Era Orde Baru telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan panjang bangsa ini dalam menata kehidupan bernegara. Pola otoriter pemerintah dalam mengelola pemerintahan merupakan hal yang mewarnai potret kepemimpinan waktu itu. Selama masa Orde Baru pemerintah menjadi institusi yang cukup super power yang tidak tertandingi oleh siapapun, dan bahkan saat itu lembaga legislatif juga tidak berdaya terhadap pemerintah.
Mekanisme sistem saling mengawasi dan mengimbangi (cheks and balances system) tidak dapat berjalan sama sekali sehingga masa itu pemerintah menjadi hegemoni atas negara sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah harus dipatuhi. Semua urusan penyelengaaraan negara mampu diintervensi oleh negara bahkan negara juga mampu mengintervensi lembaga-lembaga negara yang sifatnya independen. Misalnya seperti halnya KPU, di mana pemerintah menjadi bagian dari sistem dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Selain itu pemerintah Ore Baru juga kerap menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dengan membuat pemikiran publik bahwa pemerintah berkuasa atas segalanya sampai-sampai tidak ada berani yang menkritik negara. Siapapun yang berani mengkritik dan membahayakan negara maka pemerintah secara cepat akan menyingkirnya.
Harus diakui jika pemerintah yang terlalu kuat tidak akan bagus bagi sistem penyelenggaraan negara. Hilangnya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi menciptakan munculnya kekuasaan hegemoni yang mampu menekan dan mendikte atas lembaga lainya. Sudah hampir 20 tahun lebih masa itu telah dilewati, namun nampaknya ada aroma yang menunjukkan gejala jika apa yang terjadi pada era Orde Baru akan mulai muncul kembali. Jika ini benar adanya maka ini akan menjadi babak baru atas masa Orde Baru gelombang kedua. Tentu semua orang tidak mau mengulang kembali atas hegemoni pemerintah.
Jika kita amati gejala-gejala tersebut nampaknya sudah cukup jelas jika pemerintah anti kritik yang terefleksikan masa Orde Baru bermunculan. Teranyar ada bebarapa kasus yang menjadi pembicaraan publik dan hal tersebut menciptakan kebingungan publik bahwa dalam situasi saat ini mengapa pemerintah justru anti kritik. Sebuah pertanyaan besar apakah negara yang anti kritik mengindikasikan sistem atas negara yang ingin membuat benteng pembatas yang sangat tebal antara publik dengan penguasa? Jika itu benar adanya apakah ini akan mengancam masa depan demokrasi?
Penulis memiliki argumen jika dalam sebuah negara phobia terhadap kritik publik tentu dapat diinterpretasikan secara lebih luas. Setiap orang dengan segala kapasitasnya pasti memiliki cara pandang yang berbeda mengapa sebuah negara tidak siap terhadap kritik. Semestinya dengan adanya kritik publik justru ini akan menjadi cambukan bagi negara agar selalu berbenah menata sistem penyelenggaraan negara yang lebih baik lagi. Berbagai spekulasi yang muncul di tengah publik terhadap negara yang phobia kritik harus diakui jika itu merupakan yang yang mesti terjadi. Secara umum penulis berpendapat jika ada beberapa kemungkinan mengapa sebuah negara begitu phobia terhadap kritik publik.
Kemungkinan pertama yakni jika negara yang phobia terhadap kritik karena berkaitan dengan masalah power (kewenangan). Tentu dalam sebuah negara power menjadi penting dimiliki di dalam menjalankan tugas berbangsa dan bernegara. Melalui power yang melekat dalam dirinya maka akan memudahkan negara dalam mengatur dan mengurus keperluan publik mengingat negara sebagai penyedia pelayanan baik jasa ataupun barang publik.
Tetapi yang mesti diingat adalah setiap negara pasti akan cenderung menguatkan powernya agar lebih terlihat adikuasa dalam mengatasi persoalan. Oleh karena itu penulis ingin mengemukakan jika negara yang phobia terhadap kritik publik sebenarnya negara ingin membangun sebuah kekuatan yang lebih kuat yang menempatkan posisi publik sebagai objek formalitas semata keberadaanya. Kritik publik diberangus dengan power yang dimilikinya sehingga terbangun sebuah negara dengan pola pengaturan otoriter dan sentralistik. Negara menjadi kekuasaan tunggal yang takada tandinganya sehingga kewenangan penuh akan selalu digenggam.
Kemungkinan kedua mengapa negara phobia terhadap publik karena berkaitan dengan persoalan kepentingan politik. Aristoteles (348-322 SM) pernah menyebut jika negara dengan sistem demokrasi dijuluki sebagai mobocracy. Artinya bahwa negara sebetulnya diatur atau dipimpin oleh segerobolan orang di mana orang tersebut sebagai mandataris rakyat. Di samping mereka memiliki tugas dan tanggung jawab besar di atas kepentingan publik maka harus dilihat jika sebenarnya mereka memiliki kepentingan politik kelompok tertentu untuk mencapai sebuah tujuan.
Oleh karena itu phobia terhadap kritik sebenarnya menjadi stimulus dan katalisator negara agar di dalam membangun dan mewujudkan kepentingan politik dapat dilakukan dengan mudah tanpa ada gangguan-gangguan yang mampu menggagalkan tujuanya tersebut. Oleh karena itu memang apa yang dikatakan Aristoteles jika sistem demokrasi tersebut pada dasarnya sistem bobrok yang rentan terhadap persoalan elit dengan memberangus kritik publik yang hingga akhirnya terjadilah chaos antara government dan society. Inilah sistem demokrasi yang sesungguhnya di mana tidak akan lepas dari masalah baik di tingkat atas maupun grass root.
Kemungkinan ketiga berkaitan persoalan patologi birokrasi yang telah mendarah daging. Sudah menjadi hal yang lumrah jika negara phobia terhadap kritik sebenarnya untuk menutupi praktek-praktek patologi birokrasi. Setiap kinerja pasti memiliki ukuran dan ukuran tersebut akan berujung pada penilaian publik. Munculnya penilaian publik inilah yang kadang kala akan menjadi sebuah ganjalan bagi pemerintah. Jika publik menilai baik maka tentu pemerintah akan berbangga diri bahwa apa yang telah dilakukanya telah berhasil, padahal menurut penulis bahwa selama negara masih ada maka harus terus menerus melakukan perbaikan.
Namun disisi lain jika penilaian publik buruk atas penyelenggaraan negara maka ini akan membahayakan negara karena publik telah cerdas menilai bahwa apa yang dilakukan negara selama ini gagal . Ketika publik mengetahui bahwa pencapainya buruk maka akan terbongkarlah isi penyelenggaraan negara yakni “patologi birokrasi”. Penulis ingin mengutarakan jika phobia kritik sebenarnya juga menjadi jalan untuk menutupi patologi birokrasi yang selama ini masih banyak yang terbungkus rapat dan tak terlihat publik.
Oleh karena itu harus disadari jika phobia negara atas kritik merupakan sebuah ancaman yang sangat serius bagi masa depan negara. Apalagi dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia maka kritik menjadi sangat diperlukan dalam membangun negara yang tetap berjalan di atas kepentingan publik. Pemberangusan kritik menunjukkan ketidakberdayaan negara bahwa mereka tidak siap untuk menerima masukan yang membangun negara. Ini tentu telah menciderai nilai-nilai demokrasi dan dinilai telah jauh melenceng dari kaidah norma demokrasi yang terkenal dengan mengedepankan kritik publik.
Sistem demokrasi dibangun atas kritik publik bukan menghindari kritik karena itu resiko negara sebagai mandataris rakyat. Menolak kritik sama halnya negara telah mengingkari jika sebetulnya mereka merupakan representasi kepentingan rakyat atas nama rakyat dengan alat yang dinamakan negara. Oleh karena itu hegemoni negara ditandai dengan banyak gejala salah satunya phobia kritik publik. Ini tentu sangat beresiko terhadap kualitas sistem demokrasi yang tengah dijalankan.
Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta