Dibalik Diam dan Menyendirinya Seorang Pria

Masyarakat yang aktif menggunakan sosial media pasti tidak asing dengan ungkapan “Pria Tidak Bercerita”, sebuah ungkapan yang telah menggema di penjuru Indonesia. Ungkapan ini, menggambarkan bagaimana seorang Pria harus selalu kuat dalam hari-harinya. Seringkali seorang Pria memilih diam dan menyendiri ketika mendapati masalah yang dilaluinya.

Seorang Pria juga seringkali tak mengharapkan dan menghiraukan belas kasihan untuk dirinya. Ditambah lagi stigma masyarakat yang sebagian besar berharap lebih kepada seorang Pria. Akan tetapi, apakah pria harus selalu dituntut untuk kuat, tak perduli belas kasih, diam, bahkan menyendiri?

Apakah Pria dikatakan lemah kalau bercerita? Ataukah Pria malu dan gengsi untuk menceritakan masalahnya? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu berkutat dan menghantui pikiran saya.

Mengapa Pria Tidak Bercerita?

Dengan konsep kesetaraan gender, saya lantang mengatakan tidak setuju dengan ungkapan “Pria Tidak Bercerita”. Bagi teman-teman yang setuju dengan ungkapan itu, saya dapat menyimpulkan bahwa teman-teman menganut konsep maskulinitas dan Ideologi patriarki yang fanatik.

Ideologi patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam berbagai aspek. Dalam sistem ini, laki-laki sering dianggap sebagai figur dominan yang harus kuat, rasional, dan berorientasi pada kepemimpinan, sementara perempuan sering kali dikonstruksi sebagai individu yang lebih emosional dan bergantung pada laki-laki.

Ideologi patriarki inilah yang membentuk ekspektasi bahwa pria harus selalu kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan, termasuk dalam hal perasaan dan emosi. Ditambah lagi konsep maskulinitas yang sering dihubungkan dengan kekuatan, keberanian, dan ketangguhan terhadap seorang Pria. Konsep ini telah lama ada dan berkembang di masyarakat Indonesia sehingga membelenggu seorang Pria.

Pentingnya Bercerita

Dalam realitas kehidupan, keterbukaan dalam berbagi cerita justru dapat menjadi jembatan bagi kesehatan mental dan emosional seseorang. Sejalan dengan hal itu, American Psychological Association (APA) juga menekankan bahwa mengekspresikan emosi secara verbal dapat mengurangi beban psikologis dan meningkatkan kesejahteraan mental.

Oleh karena itu, Pria yang memilih untuk berbicara tentang perasaan dan permasalahan yang dihadapinya memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan dukungan emosional, baik dari keluarga, teman, maupun pasangan. Sebaliknya, menekan emosi dan terus menyendiri hanya akan memperburuk kondisi psikologis, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kesehatan mental, bahkan fisik.

Sejujurnya pria lebih rentan dibanding wanita. Hal ini didasari pada Data Mikro Susenas bulan Agustus tahun 2022  yang diolah oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas. Mereka  menyimpulkan bahwa seorang Pria lebih dominan terkena ganguan kesehatan mental dibandingkan Wanita dengan jumlah presentase 61% untuk Pria dan 39% untuk Wanita. Hal ini dapat  terjadi karena stigma di masyarakat sudah berkembang pesat, sehingga pria harus dipaksa kuat dan enggan bercerita.

Kemudian,  kasus seorang Pria di Banyuwangi yang mencoba melakukan percobaan bunuh diri. Pria tersebut memanjat sebuah tower pada pukul 02.00 dini hari dan mencoba untuk terjun ke bawah. Akan tetapi, sebelum Pria tersebut terjun, Damkar telah tiba di lokasi kejadiaan dan mencoba melakukan pendekatan yang intim. Selang beberapa menit, Damkar berhasil mengamankan Pria tersebut dengan ajakan ngopi, merokok, dan bercerita. Usut punya usut, Pria tersebut depresi karena masalah percintaan.

Kasus ini sebagai contoh, bagaimana pentingnya seseorang yang dapat diajak bertukar cerita atas masalah-masalah yang dihadapi, tanpa memandang gender. Bagi saya, Pria dan Wanita memiliki hak yang sama dan tak ada yang berbeda. Pria bisa menjadi pemimpin, Wanita juga bisa. Wanita boleh bercerita, Pria juga boleh bercerita.

Rokok dan Kopi

Bagi sebagian pria, rokok dan kopi bukan sekedar kebiasaan biasa. Rokok dan kopi telah menjadi riual mereka dalam meredakan beratnya beban kehidupan. Pria, ketika sedang menghadapi masalah yang datang silih berganti, entah itu itu tekanan pekerjaan, konflik keluarga, atau sekadar keresahan batin secangkir kopi dan sebatang rokok sering kali menjadi pelarian sederhana.

Rokok, dengan kepulan asapnya yang perlahan menghilang di udara, seperti metafora bagi masalah yang ingin dilupakan sejenak. Setiap tarikan napas yang disertai nikotin memberi sensasi tenang, seakan menyisihkan kekacauan yang berputar dalam kepala. Sementara itu, kopi disertai kafein dan pahitnya yang khas, menghadirkan kesadaran bahwa hidup memang tak selalu manis, tapi tetap bisa dinikmati. Perpaduan antara nikotin dan kefein ini, mampu menghadirkan efek psiokologis yang  sementara mengurangi perasaan stres dan cemas.

Di tengah rutinitas yang menekan, seorang pria seringkali duduk sendiri di sudut warung kopi atau beranda rumah, dan ditemani secangkir kopi dan rokok. Hal ini sebagai momen refleksi bagi mereka. Pria yang seringkali dituntut untuk kuat mencoba meluruskan pikiran yang semula kusut menjadi perlahan lebih terurai.  Bahkan sering kali solusi datang justru di tengah kepulan asap dan tegukan terakhir. Tak heran, banyak pria menjadikan kombinasi ini sebagai teman setia dalam menghadapi realitas.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ini hanyalah pelarian sementara. Rokok dan kopi tidak akan benar-benar menyelesaikan masalah. Kopi dan rokok hanya memberi jeda agar seseorang tak langsung tenggelam dalam tekanan. Pada akhirnya, solusi sejati tetap harus ditemukan dengan tindakan nyata, bukan hanya dalam kepulan asap dan pahitnya kopi.

Tapi satu hal yang pasti, bagi banyak pria, rokok dan kopi adalah teman setia dalam menghadapi peliknya hidup. Mereka bukan jawaban atas segala permasalahan, tetapi cukup menjadi jeda yang memberi ruang untuk berpikir, bernapas, dan akhirnya, melangkah kembali.

Budayakan Simpati dan Empati

Zaman sekarang yang serba modern sudah selayaknya meninggalkan stigma bahwa pria tidak boleh bercerita, selalu diam dan menyendiri dalam menghadapi masalah, serta dipaksa kuat oleh keadaan yang dihadapi. Sebab, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi, interaksi dan bantuan. Seseorang yang mampu mengungkapkan perasaan dengan jujur, tidak hanya membantu dirinya sendiri tetapi juga mengajarkan nilai empati kepada orang lain. Selain itu, berbicara juga dapat membantu mengatasi perasaan terasing dan mengurangi risiko stres atau depresi yang mungkin tidak disadari. Dengan bercerita juga, seseorang mampu memberikan solusi-solusi yang bisa saja membantu oleh lawan bicara.

Oleh karena itu, kita perlu menghilangkan budaya yang menganggap Pria selalu kuat. Sudah sebaiknya menerapkan budaya simpati dan empati. Di mana setiap individu tanpa memandang gender dapat merasa aman dan nyaman dalam berbagi cerita. Hanya dengan begitu, kita bisa mencapai kesetaraan emosional yang sesungguhnya dan memastikan bahwa setiap orang mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dalam menghadapi kehidupan.

Adhitya Eka Saputra merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022 Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini berumur 20 tahun dan lahir di kota Samarinda. Saat ini berdomisili di kota Sleman. Bergelut dalam bidang bahasa sebagai jurusan di bangku kuliah membuatnya tertarik dalam dunia sastra dan kepenulisan. Beberapa pengalaman, menulis pada media masa digital, salah satunya nolesa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like