
Tulisan ini hendak menanggapi perjalanan demokrasi di Indonesia dan merupakan sebuah upaya untuk menguak praksis berdemokrasi di Indonesia. Tulisan ini berlandaskan pada tesis bahwa demokrasi tidak hanya sebatas diserukan (jargon belaka) tetapi harus diejawantahkan dalam ranah lokal. Selain itu, tulisan ini juga merupakan kontra-perspektif dari pandangan umum (main stream) yang mereduksi demokrasi hanya sebagai ajang untuk pemilihan pejabat atau pemimpin negara tanpa menyinggung substansi dasar demokrasi. Pereduksian terhadap demokrasi tampak dalam istilah-istilah seperti “tahun politik”, maupun istilah “pesta demokrasi” yang berfungsi untuk mengarahkan pikiran masyarakat bahwa pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum merupakan puncak dari praksis berdemokrasi.
Secara etimologi demokrasi berasal dari bahasa Latin “demos” (rakyat) dan “kratein” (pemerintah). Sejalan dengan itu, Abraham Lincoln memberi landasan dasar tentang demokrasi dengan merumusakan sebuah konsepsi bahwa demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsepsi ini diterima dengan baik oleh sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia.
Semenjak kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia memaklumkan dirinya sebagai negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila. Namun, demokratisasi di Indonesia seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan. Tantangan paling berat terhadap demokratisasi di Indonesia terjadi pada rezim otoriter yang berlangsung selama 32 tahun di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pada pemerintahan Soeharto, kebebasan berpendapat ditekan sedemikian rupa sehingga rezim ini bertumbuh menjadi rezim yang antikritik. Sejalan dengan itu, pada pemerintahan Soeharto terjadi sentralisasi pemerintahan yang menyebabkan matinya distribusi kekuasaan atau sirkulasi elit.
Masa Orde Baru yang dipimpin oleh Rezim Soeharto yang sentralistik-otoritarian cenderung koersif. Terhadap hal tersebut, penulis menilai bahwa tidak ada demokrasi pada saat itu. Dengan kalimat lain, selama pemerintahan Soeharto, demokrasi di Indonesia “mati”. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) dalam buku yang berjudul “How Democracies Die” yang mengatakan bahwa “demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian itu tidak bisa disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi”.
Sebab masa kepemimpinan Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun, semua kebijakan dirumuskan oleh pusat dan daerah hingga ranah lokal hanya menjalankan mandat dari Presiden. Selain itu, kematian demokrasi di Indonesia ditunjukkan dengan pengalaman bahwa masyarakat pada saat itu tidak memiliki hak dan kesempatan untuk menyatakan pendapat secara bebas. Sebab siapa pun yang bersuara dan mengkritik Pemerintah dinilai melawan negara dan mengganggu stabilitas negara.
Kuatnya rezim otoriter-sentralistik Soeharto merambah sampai ke tingkat lokal baik daerah maupun desa. Di tingkat lokal, kehidupan desa disetting sedemikian rupa baik melalui skema kekuasaan koersif maupun skema kekuasaan disipliner sehingga bermuara pada masyarakat yang ternormalisasi. Akibatnya, desa tumbuh menjadi entitas yang sangat disiplin dan tunduk pada setiap aturan serta dengan sigap mengimplementasikan kebijakan negara. Ketertundukan desa menyenangkan hati pejabat-pejabat lokal.
Sebab pejabat-pejabat lokal merupakan partner terbaik pemerintah pusat dalam memobilisasi masyarakat dengan cara kooptasi, intervensi, depolitisasi, bahkan intimidasi. Pada saat itu, ciri khas model pembangunan adalah pengabaian keterlibatan masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan (decision making). Dengan demikian, pada rezim Orde Baru, desa hanya dijadikan sebagai obyek pembangunan. Kebijakan dan konsep pembangunan yang dikonstruksi oleh pemerintah pusat difasilitasi dengan baik oleh pejabat lokal agar diterima oleh desa melalui paksaan dan intervensi.
Namun, sejak tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari rezim “otoriter” Orde Baru ke sebuah rezim yang disebut sebagai reformasi. Dengan adanya reformasi, demokratisasi di Indonesia berjalan lebih baik. Mantra utama demokrasi seperti equality (kesetaraan) dan freedom (kebebasan) sedikit demi sedikit muncul ke permukaan. Pers-pers yang selama 32 tahun dibungkam mulai “unjuk gigi” untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan dan kinerja pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi yang ideal demi terwujudnya negara yang baik, adil, dan makmur.
Salah satu buah reformasi adalah munculnya ide otonomi daerah dan desentralisasi. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan upaya untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengurus wilayahnya sendiri serta mendistribusikan kekuasaan yang sebelumnya sangat sentralistik. Ide tersebut disambut dengan baik karena otonomi daerah dan desentralisasi merupakan babak baru bagi “kehidupan” demokrasi di tingkat lokal. Otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan dapat mengubah paradigma pembangunan di Indonesia dari padadigma top down (atas ke bawah) menjadi bottom up (bawah ke atas) sehingga memungkinkan masyarakat terlibat aktif dalam setiap praktik pembangunan di daerah.
Namun, demokrasi Indonesia pada tingkat politik lokal maupun nasional justru mengalami kemacetan. Orang-orang mulai terusik dengan demokrasi. Hal ini terjadi karena demokrasi di tingkat lokal mengalami kemacetan. Demokrasi terus bergerak ke arah kemunduran dan sedang akan berakhir menuju kegagalan. Kemacetan itu terjadi karena demokrasi hanya direduksi sebagai ajang untuk memilih kepala daerah baik bupat dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota serta gubernur dan wakil gubernur. Tak pelak, hal ini memicu terjadinya pembajakan elit terhadap lembaga-lembaga prosedur demokrasi dan menjadikan demokrasi Indonesia berwatak sangat elitis.
Studi yang dilakukan oleh Nordholt (2004) menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tidak menyebabkan keterputusan elit-elit lama. Yang terjai bukan hanya kontinuitas atau kelanjutan praktik politik Orde Baru, tetapi justru munculnya kembali kekuasaan patrimonial pra-kolonial. Elit-elit lokal feodal merebut instrument-instrumen demokrasi dan mereka menemukan ruang untuk kembali mewujudkan keentingan elitis-feodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elit-elit lama itu tak jarang berhasil menguasai birokrasi lokal.
Studi ini menunjukkan kepada kita bahwa sama seperti yang terjadi di tingkat nasional, proses politik demokratisasi lokal, khususnya melalui mekanisme kontestasi electoral di tingkat provinsi maupun kabupaten, hanya mendaur ulang siklus politik elitis-oligarkis. Tehadap kenyataan ini, pernyataan yang muncul ke permukaan adalah “adakah demokrasi pasca Pemilihan Kepala Daerah?”
Musyawarah Desa dan Pewujudan Demokrasi
Tumbangnya Orde Baru juga menciptakan nuansa baru di desa. Setiap komponen dan elemen dan kelompok kepentingan (stakeholder) di desa berkesempatan untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya serta terlibat aktif dalam semua pembangunan yang ada di desa. Hal ini dimungkinkan karena desa mempunyai suatu wadah untuk mengartikulasikan kepentingan secara bebas yaitu melalui forum Musyawarah Desa.
Musyawarah Desa merupakan instrumen yang digunakan untuk mengejahwantahkan mantra demokrasi kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom). Di dalam forum ini, setiap kelompok kepentingan menempati posisi yang setara dan bebas mengartikulasikan kepentingannya sehingga bisa diakomodasi oleh pemerintah desa. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Musyawarah Desa merupakan basis utama praksis berdemokrasi di desa.
Menyadari pentingnya Musayawarah Desa, pada tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Hal ini dilakuakan untuk meningkatkan kesadaran warga pedesaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, bukan karena pemerintah pusat tetapi karena dilandasi oleh kebutuhan warga setempat. Hal yang sama juga ditekankan di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Di dalam Undang-Undang ini dikatakan bahwa Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati beberapa hal yang bersifat strategis. Hal-hal yang bersifat strategis yang dimaksud yaitu: (1) penataan desa, (2) perencanaan desa, (3) kerja sama desa, (4) rencana investasi yang masuk ke desa, (5) pembentukan Badan Usaha Milik Desa, (6) penambahan dan pelepasan aset desa, dan (7) kejadian luar biasa.
Musyawarah Desa merupakan institusi dan proses demokrasi delibertaif yang berbasis di desa. Musyawarah Desa bisa juga disebut sebagai akuntabilitas lokal. Secara historis Musyawarah Desa merupakan tradisi masyarakat lokal. Salah satu model Musyawarah Desa yang telah lama hidup dan dikenal di tengah-tengah masyarakat desa adalah Rapat Desa (Lonto Leok) di Manggarai. Dalam tradisi rapat desa, selalu diusahakan untuk tetap memperhatikan setiap aspirasi dan kepentingan warga sehingga usulan masyarakat dapat terakomodasi dan sedapat mungkin menghindari riak-riak konflik di masyarakat.
Desa sebagai self-governing community direpresentasikan oleh Musyawarah Desa. Jika dihadapkan pada teori demokrasi, Musyawarah Desa mempunyai empat makna demokrasi. Pertama, Musyawarah Desa merupakan wadah demokrasi asosiatif. Artinya, seluruh elemen desa merupakan asosiasi yang berdasarkan pada asas kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong. Mereka membangun aksi kolektif untuk kepentingan desa. Kekuatan asosiatif ini juga bisa hadir sebagai masyarakat sipil yang berhadapan dengan negara dan modal.
Kedua, Musyawarah Desa sebagai wadah demokrasi inklusif atau demokrasi untuk semua. Berbagai elemen desa tanpa membedakan agama, suku, aliran, golongan, kelompok maupun kelas duduk Bersama dalam Musyawarah Desa. Ketiga, Musyawarah Desa sebagai wadah demokrasi deliberatif. Artinya, Musyawarah Desa menjadi tempat untuk tukar informasi, komunikasi, diskusi, atau musyawarah untuk mufakat untuk mencari kebaikan bersama (common good).
Hal ini sejalan dengan pemikiran Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa hak-hak komunikatif warga negara terlaksana terutama di dalam diskursus-diskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat mempersoalkan segala tema relevan yang mungkin. Melalui diskursus itu, aspirasi politis umum terbangun secara komunikatif. Dalam kerangka itu, kita membutuhkan “ruang publik”. Jika mengikuti logika Habermas, maka Musyawarah Desa adalah “ruang publik” itu.
Musyawarah Desa sebagai ruang publik memungkinkan warga desa untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga desa untuk menggunakan kekuatan argumen. Musyawarah Desa sebagai ruang publik berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang” dan mengacu pada ciri terbuka dan inklusif ruang ini (Hardiman, 2011: 18).
Keempat, Musyawarah Desa mempunyai fungsi demokrasi protektif. Artinya, Musyawarah Desa membentengi dan melindungi desa dari intervensi negara, modal, atau pihak lain yang merugikan desa dan masyarakat. Sebagai contoh, investasi yang masuk desa, terutama yang berpotensi berdampak sosial dan lingkungan secara serius harus diputuskan oleh Musyawarah Desa (Sutoro Eko, dkk. 2017: 119).
Pada akhirnya penulis menyampaikan bahwa demokrasi tidak hanya menyangkut pemilihan pejabat atau pemimpin (entah lokal maupun nasional). Namun, dinamika di tingkat desa seperti Musyawarah Desa adalah salah satu basis utama demokratisasi di Indonesia. Dengan mengikuti logika Habermas, maka Musyawarah Desa merupakan upaya radikalisasi demokrasi karena Musyawarah Desa juga berupaya meradikalisasi komunikasi.
Dengan demikian, apabila demokrasi tidak mau dimengerti secara minimalis sebagai keikutsertaan dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah maka proses-proses seperti Musyawarah Desa haruslah juga dilihat sebagai proses demokratis. Mengutip pernyataan M. Hatta “demokrasi asli Indonesia adalah demokrasi yang ada di desa yaitu Musyawah Desa”. Dari tingkat desa kita dapat belajar untuk menata kehidupan bersama atau komunal dengan menyuarakan gagasan dan mengartikulasikan kepentingan sehingga tercipta kebaikan bersama (common good).
Penulis merupakan Kepala Urusan Akademik Kelompok Studi Tentang Desa periode 2020/2021