John Dewey: Menyulam Liberalisme, Demokrasi, dan Pragmatisme dalam Filsafat Sosial

John Dewey dikenal sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Amerika. Filsafatnya tidak hanya menawarkan gagasan teoretis, tetapi juga mengajak masyarakat untuk berpikir dan bertindak secara reflektif dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan menggabungkan liberalisme, demokrasi, dan pragmatisme, Dewey memberikan visi baru tentang bagaimana masyarakat modern dapat berkembang secara inklusif, dinamis, dan bertanggung jawab.[1]

Filosof, Pendidik, dan Reformis Sosial

John Dewey (1859–1952) adalah tokoh utama dalam tradisi pragmatisme Amerika. Lahir di Burlington, Vermont, Dewey menapaki karier akademik yang panjang, mengajar di berbagai institusi ternama seperti University of Chicago dan Columbia University. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan, politik, dan filsafat sosial memengaruhi banyak sektor kehidupan di Amerika Serikat dan dunia.[2]

Dalam konteks filsafat, Dewey menolak pemikiran spekulatif yang terlalu abstrak. Ia mempromosikan gagasan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang melalui interaksi aktif manusia dengan lingkungannya.[3] Dalam perspektif ini, pengalaman langsung menjadi sumber utama kebenaran dan pemahaman.

Di bidang pendidikan, Dewey memperkenalkan pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning). Ia menentang sistem pendidikan tradisional yang menekankan hafalan dan disiplin kaku.[4] Sebaliknya, ia mendorong metode belajar yang memungkinkan siswa menjadi subjek aktif yang membentuk pemahaman mereka sendiri melalui kegiatan nyata.

Selain itu, Dewey juga menyumbang pada pengembangan psikologi fungsional yang menekankan peran lingkungan dan adaptasi dalam proses berpikir. Ia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang terus-menerus menyesuaikan diri terhadap tantangan, bukan sekadar penerima pasif informasi.

Sebagai aktivis intelektual, Dewey tak segan mengkritik struktur sosial dan politik yang tidak demokratis. Ia menyuarakan pentingnya partisipasi warga dalam kehidupan publik dan menolak bentuk kekuasaan yang membatasi kebebasan berpikir serta ekspresi individu.

Dengan latar belakang multidisipliner tersebut, filsafat Dewey tampil sebagai proyek pemikiran yang bertujuan membentuk masyarakat demokratis yang berpijak pada kebebasan, tanggung jawab, dan nalar praktis.

Liberalisme dalam Pemikiran Dewey

Dewey memahami liberalisme bukan sekadar kebebasan dari campur tangan negara atau kebebasan memilih secara individual. Bagi Dewey, liberalisme sejati adalah kebebasan yang memungkinkan individu berkembang melalui partisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik.[5]

Dalam kerangka ini, kebebasan tidak dipahami secara negatif (bebas dari), melainkan secara positif (bebas untuk). Artinya, individu tidak hanya dibebaskan dari belenggu eksternal, tetapi juga diberi kesempatan dan kondisi untuk mengembangkan potensinya secara penuh.

Dewey juga menyoroti pentingnya menciptakan masyarakat yang kondusif bagi pengembangan kapasitas manusia. Ia percaya bahwa hak-hak sipil tidak cukup bila tidak disertai jaminan sosial, pendidikan, dan akses terhadap sumber daya yang merata.

Kritiknya terhadap liberalisme klasik mencakup kecenderungan untuk memisahkan individu dari komunitas. Ia berpendapat bahwa individu tidak eksis dalam ruang hampa, tetapi selalu terhubung dengan struktur sosial yang membentuk kesadaran dan tindakannya.

Dalam masyarakat yang terlalu menekankan kebebasan individu secara absolut, Dewey melihat potensi terjadinya disintegrasi sosial. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dan kolaborasi sebagai bagian integral dari kebebasan itu sendiri.

Dengan demikian, liberalisme dalam pemikiran Dewey bukanlah ideologi egoistik, melainkan sebuah etika sosial yang bertujuan menciptakan keadilan dan kemajuan bersama.

Pragmatisme sebagai Jalan Etis dan Epistemologis

Pragmatisme bagi Dewey bukan hanya metode berpikir, tetapi cara hidup. Ia mengusulkan bahwa kebenaran harus diuji melalui dampaknya dalam praktik kehidupan.[6] Gagasan yang tidak berdampak nyata dalam mengatasi persoalan dianggap tidak relevan.

Dengan pendekatan ini, Dewey menolak dikotomi antara teori dan praktik. Ia melihat keduanya sebagai saling berkaitan. Teori yang baik adalah teori yang mampu membimbing tindakan menuju penyelesaian masalah konkret.

Pragmatisme juga menolak absolutisme moral dan epistemologis. Dalam dunia yang terus berubah, Dewey percaya bahwa nilai-nilai dan pengetahuan harus dievaluasi kembali secara terus-menerus berdasarkan pengalaman dan refleksi kritis.

Filsafat pragmatis Dewey menuntut keterbukaan terhadap kegagalan dan kemampuan untuk beradaptasi. Ia menganjurkan eksperimentasi sosial sebagai cara untuk menemukan solusi terbaik, bukan bergantung pada doktrin tetap.

Dalam bidang pendidikan, pendekatan ini diwujudkan dalam kurikulum fleksibel yang menyesuaikan dengan kebutuhan siswa dan perkembangan sosial.[7] Pembelajaran tidak sekadar menghafal fakta, tetapi memahami dunia melalui pemecahan masalah nyata.

Singkatnya, pragmatisme Dewey memperkuat liberalisme dengan memberi fondasi operasional dan memberi arah pada demokrasi agar tetap responsif dan relevan dengan kehidupan masyarakat.

Demokrasi Sebagai Cara Hidup

Bagi Dewey, demokrasi bukan sekadar sistem pemilu atau lembaga politik. Demokrasi adalah pola hidup kolektif yang menuntut partisipasi aktif, dialog terbuka, dan pencarian solusi bersama.

Dalam konteks ini, demokrasi melibatkan hubungan yang setara antara warga negara, penghargaan terhadap keragaman, serta kemampuan untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan kompromi.

Dewey percaya bahwa partisipasi yang bermakna tidak bisa terjadi tanpa pendidikan yang membekali warga dengan kemampuan berpikir kritis dan memahami kompleksitas sosial.

Ia menekankan pentingnya ruang publik sebagai tempat bertemunya berbagai pandangan untuk membentuk opini kolektif yang informasional dan bertanggung jawab.

Demokrasi yang sehat menurut Dewey adalah demokrasi yang mendidik. Ini berarti bahwa sekolah, media, dan institusi sosial lainnya harus berperan dalam menciptakan masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya.

Dengan menggabungkan demokrasi sebagai nilai dan sebagai proses, Dewey menempatkan partisipasi warga sebagai inti dari kehidupan bernegara yang etis dan berdaya tahan.[8]

Keseimbangan antara Hak Individu dan Tanggung Jawab Sosial

Salah satu kontribusi terbesar Dewey adalah usahanya untuk menyeimbangkan antara hak individu dan tanggung jawab sosial. Ia menolak pandangan bahwa keduanya bertentangan atau saling meniadakan.

Menurut Dewey, kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab hanya akan menghasilkan kekacauan sosial. Sebaliknya, tanggung jawab tanpa kebebasan berpotensi menjadi alat opresi.

Ia mengajukan model kebebasan yang bertanggung jawab, di mana individu berperan aktif dalam membentuk tatanan sosial yang adil melalui partisipasi dan dialog.

Dalam urusan publik seperti kebijakan pendidikan, hak menyampaikan pendapat harus diiringi dengan kesediaan untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain.

Dewey juga menekankan pentingnya solidaritas sosial. Ia melihat bahwa kehidupan demokratis memerlukan rasa saling percaya dan komitmen untuk kesejahteraan bersama.

Dengan demikian, ia tidak hanya memperluas makna kebebasan, tetapi juga merumuskan ulang peran individu sebagai agen perubahan sosial yang beretika.

Relevansi Dewey di Abad ke-21

Gagasan-gagasan John Dewey tetap relevan dalam menghadapi tantangan dunia modern seperti polarisasi politik, krisis pendidikan, dan ketimpangan sosial. Pragmatisme memberikan kerangka adaptif untuk merespons perubahan, sementara liberalisme progresifnya menekankan inklusi dan keadilan.

Dalam era digital, prinsip partisipatif Dewey menantang masyarakat untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen dan kritikus aktif dari wacana publik.

Dalam pendidikan, model experiential learning semakin mendapat pengakuan sebagai pendekatan yang menyiapkan generasi muda untuk berpikir kritis dan bertindak etis.[9]

Pada ranah politik, gagasan demokrasi sebagai cara hidup menuntut sistem yang transparan, deliberatif, dan berorientasi pada kesejahteraan kolektif.

Sementara dalam konteks sosial, ide tentang solidaritas dan tanggung jawab bersama menjadi penting dalam menghadapi krisis global seperti perubahan iklim dan pandemi.

Pemikiran Dewey, dengan penekanan pada dialog, pembelajaran kontekstual, dan kebebasan yang bertanggung jawab, menawarkan fondasi filsafat sosial yang masih sangat relevan untuk masa depan yang lebih inklusif dan beradab.

Rujukan

[1] Dewey, John. Liberalism and Social Action. New York: Putnam, 1935.

[2] Ryan, Alan. John Dewey and the High Tide of American Liberalism. New York: Norton, 1995.

[3] Dewey, John. Experience and Nature. Chicago: Open Court, 1925.

[4] Dewey, John. Experience and Education. New York: Macmillan, 1938.

[5] Dewey, John. The Public and Its Problems. New York: Holt, 1927.

[6] Hook, Sidney. John Dewey: An Intellectual Portrait. New York: Knopf, 1939.

[7] Noddings, Nel. Philosophy of Education. Boulder: Westview Press, 2012.

[8] Westbrook, Robert B. John Dewey and American Democracy. Ithaca: Cornell University Press, 1991.

[9] Kolb, David A. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Prentice Hall, 1984.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *