kemajuan adalah tentunya merupakan sesuatu yang baik dan positif, dan mustahil bisa menjadi pilihan dan perilaku hidup ketika hati, perasaan dan pikiran tidak mendapatkan pencerahan, penjernihan, penyucian terlebih dahulu, termasuk dengan literatur-literatur. Dalam konteks agama Islam, salah satu literatur yang terbaik adalah Al-Qur’an dan sunnah.
Ketika akhlak dan/atau pun karakter dimaknai lebih dalam dan lebih luas sebagai spiritualitas ihsan, maka daya jelajahnya bukan hanya meresap dalam jiwa, menyentuh dimensi esoterik dan eksoterik sekaligus, menjangkau dimensi transendental dan imanen, termasuk menjadi spirit untuk mempersembahkan prestasi, kreatifitas dan inovasi terbaik dalam kehidupan empirik.
Ihsan didefenisikan an ta’buda al-Allah ka annaka tarahu, wa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (Hendaklah kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, dan seandainya kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu). Dari defenisi ini—apalagi jika kita memahami tentang misi mulia manusia sebagaimana pandangan Quraish Shihab (1. Beribadah, 2. Khalifah dan 3. Berdakwah), maka saya memahami, idealnya apapun aktivitas hidup kita baik dalam dimensi yang kecil, kehidupan keluarga maupun dalam dimensi yang lebih luas kehidupan idealnya harus dalam bingkat “ridho Allah”. Dan selain daripada itu yang saya maknai dari “misi mulia manusia yang kedua: “khalifah” maka selalu berorientasi pada kemajuan. Bagi saya pemaknaan progresif tentang “khalifah”, adalah adalah sebuah perilaku dan kecenderungan sikap untuk senantiasa mengarahkan potensi, diri, alam dan segala hal yang mengitari ke arah yang lebih positif.
Bahkan berdasarkan apa yang diuraikan oleh Ary Ginanjar Agustian pada buku keduanya,hasil penelitian berdasarkan kesuksesan luar biasa yang diraih oleh para pemimpin bisnis kelas dunia, seperti Soichiro—pendiri Honda Motor dan pemimpin dari 43 perusahaan di 28 negara—dan Konosuke Matsuhita—pemimpin bisnis raksasa kelas dunia Grup Matsushita—“karakter powerful leader” sesungguhnya adalah karena mereka semua—dalam pandangan Ary Ginanjar Agustian—menjadi ihsan sebagai core value. Spiritualitas Ihsan menjadi dorongan (drive) dalam rangka mewujudkan harapan, mempersembahkan kehidupan yang lebih baik.
Jika memahami dari Amin Abdullah yang dipertegas ulang Zakiyuddin Baidhawy dan Azaki Khoirudin (2017), saya memaknai bahwa kehidupan globalisasi hari ini, kita sedang dalam episteme sosial kosmopolitan dan tentunya dituntut etika kosmopolitan dan disinilah dibutuhkan spiritualitas ihsan—yang berkemajuan—. Dan bahkan sebagaimana yang saya pahami, bahwa hal ini bisa pula berfungsi untuk menjadi drive pengawasan sosial dan untuk mengurangi tata kelola negara yang diwarnai dengan perilaku negatif seperti korupsi sebagai perilaku yang menghancurkan bangsa.
Betapa luasnya persoalan akhlak, karakter ataupun yang dikenal dengan ihsan apalagi, spiritualitas ihsan yang berkemajuan. Dan ruang yang sangat terbatas ini (bukan karena keterbatasan referensi dan waktu), sehingga sulit rasanya untuk membahas lebih detail. Namun yang pasti akhlak adalah elan vital menghadapi paradoks kehidupan globalisasi.
judul ini adalah judul “Kajian Follow Up” yang dilaksanakan oleh Pimpinan Komisariat (Pikom) Peternakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Muhammadiyah Bulukumba.
Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023