“Terjadinya Korupsi bukan sekedar masalah kriminal atau pelanggaran hukum, melainkan soal politik yang tidak bermoral”
Dalam kehidupan bernegara, 80 hingga 90 % aktivitas kita (manusia) di tentukan oleh kebijakan Negara, dan setiap kebijakan Negara sudah barang tentu lahir dari dinamika dan pergulatan politik.
Sehingga politik sudah barang tentu dipahami sebagai cara meraih kekuasaan Negara secara sah. Kesalahan kebijakan atau keputusan politik akan berakibat pada penindasan kemanusiaan, sebab manusia dan kemanusiaannya tidak bisa dipisahkan seutuhnya dari kebijakan Negara, di mana setiap kebijakan Negara sudah tentu disebabkan oleh pergulatan dan dinamika politik itu tadi.
Oleh karenanya dalam berpolitik manusia dituntut untuk meninggikan moralitas sebagai pegangan dalam menentukan kebijakan Negara. inilah seharusnya antara politik dan etika dalam hal ini moralitas harus berjalan beriringan. Sebagaimana kata Martinus D Situmorang “politik yang baik adalah politik yang beretika dan menjadi politikus (orang yang berpolitik) yang baik adalah politikus yang bermoral”.
Secara normatif, orang yang berpolitik akan mendapat dukungan dari rakyat apabila dia mampu mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh tatanan masyarakat, bukan hanya untuk kelompok, atau pribadi[1].
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini kita pernah disuguhkan tentang bagaimana bermoral yang dikemas melalui kurikulum pendidikan kita di tahun 90-an (kurikulum berbasis kompetisi/KBK) yakni “Pendidikan Moral Pancasila (PMP)”, tentu dalam outcame maupun output nya, ini bertujuan untuk menjadikan bangsa ini tidak sekadar bermartabat tetapi juga bermoral dan beretika. Kemerosotan moral para pemegang kuasa sudah pasti berdampak pada kemerosotan kesejahteraan Negara dan kemanusiaan (rakyat).
Tidak begitu nyaman dewasa ini berbicara tentang politik sebagai sebuah medan pengabdian, disebabkan berbagai tindakan “ceroboh” yang dipertontonkan oleh para elite politik telah menjadi cemooh tersendiri bagi dunia politik.
Perlombaan untuk mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan umum, korupsi yang menggerogoti hampir semua elemen politik, serta berbagai perilaku tidak pantas lainnya yang didukung oleh kekuasaan politik tidak jarang mengundang sinisme yang pada gilirannya membuat “politik” dipandang rendah seakan hanya layak bagi manusia tidak bermoral.[2]
Berbagai perilaku tidak pantas itu seakan menjadi anti klimaks moralitas politik yang ditanamkan oleh para pendiri bangsa. Hal ini tentu mencederai cita cita para leluhur pejuang bangsa ini. Yakni “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”
Kemerdekaan politik dan kebebasan moral merupakan nilai yang fundamental bagi manusia. Kebebasan menjadi tanda atas martabat manusia; tanpanya manusia tidak dapat mengalami dan melihat diri sebagai manusia dalam arti seutuhnya. Itulah sebabnya, seorang penjahat misalnya, meskipun sangat sadar akan perilaku kejahatannya, dia selalu berusaha membela diri bahkan menyangkal kejahatan yang dituduh padanya.
Seberapapun kualitas keadilan yang mendasarinya, hukuman selalu berarti pembatasan atas kebebasan. Kesadaran moral seperti ini pula yang dimiliki para pejuang kemerdekaan di negeri ini ketika meringkuk di bawah penjajahan bangsa asing.
Pada tradisi helenisme misalnya, kita belajar untuk menjadi warga Negara dalam arti tertentu sudah merupakan sebuah keniscayaan. Manusia dipaksa dan menerima tanpa harus mengela untuk hidup dalam suatu masyarakat politik.
Sebagaimana kata Aristoteles manusia adalah “mahkluk politik (zoon politikon)”, status manusia sebagai mahkluk politik sudah tentu harus menerima hukum Negara di mana dia mendapatkan gelar sebagai warga Negara. Bersikap apolitik itu berarti membiarkan nasib kita di tentukan secara sepihak oleh orang lain. Namun ini tidak semestinya dipahami secara determines sebagaimana seorang anak yang mau tidak mau harus menerima untuk menjadi anggota dari keluarga tertentu karena dilahirkan oleh orang tua tertentu.
Mesikpun hal ini tidak dapat dipungkiri ketidakmungkinan seorang individu hidup tanpa Negara, akan tetapi sebagai individu, kita tidak mesti terpenjara dalam Negara tertentu. Dia pada prinsipnya selalu punya pilihan untuk menjadi warga Negara yang dia kehendaki. Sebab Negara bagi manusia bukan sekedar tempat tinggal melainkan jalan kehidupan.
Sebagai jalan kehidupan, sudah barang tentu ini memberi ruang bagi setiap individu berlomba mengungkapkan diri serta menunjukkan kemampuannya. Ruang di mana keterbukaan pendapat dan kebijakan dianut. meminjam bahasa Hannan Arendt “hanya dengan keterbukaan untuk berbicara satu sama lain secara beradab dengan kepentingan berbeda dapat diaomodasi secara fair”[3].
Maka keterlibatan dalam politik menjadi penting karena dengan cara demikian, sebagai warga Negara kita mendapat peluang untuk ikut mempengaruhi bahkan memberi arahan akan kebijakan kebijakan public sesuai dengan ide ide yang diharapkannya. Sehingga politik akan menjadi medan memperjuangkan nilai-nila (moralitas baik etika dan estetika) yang oleh individu bahkan kelompok dipandang penting demi kemanusiaan.
Dengan demikian, apabila moralitas dipandang penting bagi kemanusiaan maka keterlibatan politik menjadi sangat penting. Melalui keterlibatan politik, cita-cita kesejahteraan umum dan keadilan sosial, serta ketertiban dunia dapat terlaksana. Tentu saja di sini kita harus membedakan dengan tegas antara keterlibatan politik dalam arti umum dan keterlibatan politik sebagai anggota partai politik. Sebab setiap individu manusia dapat memilih jalannya sendiri akan kehendak dan keterlibatan berpolitik. Apapun media keterlibatan berpolitik yang menjadi kehendak setiap individu akan sangat bermanfaat dan ikut mempengaruhi serta mengarahkan kebijakan publik selaras dengan kemanusiaan. Itulah cita-cita dari moralitas politik.
[1] Lihat pengantar Martinus D. Situmorang. Dalam Buku Politik Katolik; Politik Kebaikan Bersama: Penerbit OBOR. November 2008
[2] Pada tahun 2019, ICW mencatat ada 271 kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan agung, kepolisian dan komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan jumlah tersangka 580 orang, kerugian negara mencapai Rp.8,4 triliun, jumlah suap sebesar Rp 200 Milyar, pungutan liar Rp 3,7 milyar dan jumlah pencucian uang Rp 108 milyar.
[3] Hannah Arendt ; The Human Condition (Chicago & London: The University of Chocago Press, 1958), hlm.26