Membahas pemikiran Antonio Gramsci orang harus berhati-hati. Waktu ia membuat catatan-catatan dalam penjara, ia tidak mempunyai perangkat yang memadai. Karena itu, gagasan-gagasannya tidak ditulis secara teratur dalam urutan logis. Kadang-kadang Gramsci kelihatan bertentangan dengan dirinya sendiri. Baru penerbit-yang hanya menyeleksi sekitar seperlima dari semua catatan itu mengatur teks-teks itu menurut tema-tema pokok. Namun, tetap masih mungkin bahwa beberapa dari interpretasi di atas pernah harus dikoreksi.
Yang langsung mencolok adalah kedekatan Gramsci dengan Lenin yang sekaligus memperlihatkan betapa jauhnya ia darinya. Sama seperti Lenin, Gramsci menolak ekonomisme dan menegaskan peran kunci tekad revolusioner. Dari Lenin ia mendapat gagasan pertama tentang peran kunci kaum intelektual dan perlunya sebuah partai. Perlunya proletariat mencapai hegemoni atas kelas-kelas lain diperolehnya dari Lenin. Bersama Lenin, Gramsci tidak percaya bahwa buruh dapat mewujudkan sosialisme melalui aturan main demokrasi. Sama dengan Lenin, Gramsci menegaskan peran kunci kemauan revolusioner.
Kendati demikian, sekaligus Gramsci justru jauh dari Lenin. Menurut Gramsci, kaum intelektual organik bukanlah pemilik teori yang benar yang harus mereka masukkan dari atas ke dalam kelas buruh. Mereka mengatakan dalam bahasa budaya tinggi apa yang dirasakan dan menjadi hasrat kelas buruh. Mereka secara intelektual berasal dari kelas buruh. Begitu pula Gramsci menolak pengertian partai sebagai pemilik eksklusif kesadaran benar yang karena itu harus memimpin kelas buruh. Pendidikan kaum buruh atas prakarsa partai tidak berarti menyuntikkan ke dalam mereka kesadaran dari luar, melainkan membuat mereka sadar akan implikasi kesadaran yang sudah ada pada mereka serta atas segi-segi perjuangan. Karena itu, bukan partai yang menjadi kunci dalam revolusi sosialis, melainkan dewan-dewan buruh. Dewan buruh, dan bukan partai, yang harus melaksanakan kediktatoran proletariat selama diperlukan. Dan kalau Marxisme menurut Lenin dianggap sebagai teori yang secara objektif dan saintistik benar, Gramsci menegaskan bahwa bicara tentang “kebenaran” sebuah teori selalu hanya masuk akal dalam kaitan dengan sebuah praktik pembebasan.
Hegemoni pada Gramsci bukan sekadar memastikan bahwa buruh lebih berkuasa daripada kelas-kelas lain yang menjadi sekutunya, melainkan membangun suatu kekuasaan berdasarkan konsensus sungguh-sungguh. Bukan perebutan kekuasaan yang lalu dipakai untuk menindas para “musuh revolusi” yang menjadi fokus Gramsci, melainkan perebutan pikiran dan hati masyarakat oleh pandangan dunia, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan kaum buruh.
Karena itu, pada Gramsci kita seakan-akan dapat mengintip janji sebuah revolusi sosialis yang lain daripada yang menjadi model komunis, yang tidak sekadar berdasarkan paksaan, karena sudah tercapai sebuah konsensus luas di antara kelas-kelas dalam masyarakat.
Apakah Gramsci masih seorang Marxis ortodoks? Gramsci menolak anggapan Engels, Kautsky, dan Lenin bahwa Marxisme merupakan teori ilmiah tentang hukum-hukum masyarakat, hal mana juga berarti bahwa tidak ada makhluk yang namanya sosialisme ilmiah. Ia menolak bahwa kehancuran kapitalisme dan kemenangan sosialisme merupakan perkembangan niscaya. la menolak kerangka “basis-bangunan atas”, khususnya bahwa perkembangan alat-alat produksi merupakan faktor penentu dalam perubahan masyarakat. Ia menyangkal bahwa alam pikiran dan budaya sekadar bangunan di atas bidang ekonomi. Baginya, seperti juga bagi Habermas, perubahan dalam pandangan dunia, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan masyarakat menentukan arah perubahan masyarakat dan bukan perkembangan dalam bidang ekonomi. Tidak banyak yang tinggal dari sendi-sendi Marxisme klasik.
Namun, jelas sekali bahwa Gramsci seorang sosialis tulen. la betul-betul percaya bahwa sosialisme-meskipun tidak datang secara otomatis-merupakan pola masyarakat masa depan. la sedikit pun tidak meragukan bahwa sosialisme adalah bentuk pengorganisasian perekonomian yang paling sesuai dengan harkat dan potensi-potensi manusia, jadi yang menjamin sebuah eksistensi yang betul-betul manusiawi. Dan meskipun ia menolak ramalan, dalam kenyataan ia terikat pada sebuah filsafat sejarah yang memandang sosialisme sebagai tujuan akhir perjalanan umat manusia. Gramsci juga yakin akan peran kunci kelas buruh dalam menciptakan masyarakat baru. Buruhlah yang akan menjatuhkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Buruh adalah kelas masa depan.
Di situ terletak keterbatasan Gramsci yang sebenarnya juga tidak mengherankan, mengingat situasi di mana ia menulis, yaitu di penjara dan sebelum “tinggal landas” masyarakat industri maju sesudah Perang Dunia II. Yang tidak dapat dibayangkannya ialah bahwa kelas buruh sendiri pernah tidak akan ada lagi. Sekarang di negara-negara industri maju-yang semua sudah meninggalkan tahap industrial-kelas buruh dalam arti tradisional semakin menguap, bersamaan dengan dominasi bidang pelayanan. Begitu pula globalisasi dan kesadaran akan keterbatasan daya tampung bumi, ditambah dengan kesenjangan internasional yang semakin tajam, menciptakan masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan sebuah hegemoni kelas buruh. Bahkan kita tidak dapat membayangkan apa arti hegemoni kelas buruh dalam dunia hampir 80 tahun sesudah Gramsci. Keterbatasan itu tidak mengurangi arti Gramsci sebagai pemikir yang mengembalikan pengakuan terhadap faktor budaya ke dalam khazanah Marxisme, yang tegas-tegas menolak model kepemimpinan sebuah partai di atas masyarakat berdasarkan klaim atas monopoli pemilikan sebuah ideologi yang merupakan kebenaran akhir tentang umat manusia. Dalam arti ini Gramsci mengembalikan sikap hormat terhadap harkat kemanusiaan masyarakat ke dalam Marxisme.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.