
Dalam beberapa tahun terakhir, Silicon Valley telah secara berkelanjutan mempersembahkan kepada dunia beragam program komputer dengan kemampuan yang seakan-akan berasal dari cerita fiksi ilmiah. Kecerdasan buatan (AI), seperti yang sering kita dengar, kini mampu mengalahkan manusia dalam permainan yang membutuhkan strategi tinggi, memperkirakan struktur tiga dimensi dari protein, menciptakan tulisan yang memikat tentang berbagai topik dengan gaya penulisan berbagai penulis terkenal, serta menciptakan foto dan lukisan yang menakjubkan hanya dari instruksi singkat dan sederhana.
Perkembangan ini membuka peluang yang sangat menjanjikan. AI bukan hanya mampu mengurangi rutinitas sehari-hari dalam hidup kita, memberi kita kesempatan untuk melakukan aktivitas yang membuat kita senang sambil robot mengemudikan mobil, menjawab email, dan menuliskan kode untuk kita, namun juga mendukung kita dalam menggali potensi maksimal sebagai manusia. Pembimbing berbasis AI yang disesuaikan dengan cara belajar kita bisa membawa kita mencapai wawasan intelektual yang baru; dokter dan terapis yang didukung AI bisa menjaga kesehatan fisik dan mental kita; serta alat kreatif berbasis AI bisa membebaskan bakat seni dan musik yang ada dalam diri kita.
Akan tetapi, janji ini juga diiringi oleh kekhawatiran yang tidak kecil. Jika AI mampu mengambil alih berbagai pekerjaan—mulai dari programmer, pengemudi, guru, hingga dokter dan seniman—bagaimanakah orang-orang yang pekerjaannya digantikan akan mencari nafkah dan memberi makna pada hidup mereka? Lebih mengkhawatirkan lagi, kemampuan baru yang ditawarkan oleh AI untuk memberdayakan kita juga dapat dengan mudah digunakan untuk tujuan yang tidak baik sebagaimana untuk tujuan yang baik. Para penguasa otoriter bisa dengan lebih mudah mengawasi dan mengendalikan warganya; para penjahat bisa lebih mudah menargetkan korban yang tidak sadar; dan mereka yang menentang kebebasan bisa lebih mudah menciptakan kekacauan, menyesatkan pemilih, dan memecah belah masyarakat.
Tidak selalu diperlukan adanya niat jahat untuk AI memberikan dampak negatif. Karena banyak program ini dikembangkan dengan data dari dunia nyata, ada kemungkinan mereka akan meniru ketidaksempurnaan yang ada di dunia nyata. Misalnya, jika sebuah sistem AI untuk rekrutmen dilatih dengan jutaan keputusan yang diambil oleh para manajer perekrutan, dan jika ternyata manajer-manajer ini cenderung mendiskriminasi kelompok minoritas, maka AI tersebut juga akan menunjukkan prasangka yang sama, namun terkesan lebih objektif. Dan itu bukanlah hal terburuk. Dengan perkembangan AI yang begitu cepat, kita bisa jadi akan berada dalam situasi yang tidak menguntungkan, mirip dengan kondisi nenek moyang hominid kita saat Homo sapiens pertama kali muncul—berbagi planet dengan kecerdasan yang jauh melampaui kita dan bertahan hidup hanya berkat belas kasih mereka.
Di halaman-halaman selanjutnya, kami menghimpun sejumlah pemikir, ahli, dan teknolog terkemuka untuk membahas tantangan yang dibawa oleh kecerdasan buatan bagi umat manusia, serta bagaimana lembaga-lembaga demokrasi dapat dimobilisasi untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Apakah AI akan menyebarkan kemakmuran kepada semua orang, atau malah akan memperdalam kesenjangan yang sudah menggoyahkan demokrasi?
Apakah AI akan memberikan alat baru bagi warga negara di negara-negara otoriter untuk berjuang demi demokrasi, atau justru memberi para autokrat cara baru untuk menghadapi tantangan demokratis? Jika AI menjadi lebih cerdas dari kita, apakah hal itu akan mengakhiri eksistensi manusia, sekadar menghilangkan pekerjaan kita, atau malah memungkinkan umat manusia berkembang seperti belum pernah terjadi sebelumnya?
Dan apakah demokrasi bisa membuat hasil yang lebih positif lebih mungkin terjadi daripada yang negatif, ataukah tatanan demokrasi tidak cocok untuk dunia di mana teknologi canggih bisa diluncurkan begitu cepat dengan sedikit sekali kesadaran dan pemahaman dari warga dan perwakilannya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang sulit, namun kian mendesak untuk dijawab di era kita.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.