Sun Tzu dan Carl von Clausewitz adalah dua pemikir militer paling monumental dalam sejarah. Sun Tzu, yang diyakini hidup pada abad ke-5 SM di Tiongkok, dikenal melalui karyanya Bingfa atau The Art of War, sebuah risalah taktik dan strategi yang menggambarkan perang sebagai seni yang elegan dan penuh kecermatan. Di sisi lain, Clausewitz adalah perwira militer Prusia dari abad ke-19 yang mengalami langsung Perang Napoleon dan mencurahkan pemikirannya dalam buku Vom Kriege (On War), yang memandang perang sebagai fenomena sosial-politik yang kompleks dan brutal.
Perbedaan waktu, budaya, dan latar belakang keduanya menciptakan dua visi strategi militer yang sangat berbeda. Sun Tzu muncul dalam konteks negara-negara kecil yang terus-menerus berperang, sedangkan Clausewitz hidup dalam sistem negara bangsa Eropa yang mulai memasuki era peperangan total.
Sun Tzu mengedepankan kehati-hatian, kelicikan, dan penguasaan kondisi psikologis lawan, sedangkan Clausewitz menekankan pentingnya kekuatan militer maksimal dan keberanian mengambil risiko untuk mencapai kemenangan total. Ini membuat kita bertanya: siapa yang lebih unggul dalam membentuk doktrin militer modern?
Yang pasti, keduanya menyadari bahwa perang bukan hanya soal kekuatan fisik. Ia juga merupakan soal informasi, kondisi moral, perhitungan rasional, dan kepemimpinan. Tapi cara mereka memformulasikan semuanya, itulah yang membuat diskusi ini abadi.
Keduanya telah digunakan dalam pendidikan militer, strategi bisnis, hingga ilmu politik. Bahkan tokoh-tokoh seperti Mao Zedong dan Dwight Eisenhower mengambil inspirasi dari salah satu atau keduanya. Hal ini membuktikan relevansi lintas zaman yang mereka miliki.
Sun Tzu memandang perang sebagai bagian dari kehidupan politik yang luas. Bagi dia, perang bukan hanya tentang pertempuran fisik, melainkan juga soal diplomasi, ekonomi, dan moralitas. Ia menekankan bahwa kemenangan sejati adalah yang dicapai tanpa pertempuran. Prinsip utamanya adalah efisiensi maksimal dengan kerugian minimal: strategi maximin.
Dalam The Art of War, Sun Tzu menulis, “Kemenangan terbesar adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur.”[1] Pandangan ini mencerminkan masyarakat agraris dan birokratis Tiongkok kuno, di mana stabilitas dianggap lebih penting daripada ekspansi agresif.
Clausewitz justru sebaliknya. Ia memandang perang sebagai kelanjutan dari politik dengan cara lain. Baginya, perang adalah “tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk pada kehendak kita.”[2] Ini adalah pandangan maximax yang fokus pada hasil maksimal, meski dengan risiko tinggi.
Meski Clausewitz mengakui adanya dimensi politik, ia menempatkan fokus utamanya pada kekuatan militer. Strateginya menekankan serangan langsung untuk meraih kemenangan mutlak.
Perbedaan mendasar ini menghasilkan perbedaan operasional yang besar: Clausewitz mengadvokasi serangan frontal yang menentukan, sementara Sun Tzu menyarankan penggunaan kelicikan, pengalihan, dan penyesuaian terus-menerus.
Sun Tzu tidak pernah benar-benar memisahkan perang dan damai. Dalam pandangannya, konflik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Bahkan dalam masa damai, negara tetap harus mempersiapkan dan merancang strategi. Dengan demikian, batas antara perang dan damai menjadi kabur.
Ini menjelaskan mengapa Sun Tzu menyarankan pendekatan yang berhati-hati dan berlapis. Ia lebih memilih mengganggu strategi lawan atau membubarkan koalisinya sebelum menyentuh medan tempur. Ini adalah pendekatan jangka panjang yang berfokus pada keberlangsungan kekuatan negara.
Clausewitz, sebaliknya, membuat batas yang sangat jelas antara perang dan damai. Perang dimulai ketika militer bergerak, dan damai dimulai ketika kekuatan militer dihentikan. Oleh karena itu, kemenangan cepat dengan kekuatan besar adalah cara terbaik untuk memulihkan perdamaian.
Strategi Clausewitz menekankan sentra gravitasi militer (center of gravity) dalam skala operasional. Sun Tzu, justru meletakkan pusat gravitasi pada moral, legitimasi, dan persepsi. Perbedaan ini menyoroti dua filosofi yang sangat berbeda tentang kontrol sosial dan kekuasaan.
Dalam dunia modern, interpretasi Clausewitz sering digunakan dalam strategi militer Barat, sedangkan Sun Tzu lebih populer dalam dunia intelijen dan diplomasi Asia.
Penggunaan kekuatan militer dalam teori Sun Tzu sangat hati-hati. Ia memperingatkan bahwa kekuatan fisik hanyalah pilihan terakhir. Sebaliknya, ia lebih menyukai manipulasi informasi, medan tempur, dan waktu. Efisiensi adalah kunci. Ia menganggap perang sebagai penyakit: harus dihindari bila mungkin, dan ditangani dengan cepat bila perlu.
Sun Tzu sangat menghargai elemen-elemen seperti kejutan, penyamaran, dan penguasaan informasi. Kemenangan tidak ditentukan oleh jumlah pasukan, melainkan oleh akal dan strategi. Pengetahuan adalah senjata utama.
Clausewitz, di sisi lain, lebih mengandalkan kekuatan masif. Baginya, perang adalah tentang mengerahkan seluruh kekuatan sedini mungkin untuk memukul musuh hingga hancur. Efektivitas lebih penting daripada efisiensi. Kerugian adalah harga yang bisa diterima demi kemenangan total.
Namun, Clausewitz tidak sepenuhnya mengabaikan biaya. Ia memperingatkan bahwa komandan harus siap menghadapi “kabut perang” — ketidakpastian yang muncul dalam setiap operasi militer.
Keduanya memahami pentingnya pengumpulan informasi, tetapi Sun Tzu menganggapnya sebagai strategi utama, sementara Clausewitz menganggapnya sebagai pelengkap eksekusi taktis.
Dalam The Art of War, kemenangan terbaik adalah yang diraih tanpa mengangkat senjata. Sun Tzu menganggap puncak kejayaan seorang jenderal adalah ketika lawannya menyerah tanpa bertempur. Ia mendorong penguasa untuk menghindari pertempuran frontal dan lebih memilih mengendalikan psikologi lawan.
Sun Tzu menekankan bahwa pertempuran hanya terjadi ketika semua opsi lain gagal. Bahkan jika pertempuran diperlukan, ia harus berlangsung sesingkat dan seefisien mungkin, dengan korban seminimal mungkin.
Clausewitz justru menjadikan kehancuran pasukan lawan sebagai ukuran kemenangan sejati. Baginya, perang adalah tempat uji coba kehendak dan kekuatan nasional. Tanpa kemenangan militer yang nyata, tidak ada perdamaian yang bisa dijamin.
Namun, Clausewitz menyadari bahwa kompleksitas perang membuat kemenangan tidak pernah absolut. Ia menulis bahwa “hal-hal paling sederhana dalam perang sekalipun menjadi sulit.”[3]
Pendekatan Clausewitz cocok dengan era modern di mana kekuatan militer negara menjadi simbol kekuasaan global. Namun, dalam era peperangan asimetris dan konflik non-konvensional, strategi Sun Tzu menjadi semakin relevan.
Pertanyaan tentang siapa yang lebih unggul di antara Sun Tzu dan Clausewitz sulit dijawab secara mutlak. Keduanya memiliki kekuatan dan keterbatasan, dan masing-masing cocok untuk konteks tertentu. Sun Tzu unggul dalam konflik asimetris, intelijen, dan perang psikologis. Clausewitz unggul dalam perang konvensional berskala besar dan strategi militer ofensif.
Ketika dunia modern bergeser ke bentuk konflik yang lebih kompleks — termasuk perang informasi, siber, dan ekonomi — warisan Sun Tzu semakin menggema. Namun dalam konteks pertahanan negara dan konflik antarbangsa, Clausewitz tetap relevan.
Mungkin, kebijaksanaan tertinggi adalah menggabungkan keduanya. Seorang jenderal masa kini harus mampu bersiasat seperti Sun Tzu, dan berani bertindak seperti Clausewitz. Sinergi keduanya bisa menciptakan strategi militer yang tidak hanya efisien tetapi juga efektif.
Di akhir hari, pertanyaan “siapa lebih hebat?” menjadi relatif terhadap pertanyaan “dalam konteks apa?” Dan barangkali di situlah letak keindahan dari dialektika strategi: tidak ada jawaban tetap, hanya pembelajaran terus-menerus.
[1] Sun Tzu. The Art of War, diterjemahkan oleh Lionel Giles. (Penguin Classics, 2005).
[2] Carl von Clausewitz. On War, diterjemahkan oleh Michael Howard dan Peter Paret. (Princeton University Press, 1989).
[3] Ibid., Buku I, Bab 7: Friction in War.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.